Metamorfosis Seorang Presiden
Buku yang berisi banyak puja-puji terhadap Presiden Jokowi perlu ditinjau kembali atau ditulis ulang.
Sejak kapan Joko Widodo berubah? Bagaimana bentuk dan proses perubahan itu? Serta, mengapa terjadi?
Ketika periode kedua kepresidenan Joko Widodo akan berakhir, saya mulai mempersiapkan tulisan tentang warisan Joko Widodo.
Sebagai penulis sejarah, saya mencatat kemajuan berarti dalam pengakuan dan penyesalan Presiden atas 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM), mulai dari Tragedi 1965/1966 sampai Peristiwa Mei 1998 yang juga melibatkan Prabowo Subianto. Untuk pertama kali, negara mengeluarkan pengakuan. Prestasi ini tidak diraih beberapa Presiden RI sebelumnya.
Untuk penulisan itu, saya membaca buku Jokowi and the new Indonesia (2021) karya Darmawan Prasodjo yang dalam kampanye Pilpres 2019 menggagas truk berisi hologram Jokowi blusukan keliling Indonesia.
Selain itu, buku Ben Bland, Man of Contradictions (2020), dan Marcus Mietzner, The Coalitions Presidents Make (2023) tentang koalisi (pemimpin) partai yang dibentuk Jokowi karena statusnya di PDI Perjuangan (PDI-P) hanya ”petugas partai” bukan ketua umum.
Pada 8 Desember 2023 saya menerima surat dari pengurus PDI-P meminta kata pengantar untuk buku sejarah partai itu yang ditulis oleh tim yang diketuai Andreas Hugo Pareira.
Ilustrasi/Supriyanto
Saya tanyakan apakah buku itu akan diterbitkan bersamaan dengan ulang tahun partai pada 10 Januari 2024?
Naskah berjudul 50 Tahun Jejak Perjuangan Partai Banteng, dari PDI ke PDI Perjuangan mencakup rentang waktu 10 Januari 1973 sampai Juni 2023. Namun, ternyata terjadi perkembangan tak terduga sejak pertengahan 2023.
Buku yang berisi banyak puja-puji terhadap Presiden Jokowi perlu ditinjau kembali atau ditulis ulang. Kesan pertama saya, ”orang dalam” PDI-P sendiri terlambat mengetahui perkembangan cepat yang terjadi di Istana. Dari seorang staf khusus Presiden, belakangan saya tahu, ia yang dulu diajak Presiden ke mana-mana sudah ditinggalkan.
Dari mantan Dubes RI di Tunisia yang kini bekerja di Lemhanas saya beroleh informasi, Jokowi sudah melakukan berbagai manuver untuk memperpanjang periode kekuasaannya. Kemudian, saya menonton podcast Andi Wijayanto, gubernur Lemhanas yang mengundurkan diri; serta Andrinof Chaniago yang dulu pendukung dan pembantu Presiden, ternyata sudah tidak sejalan.
Baca juga : Merebut Kuasa Nepotisme
Tonggak penting
Pertanyaan sejarah penting, sejak kapan Jokowi berubah, bagaimana bentuk dan proses perubahan, serta mengapa terjadi? Tonggak penting perubahan: 10 Januari 2023, hari ulang tahun PDI-P.
Rencana semula, acara itu digelar di Gelora Bung Karno. Namun, tidak diperbolehkan oleh Menpora karena lapangan itu sedang dipersiapkan untuk pertandingan kejuaraan sepak bola dunia U-20. Karena itu, lokasi digeser ke Expo Kemayoran. Dalam acara itu, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri mengatakan, ”Pak Jokowi jangan mentang-mentang, ya.” ”Jokowi tidak ada apa-apanya tanpa PDI-P.”
Tentu, ia sangat malu karena ditegur di depan massa PDI-P dan disiarkan langsung oleh berbagai saluran televisi. Kejuaraan sepak bola U-20 ternyata diikuti Israel. Dua gubernur yang berasal dari PDI-P (I Wayan Koster di Bali dan Ganjar Pranowo di Jawa Tengah) menyatakan penolakan keikutsertaan Israel berlaga di Indonesia. Kejuaraan itu batal diselenggarakan di Tanah Air. Sebuah event andalan Presiden gagal digelar.
Perkembangan politik nasional semakin hangat jauh hari sebelum pemilihan presiden awal 2024. Deklarasi calon presiden diawali pada 3 Oktober 2022, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh mendukung Anies Baswedan dan enam bulan kemudian (21 April 2023) Megawati memilih Ganjar Pranowo sebagai calon presiden. Presiden Jokowi mengundang para ketua umum partai yang ikut koalisi ke Istana, Surya Paloh tidak diikutkan.
Ilustrasi
Pada 29 Mei 2023, dalam pertemuan dengan media massa nasional di Istana, Jokowi mengatakan akan ”cawe-cawe” dalam pemilihan presiden mendatang. Kalau yang dimaksudkan dengan cawe-cawe itu adalah ”intervensi”, tentu bertentangan dengan undang-undang. Menurut Istana, istilah cawe-cawe yang dimaksud Presiden ingin menjamin bahwa pilpres dan pemilu legislatif berjalan lancar.
Presiden mengajak Prabowo dan Ganjar dalam meninjau panen raya padi di Kebumen, Jawa Tengah, 9 Maret 2023. Ini memberikan kesan bahwa Jokowi mengusulkan pasangan ini.
Namun, faktanya, masing-masing tentu tidak mau jadi orang kedua alias calon wakil presiden. Prabowo lebih senior dan sudah dua kali jadi calon presiden. Ganjar dicalonkan oleh PDI-P, sebuah partai besar yang bahkan bisa mengajukan calonnya sendiri.
Nepotisme Jokowi
Apakah dalam hal ini Jokowi memang mengajukan ”proposal yang sudah dirancang untuk gagal”? Karena solusinya kemudian adalah munculnya nama Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi, sebagai pendamping Prabowo.
Dalam suasana kritis ini, masuklah pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait usia calon wakil presiden minimal 40 tahun.
Baca juga : Demokrasi dan Teater Nepotisme
Singkat cerita, akhirnya, MK yang diketuai Anwar Usman, ipar Presiden Jokowi, meloloskan Gibran sebagai calon wakil presiden walaupun sang paman dijatuhi hukuman etika dengan dicopot kedudukannya sebagai ketua MK.
Bagi Gibran, ini merupakan kontroversi kedua. Ketika maju dalam pemilihan wali kota Surakarta, PDI-P sebetulnya sudah memiliki calon sendiri. Namun, Jokowi meminta kepada Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri agar putranya yang dimajukan.
Setelah menjadi calon, timbul masalah lain karena kemungkinan Gibran melawan kotak kosong dalam pemilihan tersebut. Tiba-tiba muncul figur yang kurang dikenal yang mencalonkan diri, Gibran pun terhindar dari melawan kotak kosong.
Keberpihakan Jokowi pada nepotisme itu sudah dimulai sejak Gibran Rakabuming Raka dicalonkan menjadi wali kota Surakarta pada 2020.
Jadi, sejak kapan Jokowi berubah? Jika terkait dengan Megawati Soekarnoputri dan penentangan terhadap PDI-P, salah satu tanggal yang menentukan adalah 10 Januari 2023. Namun, jika diasumsikan bahwa memang dari semula Jokowi ingin menerapkan nepotisme, waktunya adalah tahun 2020 ketika Gibran dicalonkan PDI-P menjadi wali kota Surakarta.
Apakah koalisi kuat yang dipersiapkan Jokowi itu untuk mendukung nepotisme atau nepotisme itu bagian dari pembentukan koalisi kuat?
Yang jelas, perubahan itu sudah berproses dari tahun 2020 sampai 2023 dan berlanjut sampai kini. Jokowi sudah dan terus berubah. Kita sendiri tidak tahu akhirnya berubah jadi apa.
Asvi Warman AdamProfesor Riset Bidang Sejarah Sosial Politik BRIN
Asvi Warman Adam