Korban jiwa akibat resistensi antibiotik terbukti nyata. Masyarakat, terutama dokter, harus bijak memakai antibiotik.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Tim liputan investigasi harian Kompas (Kompas.id) dalam laporan yang dimuat pada Senin (25/3/2024) menjumpai Meirifandrianto (46), yang biasa disapa Andri, di Gresik, Jawa Timur, 10 Februari 2024. Andri adalah pasien Covid-19 di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo, Surabaya, Jatim, pada Agustus 2020. Andri adalah pasien Covid-19 yang juga terinfeksi organisme yang resisten terhadap banyak antibiotik atau multiple drug resistant organism, disingkat MDRO.
Bambang Pudjo, dokter yang ikut menanganinya, menceritakan, RSUD Dr Soetomo akhirnya mendatangkan antibiotik golongan tingkat tertinggi dari Singapura karena antibiotik yang ada di RSUD Dr Soetomo tidak mempan. Hasil uji kultur menunjukkan Andri sudah resisten terhadap antibiotik yang ada di RSUD Dr Soetomo. Andri beruntung selamat dari infeksi MDRO. Risiko kematian akibat infeksi MDRO tergolong tinggi.
Keluarga korban meninggal akibat resistensi antibiotik juga ditemui tim investigasi, termasuk keluarga dokter. Felix Liauw, seorang dokter di Jakarta, menceritakan, pada 2019 ia kehilangan bayinya, antara lain karena resistensi antibiotik. Pengalaman resistensi antibiotik tidak kurang juga dialami Menteri Kesehatan periode 2012-2014 Nafsiah Mboi. Suaminya yang juga dokter, Ben Mboi, meskipun dinyatakan meninggal karena gagal jantung, resistensi antibiotik memperburuk keadaannya.
Kita tentu ikut prihatin dengan keluarga korban karena resistensi antibiotik ini yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Penemu antibiotik pertama pada 1928, Alexander Fleming, bahkan sudah mewanti-wanti ancaman resistensi antibiotik karena penggunaannya secara serampangan. Hingga kini, penggunaan secara serampangan antibiotik juga ditemukan oleh tim investigasi, bahkan di rumah sakit pemerintah. Sejumlah dokter masih meresepkan antibiotik untuk penyakit yang bukan disebabkan oleh bakteri, seperti vertigo atau sembelit.
Resistensi bakteri terhadap antibiotik ini juga meluas pada mikroba lainnya, seperti virus, jamur, dan parasit, sehingga secara global disebut sebagai resistensi antimikroba. Melalui tajuk rencana 22 November 2023, Kompas mengingatkan bahwa resistensi mikroba adalah ”pandemi senyap”. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan resistensi antimikroba menyumbang 5 juta kematian per tahun. Untuk mengendalikannya, WHO mengeluarkan buku panduan antibiotik, yang diikuti Kementerian Kesehatan.
Kita mendorong Kementerian Kesehatan dan organisasi nonpemerintah di Indonesia terus mengendalikan penggunaan antibiotik. Masyarakat perlu mendukungnya, terlebih lagi dokter. Dokter bijak meresepkan obat sesuai diagnosisnya. Pasien bijak membeli antibiotik dengan resep dokter.