Pertanyaannya, sebesar apa manfaat yang dikembalikan oleh korporasi-korporasi itu? Mungkin, saatnya merebut manfaat itu.
Oleh
REDAKSI
·3 menit baca
Media sosial kian lama kian mewujud bagai pedang bermata dua. Persoalannya, bukan sekedar pedang biasa tetapi pedang yang teramat tajam.
Media sosial di satu sisi dapat menjadi media pembelajaran yang sama sekali gratis. Namun di sisi lain, dapat menjadi media untuk membodohi siapapun apalagi di sebuah komunitas dengan literasi digital yang minim. Hasutan di sebuah media sosial bahkan terbukti dapat membunuh seseorang di dunia nyata.
Hasutan di sebuah media sosial bahkan terbukti dapat membunuh seseorang di dunia nyata.
Hanya dengan memantau media sosial misalnya, hidup seseorang dapat berubah 180 derajat dengan mempelajari tentang pengelolaan keuangan individu atau keluarga. Namun di sisi lain, seseorang dapat miskin seketika setelah terjebak oleh bujuk rayu bandar judi daring. Investigasi Kompas, pada Desember 2023, menemukan fakta, platform judi daring dipromosikan melalui media sosial.
Lima tahun lalu, Guru Besar Media Digital dari Queensland University of Technology, Jean Burgess, pernah pula menggugat dengan pertanyaan: apakah media sosial masih berfungsi sosial? Kita paham awalnya media sosial hanya menjadi sarana komunikasi. Sarana untuk mengumpulkan teman lama yang tercerai-berai bahkan untuk merekatkan kembali kekasih lama yang lama tak bertegur sapa.
Ketika Mark Zuckerberg membangun Facebook pada tahun 2004, saat dia berusia 19 tahun, ide awalnya adalah sekedar untuk membantu siswa mencocokkan nama dengan foto teman sekelas mereka. Namun pada kuartal-IV 2023, lebih dari tiga miliar penduduk dunia menggunakan Facebook dengan berbagai kepentingan.
Mulai dari kepentingan untuk mendapatkan laba besar hingga kepentingan politik untuk merebut kekuasaan. Beberapa perusahaan media sosial, berkat laba besar yang diraupnya, bahkan seolah lebih berkuasa dari sejumlah negara. Beberapa pihak bahkan menuduh perusahaan media sosial mengintervensi aliran konten sehingga berpotensi memenangkan tokoh-tokoh politik tertentu.
Bagi orang dewasa dengan literasi digital yang telah memadai boleh jadi tidak sulit untuk menyaring konten pada media-media sosial. Latar belakang pendidikan disertai kedewasaan dalam mengarungi hidup dapat menjadi bekal dalam berselancar di media-media sosial. Pertanyaannya, bagaimana dengan anak-anak kita?
Pertanyaannya, bagaimana dengan anak-anak kita?
Apalagi, berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (2022) sekitar 98 persen anak berusia 6-12 tahun sudah menggunakan gawai. Tiap anak rata-rata menggunakan waktu 6 jam 45 menit per hari untuk menonton video, main gim, dan media sosial, di masing-masing gawai.
Langkah Kanada menarik untuk kita simak. Dewan sekolah pada empat distrik di Ontario, Kanada, pada bulan Maret 2024 menggugat perusahaan induk Tiktok hingga Facebook dan Instagram. Meta, Bytedance, dan Snap diminta membayar ganti rugi 2,96 miliar dollar AS karena dinilai membahayakan para pelajar.
Dari film dokumentasi The Social Dilemma, kita mengetahui bahwa ada strategi untuk mendorong penggunaan media sosial. Para penggugat dari Kanada pun mengungkapkan media sosial memicu krisis pembelajaran dan menurunkan kesehatan mental pada siswa. Bila gugatan itu dikabulkan tampaknya dana yang diperoleh dapat untuk menyusun program-program untuk mengatasi dampak dari penggunaan media sosial.
Media sosial memang telah terlalu banyak menyedot perhatian anak-anak kita. Laba pun didapat oleh sejumlah korporasi raksasa atas perhatian yang diberikan oleh anak-anak bangsa ini. Pertanyaannya, sebesar apa manfaat yang dikembalikan oleh korporasi-korporasi itu? Bila tak juga ada kesadaran untuk mengembalikannya, mungkin sudah saatnya manfaat itu kita rebut kembali.