Gempa Kerak Dangkal di Laut Jawa, Fenomena Geologi Langka
Ada sesar besar Kebumen-Muria-Meratus yang merupakan rangkaian sesar di utara Pulau Jawa yang perlu diwaspadai.
Oleh
HIJRAH SAPUTRA
·4 menit baca
Pada Jumat (22/3/2024) yang cerah, beberapa gempa bumi tektonik mengguncang utara Pulau Jawa.
Laporan terakhir Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menunjukkan, gempa utama yang dianggap sebagai mainshock telah terjadi dua kali. Gempa dengan Magnitudo (M) 6,0 terjadi pada pukul 11.22.45 WIB dan gempa dengan M 6,5 terjadi pada pukul 15.52.58 WIB. Keduanya terjadi di laut, 130 kilometer timur laut Tuban, dekat Pulau Bawean.
Kedalaman kedua gempa sangat dangkal, 10-12 kilometer, menunjukkan bahwa, selain gempa utama, terjadi 64 gempa susulan. Gempa bumi ini dirasakan di berbagai wilayah di Jawa Timur, bahkan sampai ke Jawa Tengah dan Kalimantan. Walaupun tidak berpotensi tsunami, gempa mengakibatkan kerusakan beberapa bangunan, seperti rumah sakit, masjid, dan rumah warga.
Sebelum gempa bumi yang terjadi di Laut Jawa pada pekan lalu, para ilmuwan geologi dan geofisika telah melakukan penelitian dan observasi terhadap struktur geologi di wilayah utara Pulau Jawa. Namun, keberadaan sesar mendatar yang aktif, khususnya yang berkontribusi pada gempa bumi dangkal ini, mungkin belum sepenuhnya dipahami atau diidentifikasi secara luas oleh komunitas ilmuwan secara lebih baik.
Penemuan atau konfirmasi sesar semacam itu menandai kemajuan besar dalam pemahaman kita tentang risiko seismik di wilayah ini dan menggarisbawahi pentingnya penelitian geologi berkelanjutan untuk mengidentifikasi dan memahami struktur geologi yang dapat memengaruhi risiko bencana di masa depan.
Sejarah menunjukkan, gempa dangkal di utara Pulau Jawa bukan yang pertama kali terjadi dan pernah terjadi pada 1890 di dekat pusat gempa Bawean pada Jumat lalu. Gempa tersebut juga memiliki kekuatan yang hampir sama, M 6,5. Menurut para ahli, ada sesar besar Kebumen-Muria-Meratus yang merupakan rangkaian sesar di utara Pulau Jawa yang perlu diwaspadai aktivitasnya.
Dua patahan di laut utara Jawa, Sesar Muria, dan Sesar West 15 diduga menjadi sumber gempa pada Jumat lalu. Gempa itu diduga berasal dari dua segmen sesar ini. Namun, penelitian tentang mekanisme dan karakteristik sumber masih perlu dilakukan. Fenomena ini menunjukkan betapa aktif lapisan bumi kita setiap hari dan betapa penting untuk selalu siap menghadapi bencana alam.
Dinamika patahan dan gempa susulan
Jika dilihat dari proses kejadian gempa utama pertama dengan kekuatan M 6,0 dan gempa kedua M 6,5, jaraknya cukup berdekatan dengan posisi yang berbeda. Maka, bisa dilihat bahwa gempa pertama telah mengaktifkan segmen patahan kedua yang menyebabkan gempa utama kedua terjadi.
Kondisi ini cukup cocok dengan keberadaan Sesar Muria dan Sesar West 15 yang berdekatan. Dengan beberapa gempa susulan yang telah terjadi dan dua gempa utama, menurut teori, energi patahan itu sudah dikeluarkan. Namun, ada yang perlu diwaspadai dan bahkan jadi perhatian kita bersama sebagai bentuk kesiapsiagaan, yaitu keberadaan Sesar Rembang-Madura-Kangean-Sakala (RMKS).
Terutama jika terjadi reaktivasi terhadap sesar yang membelah Kota Surabaya sampai Pulau Madura itu.
Secara tak langsung, peristiwa ini mendorong kita untuk lebih memperhatikan dan memahami lebih dalam tentang geologi dan kemungkinan bencana yang mengintai. Dengan ciri-ciri seperti ini, gempa tersebut menunjukkan bahwa aktivitas tektonik di wilayah itu lebih kompleks daripada yang dipahami masyarakat umum, bahkan para ilmuwan.
Di tengah Laut Jawa terdapat sesar mendatar aktif, yang menarik perhatian para geolog dan peneliti. Bukti ini meningkatkan pemahaman kita tentang dinamika tektonik di daerah tersebut. Ini menunjukkan proses alam di bawah permukaan bumi terus berlangsung, sering kali tanpa kita sadari, hingga terjadi gempa yang mengingatkan kita akan keberadaannya.
Gempa bumi ini menjadi pelajaran penting tentang kesiapsiagaan karena menunjukkan bahwa tak ada tempat yang benar-benar aman dari bencana alam dan bahwa kesadaran dan persiapan yang baik penting untuk mengurangi akibatnya.
Gempa di laut utara Jawa, 22 Maret lalu, menunjukkan kerentanan geologis yang kita miliki. Di sini pentingnya memperkuat kebijakan publik tentang bencana alam dan kesiapsiagaan bencana, termasuk meningkatkan standar bangunan tahan gempa serta mengembangkan dan memperluas program pendidikan masyarakat tentang kesiapsiagaan bencana.
Rekomendasi kebijakan publik harus mencakup peningkatan kolaborasi antara pemerintah, lembaga penelitian, dan masyarakat sipil dalam membangun sistem peringatan dini yang efektif; serta integrasi penelitian geologi dan data terbaru dalam perencanaan kota dan infrastruktur.
Untuk membangun budaya keselamatan dan kesiapsiagaan yang kuat di seluruh negeri, pendidikan dan pelatihan kesiapsiagaan bencana harus jadi bagian dari kurikulum sekolah dan program komunitas. Upaya bersama ini dapat meningkatkan ketahanan Indonesia dalam menghadapi bencana alam.
Hijrah SaputraDosen Magister Manajemen Bencana Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga