Parakitri T Simbolon, Selalu Menantang Arus
Dalam berbagai tulisannya, Parakitri berupaya menggugat paradigma berpikir lama, menantang arus utama pemikiran.
Bagi sebagian generasi pembaca harian Kompas akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an, tentu akrab dengan Cucu Wisnusarman. Dia adalah tokoh rekaan dalam seri tulisan di harian Kompas. Seri tulisan yang mudah dibaca, penuh kisah-kisah segar dan terasa kocak, tetapi langsung menukik ke soal-soal substansial dan aktual-relevan masa itu.
Saya teringat salah satu penggalan kisahnya, kira-kira seperti ini: Seorang penderita sakit telinga konsultasi ke dokter spesialis THT. Pertanyaan pertama dokter adalah, ”Telinga mana yang sakit?” Ketika pasien menjawab, ”Telinga kanan,” dokter menolak mengobatinya. ”Maaf, saya dokter spesialis telinga kiri, Anda harus ke dokter spesialis telinga kanan,” kata sang dokter spesialis.
Percakapan Cucu Wisnusarman yang kelihatan kocak itu justru menukik ke tema besar yang menjadi wacana utama tahun 1970-an: modernisasi dengan segala implikasinya! Perubahan corak masyarakat dari ”tradisional” ke ”modern” membawa proses diferensiasi yang dahsyat dalam segala kegiatan kehidupan, termasuk juga tuntutan semakin pentingnya profesionalisme dan spesialisasi dalam semua bidang kehidupan akibat modernisasi tersebut.
Baca juga: Parakitri T Simbolon, Wartawan Pemikir Kebangsaan Itu Telah Berpulang
Harap diingat, era akhir 1970-an hingga awal 1980-an adalah tahun-tahun konsolidasi kekuasaan rezim Orde Baru, suatu rezim yang saat itu sangat gandrung pada tema pembangunan dan modernisasi. Namun, untuk mewujudkan modernisasi dan pembangunan, rezim Orde Baru mensyaratkan stabilitas politik, yang pada gilirannya mengorbankan kebebasan, bahkan menjadi represif. Itu sebabnya, Herbert Feith menyebut Orde Baru sebagai ”repressive-developmentalist regime”.
Dalam suasana semacam itulah, ketika semua orang digiring dan terpukau dengan tema-tema pembangunan (ekonomi) dan modernisasi tersebut, muncullah tokoh Cucu Wisnusarman mengingatkan: selalu ada harga yang harus dibayar di balik keberhasilan pembangunan dan modernisasi. Ada sisi-sisi humanis yang terabaikan.
Pencipta tokoh Cucu Wisnusarman adalah wartawan Kompas, Parakitri Tahi Simbolon (dia lebih suka menulis dengan nama Parakitri saja). Beda karakter Cucu Wisnusarman yang santai dan sering jenaka, Parakitri (lahir di Samosir, 28 Desember 1947) adalah tipe orang serius, walau sesekali bisa santai dan kocak juga di antara teman-teman akrabnya.
Para mahasiswa, aktivis, dan pegiat diskusi di kampus Universitas Gadjah Mada awal tahun 1970-an pasti akrab dengan nama Parakitri. Saat masih mahasiswa di UGM, dia menjadi salah salah satu redaktur di Mingguan Sendi, tempat berkumpul dan berdiskusi beberapa tokoh mahasiswa dengan tingkat intelektualitas yang terbukti kemudian hari.
Dalam forum diskusi yang sering diadakan di kampus UGM saat itu ada nama-nama seperti Ashadi Siregar, Peter Hagul, Daniel Dhakidae, Mochtar Pabottingi, dan Aini Chalid. Selain para mahasiswa pintar tersebut, juga ada nama-nama besar yang kerap ikut diskusi bersama: ada Umar Kayam, Romo Mangunwijaya, dan Rendra.
Pencipta tokoh Cucu Wisnusarman adalah wartawan ’Kompas’, Parakitri Tahi Simbolon (dia lebih suka menulis dengan nama Parakitri saja).
Dalam lingkungan inilah kapasitas keilmuan dan kecendekiawanan dalam diri Parakitri yang diperoleh melalui pendidikan formal di kampus UGM (dia sempat dua tahun menjadi asisten di almamaternya),dan bakat-bakat seni serta kapasitasnya sebagai budayawan mendapat tempat berpijak kuat. Bakat dan kapasitas itulah yang kemudian terbukti beberapa tahun kemudian, ketika Parakitri pindah dan berkarier di Jakarta.
Pada awal kariernya, dan sesuai dengan latar belakang pendidikannya, alumnus Jurusan Hubungan Internasional Fisipol UGM tahun 1972 ini pernah menjadi pegawai negeri di Kementerian Luar Negeri. Namun, hanya sebentar menjadi ”priayi” yang rupanya tak cocok dengan karakternya, Parakitri berhenti dari Kementerian Luar Negeri dan bergabung dengan harian Kompas, menjadi wartawan sejak 1976 sampai pensiun.
Mendalami berbagai isu
Di Kompas, Parakitri fokus pada isu-isu kebudayaan, juga kesenian. Sambil menjalankan tugas pokoknya sebagai jurnalis, dia juga mendalami berbagai isu yang sedang aktual dalam masyarakat dan terus menghasilkan berbagai karya publikasi dengan tema-tema beragam.
Dia menulis sastra (novel dan cerpen), di antaranya yang terkenal novel biografis Kusni Kasdut (1981) dan Si Bongkok (1981). Parakitri juga menulis skenario film, di antaranya Gadis Penakluk yang berhasil meraih Piala Citra dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1981 dan skenario film Topaz Sang Guru (disadur dari naskah drama Topaze karya Marcel Pagnol).
Selain karya-karya seni, sastra, dan kebudayaan, sebagai ilmuwan Parakitri juga mendalami isu-isu sosial politik dan ekonomi aktual dan menghasilkan beberapa publikasi serius. Dalam berbagai tulisannya, Parakitri berupaya menggugat paradigma berpikir lama, menantang arus utama pemikiran yang sedang berkembang pada masanya.
Baca juga: Kusni Kasdut yang Fenomenal
Salah satu tulisannya dalam kategori ini adalah yang berjudul ”Di Balik Mitos Angkatan 66” dalam Jurnal Prisma (Desember 1977). Tulisan ini menantang anggapan umum yang mengagung-agungkan peran Angkatan ’66 dalam mengakhiri kekuasaan Orde Lama pada 1966.
Menurut Parakitri, sesungguhnya peranan Angkatan ’66 sekitar peristiwa 1966 hanyalah sampai pada taraf spontan dan insidental belaka, dan di belakang mereka ada kekuatan lain yang mengarahkan. ”Mereka sama sekali tidak sampai pada penciptaan paradigma kehidupan politik nasional yang baru”, tulis Parakitri.
Beberapa tahun kemudian, tulisan Parakitri tersebut bersama dengan beberapa tulisan terpilih lain yang pernah dimuat di Jurnal Prisma, termasuk tulisan saya, ”Dilema Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan: Perjuangan Mencari Identitas” (Prisma, Desember 1981), diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Analisa Kekuatan Politik di Indonesia: Pilihan Artikel Prisma (LP3ES, 1985).
Kapasitas keilmuan dan kecendekiawanan seorang Parakitri tentu mendapat perhatian dari pemimpinnya di Kompas, Jakob Oetama. Maka, dengan beasiswa dari Kompas, sejak 1986 Parakitri melanjutkan studi doktoralnya dalam bidang sosiologi pembangunan di Vrije Universiteit, Amsterdam, dan berhasil meraih gelar doktor pada 1991 dengan disertasi berjudul Tapping on the Wall: Ethnicity and Marketplace Trade in the Urban Context of Jakarta.
Selain sebagai jurnalis, esais, dan budayawan, Parakitri juga ilmuwan yang tekun membaca, meneliti, dan mendalami tema-tema tertentu, termasuk meneliti berbagai dimensi dalam sejarah perkembangan nasional Indonesia. Ketekunan dan kapasitasnya meneliti berbagai dimensi sejarah itulah yang kemudian menghasilkan karya besarnya, Menjadi Indonesia (Penerbit Buku Kompas, 1995) jilid 1 setebal 803 halaman (dari rencana tiga jilid).
Dengan latar belakangnya sebagai ilmuwan, esais, budayawan, sastrawan, dan jurnalis, tidak mengherankan Parakitri menulis dalam berbagai tema yang beragam: dari ekonomi, politik, hingga sastra dan kesenian, termasuk film. Dalam bidang atau tema apa pun yang ditulisnya, tampak kedalaman pemahaman dan penelusurannya.
Maka, melalui novel karya Parakitri ini, kita bisa mendapat pemahaman yang sama sekali lain tentang sosok kriminalis legendaris Kusni Kasdut.
Namun dari semua karyanya yang beragam itu, yang paling berkesan bagi saya pribadi adalah Kusni Kasdut (1981). Buku ini adalah novel biografis yang lengkap menelusuri latar belakang sejarah dan aspek-aspek kemanusiaan dari sosok kriminalis legendaris Kusni Kasdut (lahir Desember 1929), bekas pejuang kemerdekaan yang ikut bertempur selama perang kemerdekaan, 1945-1949 (lahir Desember 1929 – mati dieksekusi regu tembak 16 Februari 1980).
Untuk menulis novel biografis ini, Parakitri telah menelaah begitu banyak dokumen sejarah dan arsip. Dia juga telah mewawancarai puluhan orang, termasuk wawancara intensif dengan sang tokoh dalam penjara, Kusni Kasdut, bekas pejuang yang ikut bertempur melawan penjajah Belanda selama perang kemerdekaan 1945-1949.
Maka, melalui novel karya Parakitri ini, kita bisa mendapat pemahaman yang sama sekali lain tentang sosok kriminalis legendaris Kusni Kasdut. Kalau meminjam istilah salah seorang sahabat dekat Parakitri, yakni almarhum Daniel Dhakidae, Kusni Kasdut seperti juga kriminalis legendaris lain, seperti Taufik dan Henky Tupanwael, tergolong sebagai ”power of the outcasts”, keberkuasaan kaum terbuang, mereka yang tersingkir dari masyarakat.
Parakitri memang selalu menantang arus, menguak mitos... .
Manuel Kaisiepo, Wartawan Kompas (1984-2000); Pengurus Aliansi Kebangsaan