Palestina: Antara Gencatan Senjata dan Solusi Damai
Gencatan senjata adalah bagian penting dari proses perdamaian; salah satu bentuk membangun kepercayaan diri.
Perang Hamas-Israel memasuki tahap yang belum pernah terjadi sebelumnya (unprecedented). Perang Gaza sudah menjadi masalah global dan pada akhirnya gencatan senjata (ceasefires) harus diwujudkan dan solusi permanen konflik Palestina-Israel sudah sangat mendesak dilakukan.
Korban tewas warga Palestina sudah mencapai 30.000 jiwa lebih, sekitar 5.000 di antaranya anak-anak. Selain itu, juga 1.400 warga Israel, 90 jurnalis, dan 80 petugas Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA). Sebanyak 130 sandera dan ribuan orang lainnya masih hilang.
Lebih dari 70 persen bangunan/rumah hancur dan 2,2 juta penghuninya mengungsi. Sementara 5.000-9.000 pejuang Hamas dan 600-an tentara Israel juga diberitakan tewas. Di Tepi Barat, yang jauh dari perang, diberitakan 300-an warga Palestina tewas akibat tindak kekerasan tentara Israel.
Di Amerika Serikat (AS), Aaron Bushnell (25), prajurit Angkatan Udara AS, membakar dirinya di depan Kedubes Israel di Washington pada 25 Februari 2024, hingga akhirnya tewas, sebagai protes atas perang ini. Aksi ini merupakan peristiwa kedua setelah pada 1 Desember 2023 seorang wanita AS membakar diri hingga kritis di depan Konsulat Israel di Atlanta.
Di berbagai bagian dunia, termasuk Indonesia, demonstrasi anti-Israel dan dukungan terhadap Palestina merebak.
Sejarah permusuhan Israel-Hamas dipenuhi kesepakatan gencatan senjata yang kerap dilanggar.
Terakhir, pada 29 Desember 2023, Afrika Selatan membawa kasus kekejaman Israel ini ke Mahkamah Internasional (IJC) di Den Haag, didukung oleh 52 negara. Ini jumlah terbesar sejak IJC didirikan pada 1945.
Sejarah gencatan senjata
Gencatan senjata adalah ciri konflik bersenjata antarnegara yang bisa berbeda-beda bentuk dan tujuannya. Secara umum, gencatan senjata adalah segala bentuk pengaturan di mana pihak berkonflik berkomitmen menghentikan kekerasan untuk sementara atau permanen. Termasuk: penghentian tembak-menembak dan aksi kekerasan, jeda kemanusiaan, hingga penghentian permusuhan.
Gencatan senjata ini bisa mulai dari yang longgar dan informal hingga yang pengaturan formal, baik bilateral maupun multilateral.
Menurut Clayton, Mason, dan Sticher dari Center for Security Studies (11/2019), antara tahun 1989 dan tahun 2020 terdapat lebih dari 2.000 gencatan senjata di lebih dari seratus konflik bersenjata di dunia. Gencatan senjata adalah bagian penting dari proses perdamaian; salah satu bentuk membangun kepercayaan diri, sarana menunjukkan good-will, dan mekanisme untuk menetapkan syarat-syarat transisi angkatan bersenjata dari perang ke perdamaian.
Gencatan senjata Korea Utara-Korea Selatan yang dirundingkan selama dua tahun (1951-1953) merupakan negosiasi terpanjang yang mengakhiri tiga tahun pertempuran kedua negara (1950-1953).
Langkah Korea sangat unik karena meski disepakati di antara komandan militernya, perjanjian itu secara resmi disahkan Majelis Umum PBB pada 28 Agustus 1953 untuk membuka jalan bagi perdamaian. Perundingan damai dilakukan pada 1954 di Geneva, Swiss, tetapi tak tercapai kesepakatan sehingga kedua Korea secara teknis masih dalam keadaan perang.
Ilustrasi/Heryunanto
Sejarah permusuhan Israel-Hamas dipenuhi kesepakatan gencatan senjata yang kerap dilanggar. Antara Juni 2008 dan Mei 2023 terjadi enam konflik bersenjata Hamas-Israel yang ”berakhir” dengan gencatan senjata, yang dimediasi oleh Mesir, tetapi kemudian kolaps.
Pada kasus Juli 2014, misalnya, kontak senjata dipicu oleh penculikan tiga remaja Israel di Tepi Barat dan setelah enam hari Israel membombardir Gaza, Mesir mengusulkan gencatan senjata yang disetujui Israel, tetapi ditolak Hamas.
Secara keseluruhan ada sembilan gencatan senjata yang terjadi selama 51 hari sebelum konflik berakhir. Lebih dari 2.000 warga Palestina dan 70 warga Israel tewas (NYT, 24/11/2023).
Solusi satu atau dua negara?
Sejalan dengan upaya mencapai suatu gencatan senjata yang permanen, dorongan ke arah penyelesaian damai Palestina juga kembali mencuat. Dan, sejak lama skenarionya berkisar pada usulan One State dan Two State Solution dengan berbagai variannya.
Dalam solusi satu negara, warga Israel dan Palestina; Kristen, Muslim, dan Yahudi, akan hidup damai dan hidup setara di antara Sungai Yordan dan Laut Mediterania, yang terdiri dari Israel pra-1967, Jalur Gaza, dan Tepi Barat, yang sering disebut ”Tanah Suci” (Holy Land). Mereka bisa hidup di mana pun mereka mau di Tanah Suci dan berhak memilih di pemilu nasional. Ibu kota akan berada di Jerusalem, dan pemerintah akan berasal dari warga Yahudi dan Palestina.
Baca juga: Hamas Kirim Respons Gencatan Senjata, Israel Terus Gempur Gaza
Edward Said—aktivis Palestina, penggagas studi pascakolonial, dan penulis buku Orientalism (1978)—mengatakan, gagasan negara Mesir untuk warga Mesir, negara Yahudi untuk umat Yahudi, bertentangan dengan kenyataan. Apa yang kita butuhkan adalah memikirkan kembali masa kini dalam hal hidup berdampingan dalam perbatasan yang rapuh.
Muammar Khadafi pada 2003 pernah menyebutnya sebagai satu negara ”Isratin”. Sementara pada 2004, politisi Fatah Marwan Barghouti mende- sak Palestina untuk meninggalkan proses perdamaian dan sebaliknya memperjuangkan persamaan hak atau citizenship idea, seperti dikatakan akademisi Inggris, Ghada Karmi.
Ilmuwan Virginia Tilley, penulis buku The One State Solution (2005), adalah penggagas pertama kajian ilmiah mengenai gagasan ini. Sejak itu, Jimmy Carter dan sekelompok tokoh senior (The Elders), seperti Desmond Tutu dan Mary Robinson, juga menyuarakan itu dan sebagian menyebut gagasan ini nantinya bisa meniru model Kanada, Swiss, atau Belgia.
Menurut Jeremy Pressman, dalam ”Assessing One-State and Two-State Proposals to Solve the Israel-Palestine Conflict” (www.e-ir.info, 27/6/2021), kendala utama visi satu negara ini adalah mengenai definisi Israel saat ini dan bagaimana dampaknya pada transisi menuju kesetaraan penuh bagi warga Palestina dan Israel.
Negara Yahudi ini tak cocok dengan Tanah Suci karena menganggap simbol, hukum, dan kebijakan Pemerintah Israel berada di atas warga Palestina. Israel saat ini memberikan hak istimewa kepada orang Yahudi, misalnya, migrasi, perumahan, pekerjaan, pengobatan, dan hak-hak politik. Tidak terbayangkan warga Yahudi akan rela mengorbankan ”keistimewaan” tersebut.
Solusi dua negara
Ketertarikan pada solusi dua negara muncul setelah perang tahun 1967 antara Israel dan Mesir, Jordania, dan Suriah, yang mengakibatkan pendudukan Israel atas wilayah di ketiga negara ini, termasuk Tepi Barat dan Jalur Gaza di Palestina.
Dalam solusi dua negara, berarti akan ada Israel dan Palestina yang sama-sama berdaulat dan hidup berdampingan.
Israel sudah berdiri sebagai negara merdeka dan perbatasannya sebagian besar akan kembali ke keadaan semula pada 1949-1967. Palestina akan berlokasi di Gaza dan wilayah yang mencakup 95 persen wilayah Tepi Barat. Jerusalem akan berfungsi sebagai ibu kota kedua negara, dengan kedaulatan Israel di Jerusalem Barat dan Palestina di Jerusalem Timur.
Karena perhatian dunia terfokus pada permusuhan yang mematikan ini, gagasan dua negara ini kini mendapat getting a new hearing. Kegetiran dirasakan baik di kalangan kebijakan luar negeri ataupun di antara para kombatan. Hal ini terutama disebabkan oleh ”kurangnya alternatif lain yang layak” (NYT, 1/11/2023).
Negara Yahudi ini tak cocok dengan Tanah Suci karena menganggap simbol, hukum, dan kebijakan Pemerintah Israel berada di atas warga Palestina.
Solusi dua negara dinilai paling layak (feasible) karena dua alasan utama. Pertama, solusi ini lebih populer dibandingkan solusi satu negara dan dukungan di antara warga Palestina dan Israel terus meningkat meski tingkat dukungan sangat bervariasi akibat perluasan permukiman ilegal Israel (Index PSR, November 2023).
Kedua, adanya dukungan internasional yang luas, termasuk PBB, Uni Eropa, Liga Arab, Rusia, China, dan bahkan AS dan sekutunya. Namun, perunding Israel-Palestina, khususnya pada 2000-2001 (di Oslo/Camp David/Taba) dan 2007-2008 (di Annapolis), masih belum berhasil mencapai kesepakatan.
Satu isu sensitif dalam solusi dua negara adalah perubahan di lapangan yang disebabkan oleh perluasan permukiman ilegal Israel, khususnya di Tepi Barat. Saat ini sudah terdapat lebih dari 100 permukiman dengan lebih dari 500.000 pemukim Yahudi di Tepi Barat, dan tambahan 220.000 di Jerusalem Timur. Peluang atas penyelesaian isu ini tetap terbuka mengingat melalui perundingan damai Camp David 1979, Mesir mendapatkan kembali Gurun Sinai yang diduduki Israel sejak Perang 1967.
Konsekuensinya, Israel harus membongkar 18 permukiman Israel di seluruh Semenanjung Sinai, terutama di sepanjang Teluk Aqaba dan di selatan Gaza. Selain itu, Israel juga membongkar dua pangkalan AU, satu pangkalan AL, dan sejumlah instalasi militer lain, juga sebagian besar sumber daya minyak yang dikuasainya. Bahkan, pada 2004-2005, pasukan Israel keluar dari Gaza ketika pecah pertempuran Hamas-Fatah pascawafatnya Yasser Arafat dan pemilu legislatif di wilayah itu.
Ilustrasi/Supriyanto
Tidak akan tuntas
Matin Indyk, dalam ”The Strange Resurrection of the Two-State Solution” (Foreign Affairs, Maret/April 2024) mengatakan, solusi cara Hamas adalah ”kehancuran Israel”; sementara cara kelompok ultra-kanan Israel adalah ”aneksasi Tepi Barat, pembubaran Otorita Palestina, dan deportasi warga Palestina ke negara lain”.
Sementara PM Benjamin Netanyahu berusaha mempertahankan status quo hingga tidak terbatas (indefinitely). Oleh karena itu, menurut Indyk, solusi dua negara merupakan The Last Plan Standing.
Diperkirakan pembahasan mengenai dua negara sekalipun tak akan tuntas, menimbang semua pilihan yang ada. Status quo adalah kenyataan saat ini dan mungkin berlangsung bertahun-tahun.
Solusi dua negara akan jadi solusi jangka panjang, yang mungkin dapat dipercepat jika Hamas dan Fatah bisa menyelesaikan perbedaan mendasar di antara mereka, yaitu Hamas harus meninggalkan cara kekerasan, melupakan gagasan negara Islam, melupakan ilusinya melenyapkan Israel, dan bersama Fatah mengedepankan upaya diplomasi. Di lain pihak, mengingat sayap kanan (yang keras dalam masalah Palestina) masih memerintah di Israel, peluang memang lebih terbuka jika Netanyahu lèngsèr keprabon.
Baca juga: Hamas Pertimbangkan Usulan Gencatan Senjata
Lalu, di mana peran Indonesia? Meski memiliki cukup amunisi (leverage) untuk jadi mediator, Indonesia hanya bisa berperan dalam upaya damai Palestina-Israel apabila ”mengakui Israel” terlebih dahulu. Tanpa pengakuan itu, lupakan!
Dian Wirengjurit,Duta Besar dan Diplomat Utama
Dian Wirengjurit