Menyikapi Kasus ”Ferienjob”
Migrant Watch menilai Polri salah memahami program tersebut.
Akhir-akhir ini media ramai memberitakan kasus 33 perguruan tinggi di Indonesia yang diduga terlibat kasus tindak pidana perdagangan orang berkedok magang mahasiswa (ferienjob) di Jerman.
Dilaporkan terdapat 1.047 mahasiswa yang menjadi korban tindak pidana kejahatan lintas negara ini. Pihak kepolisian bahkan telah menetapkan lima tersangka, dua di Jerman dan tiga di Indonesia. Para tersangka dijerat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan ancaman penjara paling lama 15 tahun dan denda Rp 600 juta.
Menanggapi kasus ini, Migrant Watch sebagai organisasi independen mitra PBB dalam penanganan masalah buruh migran telah mengecam pernyataan pihak Kepolisian Negara RI bahwa program ferienjob di Jerman diduga sebagai TPPO. Migrant Watch menilai Polri salah memahami program tersebut.
Bahkan dinyatakan: ”Kok begitu entengnya kepolisian menyeret kasus mahasiswa yang ikut program ferienjob di Jerman adalah TPPO. Itu sangat sadis dan keliru. Apakah ini karena kepolisian tidak mengerti definisi TPPO atau bentuk kriminalisasi pada perguruan tinggi” (Medcom.id, 24/3/2024).
Tentu amat keliru jika melalui kasus ini ada tendensi untuk melakukan kriminalisasi terhadap perguruan tinggi.
Baca juga: Pascakasus ”Ferienjob” di Jerman, Pemerintah Susun Aturan Magang di Luar Negeri
Esensi perdagangan orang dan ”ferienjob” di Jerman
Pada Panduan Penanganan TPPO (2021) yang disusun bersama antara United Nations International Organization for Migration (UN IOM) dan Kejaksaan Agung RI, TPPO dinilai sebagai kejahatan luar biasa terhadap harkat martabat manusia.
Korbannya dalam kendali untuk dieksploitasi dengan berbagai modus operandi, seperti eksploitasi seksual, eksploitasi anak, eksploitasi pekerja migran, dan eksploitasi berupa transplantasi organ tubuh manusia.
Cara melakukannya pun amat sadis, antara lain ancaman kekerasan atau penggunaan kekerasan kepada korban dan/atau keluarga korban, dilakukan dengan penculikan, dan seterusnya. Singkatnya, korban berada dalam kondisi teraniaya dan menderita psikis berat.
Dengan menggunakan kriteria TPPO itu, terlihat sekali perbedaannya dengan pelaksanaan ferienjob di Jerman. Program ini adalah sebuah program resmi Pemerintah Jerman untuk memberi kesempatan kepada mahasiswa dari sejumlah negara untuk bekerja paruh waktu dengan tenaga fisik di bidang pekerjaan yang ditawarkan di berbagai perusahaan atau jenis pekerjaan di Jerman.
Sebagai negara maju, Jerman adalah salah satu negara paling aman di dunia bagi mahasiswa asing. Bahkan, menurut hasil survei Kementerian Pendidikan Jerman, lebih dari 80 persen mahasiswa internasionalnya mengaku tidak pernah mengalami gangguan keamanan (DAAD, 2021). Jika ada masalah, siapa pun dapat menghubungi polisi selama 24 jam dengan cukup menekan telepon 110.
Oleh Pemerintah Jerman, pelaksanaan ferienjob dinilai sangat aman dan diatur dalam Pasal 14 Ayat (2) Ordonansi Ketenagakerjaan Jerman, BeschÄftigungsverordnung/BeschV) yang menyatakan ferienjob dilakukan hanya pada saat ”official semester break” atau libur semester resmi, durasinya 90 hari.
Selain sangat aman, Jerman adalah salah satu negara yang paling menyenangkan untuk menikmati pendidikan tinggi karena standar mutunya amat tinggi (world class), bebas uang kuliah, mahasiswa bisa kerja sambil kuliah, dan jika libur bisa ikut program ferienjob.
Sebagai negara maju, Jerman adalah salah satu negara paling aman di dunia bagi mahasiswa asing.
Belajar di Jerman
Sebanyak 423 universitas dan pendidikan tinggi di Jerman umumnya memiliki akreditasi sebagai world class university dan tradisi akademik yang terpelihara dari masa ke masa.
Technical University of Munich yang berada di peringkat ke-37 terbaik dunia, misalnya, unggul di bidang data engineering and analytics, management, computer science, dan business & economics dan menawarkan lebih dari 200 program gelar sarjana, master, dan doktor.
Selain membebaskan uang kuliah kepada mahasiswanya, universitas yang berdiri sejak 1868 ini juga menawarkan biaya penelitian unggulan apabila usulan penelitiannya dinilai akan menghasilkan produk teknologi inovatif. Anggaran tahunannya 1,9 miliar euro (2022).
Begitu pula Heidelberg University yang menempati peringkat terbaik ke-87 dunia, berdiri sejak 1386, unggul di bidang ancient history, biomedical engineering, earth sciences, law, political science, scientific computing, dan sociology, tersebar di lebih dari 180 program studi. Sekitar 20 persen dari jumlah mahasiswanya yang sekitar 30.000 adalah mahasiswa internasional.
Bandingkan dengan Indonesia dengan jumlah perguruan tinggi (PT) mendekati 4.700 PT, belum satu pun yang berada di peringkat terbaik 100 PT dunia.
Dapat dibayangkan jika Presiden Habibie tidak belajar di Jerman, belum tentu beliau bisa membuat pesawat terbang dan menjadi presiden Indonesia.
-
”Ferienjob”: apanya yang salah
Saya mewawancarai seorang mahasiswa yang mengikuti program ferienjob ini. Kesannya amat positif, dapat mengikuti keseluruhan program ini tanpa keluhan dan kendala yang berarti. Total biaya yang dikeluarkan sebelum pemberangkatan sekitar Rp 10 juta, sudah termasuk pengurusan visa, asuransi, penyiapan dokumen-dokumen, dan pembayaran 350 euro kepada perusahaan yang memfasilitasinya (PT SHB).
Dua bulan sebelum pemberangkatannya ke Jerman, ia dibekali tambahan penguasaan bahasa Jerman selama sebulan, bahasa Inggris, dan pengenalan budaya Jerman selama sebulan. Pembekalan ini dilakukan oleh pihak universitasnya tanpa biaya.
Mahasiswa ini berangkat ke Jerman dengan Oman Air pada 2 Oktober 2023 dan kembali ke Jakarta dengan Turkish Air pada 29 Desember 2023. Total biaya tiket pergi pulang Rp 23 juta.
Ketika tiba di Berlin, mahasiswa ini menjalani masa adaptasi selama lima hari, baru mulai bekerja pada 7 Oktober dengan penempatan yang diatur oleh PT SHB. Ia ditempatkan di satu kafe di rest park luar kota Berlin, tepatnya di Serways RaststÄtte Eichsfeld SÜd, Kirchworbis. Ia bekerja 7-8 jam sehari sesuai dengan waktu sifnya dan hanya bekerja selama 20 hari sebulan.
Ia mengaku dapat menerapkan ilmunya sambil belajar bagaimana berinteraksi dengan sesama pegawai lain, mengamati bagaimana perusahaan itu dikelola, dan bagaimana melayani dan berinteraksi dengan para tamu dari berbagai suku bangsa dengan menggunakan bahasa Jerman atau bahasa Inggris. Ia terekspos ke pergaulan dunia, mendapatkan pengalaman dan ilmu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Baca juga: Kampus Mulai Terbuka soal Kasus ”Ferienjob” dan Siapkan Langkah Hukum
Pada bulan pertama, ia memperoleh upah 1.500 euro, bulan kedua naik menjadi 1.600 euro, dan bulan ketiga mendapat 1.700 euro. Di luar dugaannya, ketika sudah selesai masa kerja, oleh perusahaan tempatnya bekerja, ia diberi bonus 2.000 euro karena tak pernah cuti.
Dengan segudang pengalaman yang begitu berkesan selama tiga bulan mengikuti ferienjob di Jerman, ia berniat meneruskan kuliahnya kelak ke jenjang S-2 dan S-3 karena sudah mengetahui bahwa belajar di Jerman akan bebas uang kuliah dan bisa bekerja paruh waktu. Setelah tiba kembali di tengah-tengah keluarganya di Tanah Air, ternyata ia masih bisa menyimpan uang yang diperoleh dari ferienjob sebesar Rp 15 juta.
Jika Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) menilai pelaksanaan program ini belum sempurna sesuai dengan kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) Mendikbudristek Nadiem Makarim, pertanyaannya, apakah program ini harus dihentikan?
Kasus empat mahasiswa Indonesia yang mengadu ke KBRI di Berlin tentang beragam masalah yang dialaminya ketika mengikuti ferienjob tentu tidak tepat jika digeneralisasi kepada 1.043 mahasiswa lainnya, sebab setiap mahasiswa memiliki latar belakang dan tempat kerja yang berbeda. Salah seorang di antara mahasiswa itu memang tak sanggup bekerja dengan mengandalkan tenaga fisiknya. Ternyata, anak ini memiliki penyakit bawaan (hepatitis).
Dari pengamatan ini, sudah selayaknya penghentian program ferienjob dicabut kembali, dan para profesor dari perguruan tinggi yang telah mendukung program ini segera dibebaskan statusnya sebagai tersangka.
Jika terjadi kekeliruan dalam penanganan masalah ini, cukup ditangani oleh Ditjen Dikti dengan melibatkan pimpinan perguruan tinggi yang bersangkutan dan dari pihak Jerman biarlah ini juga diselesaikan oleh pihak Pemerintah Jerman sendiri. Jika diteruskan, kepolisian dapat mengadopsi penanganan kasus ini melalui alternative dispute resolution (ADR).
Semoga masalah yang telah menimpa 33 perguruan tinggi ini dapat menjadi pelajaran yang amat berharga bagi pembinaan pendidikan tinggi di Tanah Air, kini dan ke depan.
Hafid Abbas, Mantan Ketua Komnas HAM RI