Ketika perempuan mengambil bagian dalam politik, tidak hanya perempuan dan anak perempuan yang mendapatkan manfaat, tetapi juga seluruh masyarakat.
Temuan utama dalam laporan yang dibuat Westminster Foundation for Democracy bekerja sama dengan Global Institute for Women’s Leadership di King’s College London (2021) tersebut menegaskan pentingnya kontribusi perempuan bagi demokrasi. Hasil analisis terhadap lebih dari 500 penelitian mengenai dampak pemimpin perempuan dalam politik dan kehidupan publik ini menunjukkan, perempuan membawa gaya kepemimpinan kolaboratif dan inklusif.
Kepemimpinan kolaboratif dan inklusif merupakan kunci untuk mewujudkan kesejahteraan dan kesetaraan di masyarakat. Inilah substansi demokrasi yang sesungguhnya, bukan sebatas pada pelaksanaan pemilu yang bebas.
Namun, faktanya, keterwakilan perempuan dan laki-laki dalam politik belum setara. Meski ada kemajuan sejak 1995, ketimpangan masih tinggi. Proporsi global perempuan anggota parlemen baru mencapai 26,9 persen pada 2023 (Kompas, 22/3/2024). Jalan masih panjang dan berliku untuk mewujudkan kesetaraan keterwakilan perempuan dan laki-laki dalam politik, butuh waktu lebih dari 80 tahun untuk mencapainya (Inter-Parliamentary Union, 2024).
Baca juga: Demokrasi Makin Terancam, Kandidat Perempuan Jadi Pilihan
Solusinya dengan membuka ruang politik agar lebih banyak perempuan dapat berpartisipasi dalam politik. Salah satunya, sebagaimana diserukan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan memberikan suara bagi perempuan lebih banyak dalam pemilu. Tahun ini, dari 50 negara atau setengah dari populasi dunia mengadakan pemilu nasional. Selama ini, perempuan merupakan jumlah pemilih terbanyak dalam pemilu.
Upaya lain dengan mengatasi masalah-masalah yang menghambat partisipasi perempuan dalam politik. Selama ini, faktor-faktor struktural, kelembagaan, ekonomi, dan budaya menjadi penghambat bagi perempuan untuk berpartisipasi penuh di politik, kepemimpinan, ataupun pemerintahan.
Baca juga: Ilusi Politik Afirmasi
Banyak negara, termasuk Indonesia, telah meratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms Discrimination against Women) yang mengakui bahwa perempuan memiliki hak politik yang sama dengan laki-laki. Banyak negara juga mempunyai kebijakan afirmatif 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen.
Namun, dalam pelaksanaannya, partai politik dan pemangku kebijakan justru menjadi hambatan terbesar. Di Indonesia, misalnya, 18 partai politik belum memenuhi ketentuan 30 persen keterwakilan perempuan.
Dibutuhkan perubahan transformatif yang mencakup penerapan kebijakan yang berpihak kepada perempuan untuk mencapai kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam politik. Uni Emirat Arab telah menunjukkan praktik baik. Sebelum 2026, Uni Emirat Arab tidak memiliki perempuan di Dewan Nasional Federal, tetapi bisa mencapai kesetaraan jender pada 2019 berdasarkan keputusan presiden.