Masa Depan Israel
Publik Israel harus bangkit melawan mimpi rasisnya yang tak cocok dengan dunia baru.
Upaya mediasi Amerika Serikat, Qatar, dan Mesir untuk jeda perang Israel-Hamas selama bulan puasa menemui jalan buntu.
Hamas menuntut gencatan senjata permanen, seluruh pasukan Israel ditarik dari Gaza, pembukaan akses bantuan kemanusiaan, dan pembebasan ribuan warga Palestina—mayoritas ditahan tanpa peradilan—dari penjara-penjara Israel sebagai imbalan Hamas membebaskan lebih dari seratus sisa tawanan warga Israel yang disandera di Gaza.
Syarat ini tidak sejalan dengan tujuan perang Israel, yaitu membasmi Hamas hingga ke akar-akarnya. Kendati tujuan Israel ini tak masuk akal mengingat ”seluruh” orang Palestina kini telah mengadopsi ”ideologi” Hamas, menyetujui tuntutan itu sama artinya dengan Israel mengakui kekalahan. Ini akan berujung pada keruntuhan pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, pemerintahan paling kanan sepanjang sejarah Israel.
Apalagi, perpecahan di dalam masyarakat Israel terkait kepemimpinan Netanyahu semakin dalam. Kendati mayoritas mendukung perang, sebagian menuntut Netanyahu mundur dan pemilu dilaksanakan.
Keberhasilan serangan dadakan Hamas ke Israel selatan pada 7 Oktober lalu dilihat sebagai ketidakbecusan Netanyahu menjaga keamanan Israel. Serangan itu menewaskan 1.139 warga Israel, sipil ataupun militer, dan membawa sekitar 250 warga ke Gaza.
Mengingat perang Gaza tidak populer, bahkan meremas hati nurani komunitas global akibat genosida yang dilancarkan Israel, syarat Hamas itu tidak berlebihan.
Perang telah menciptakan puluhan ribu pengungsi internal, merusak reputasi badan intelijen dan militer, memukul ekonomi, menewaskan serta mencederai ribuan tentara, dan mengisolasi Israel dari komunitas global.
Netanyahu setuju gencatan senjata, tetapi hanya enam minggu demi pembebasan sandera untuk mengurangi tekanan publik terhadapnya. Posisi Hamas menggambarkan dua hal. Pertama, kesiapannya berperang dalam jangka panjang. Kedua, memanfaatkan momentum simpati yang diterima dari komunitas internasional.
Mengingat perang Gaza tidak populer, bahkan meremas hati nurani komunitas global akibat genosida yang dilancarkan Israel, syarat Hamas itu tidak berlebihan. Alasan klasik Israel, yang didukung AS, bahwa pihaknya hanya membela diri tidak bisa diterima dunia.
Genosida yang dilancarkan Israel telah menewaskan lebih dari 31.000 warga Palestina, mencederai sekitar 70.000 lainnya, dan membumihanguskan seluruh infrastruktur vital, serta 80 persen rumah penduduk.
Justru posisi Hamas yang memiliki moral dan legal standing mengingat mereka berada di bawah penjajahan Israel selama 76 tahun terakhir.
Sebagian penduduk Gaza merupakan pengungsi ketika pada 1948 tentara Zionis membumihanguskan 500-an desa Palestina yang kini masuk dalam wilayah Israel. Peristiwa ini dikenal sebagai ”Nakba” atau ”Catastrophe” (Malapetaka) yang diperingati Palestina setiap tahun. Gaza diduduki sejak 1967 dan ditinggalkan Israel sejak 2005. Namun, blokade ketat dan menyeluruh Israel atas enklave yang dihuni 2,3 juta orang itu menjadikannya penjara terbuka terbesar di dunia.
Genosida yang dilancarkan Israel telah menewaskan lebih dari 31.000 warga Palestina, mencederai sekitar 70.000 lainnya, dan membumihanguskan seluruh infrastruktur vital, serta 80 persen rumah penduduk.
Humanisme rasis
Apa yang dilakukan Israel atas Palestina, baik di Gaza maupun Tepi Barat, berpijak pada zionisme atau gerakan supremasi Yahudi yang menyerupai humanisme rasis, ideologi Nazi Jerman pimpinan Adolf Hitler.
Pengalaman getir bangsa Yahudi pada Perang Dunia II di mana 6 juta warga Yahudi tewas di kamar gas bukannya lebih memanusiakan bangsa Yahudi, melainkan justru mendorong mereka mengadopsi ideologi itu atas bangsa Palestina yang telah mendiami wilayah Israel-Palestina selama 1.200 tahun. Sementara negara Yahudi eksis di sana hanya 200 tahun (Gary M Burg, 2003).
Ketika mengirim tentara ke Gaza, Netanyahu mengutip ayat biblikal terkait kaum Amalek yang diperintahkan Tuhan untuk dibasmi. Netanyahu menyamakan Amalek—penghuni Gurun Negev antara Israel dan Sinai (Mesir) yang berperang dengan kaum Yahudi tiada henti—dengan bangsa Palestina.
Di dalam 1 Samuel 15:2-3, Tuhan memberi tahu Raja Saul, ”Aku akan membalas apa yang dilakukan orang Amalek kepada orang Israel karena orang Amalek menghalang-halangi mereka ketika orang Israel pergi dari Mesir. Jadi, pergilah sekarang, kalahkanlah orang Amalek, tumpas segala apa yang ada padanya, dan janganlah ada belas kasihan kepadamu. Bunuhlah semuanya, laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun kanak-kanak yang menyusu, lembu maupun domba, unta maupun keledai.”
Senapas dengan itu, para petinggi Israel menggambarkan orang Palestina sebagai ”animals”, ”subhuman”, dan diksi lain yang merendahkan orang Palestina. Maka, tak usah heran kalau kita menyaksikan bagaimana mesin perang Israel menghancurkan semua hal di Gaza dan menjadikan kelaparan sebagai senjata.
Orang-orang kelaparan yang berebut bantuan makanan dibantai. Yang mengejutkan, sebagaimana tindakan Hitler terhadap orang Yahudi, ethnic cleansing yang dilakukan Israel terhadap bangsa Palestina tak punya nilai strategis. Sebaliknya, hanya membangkitkan dunia untuk melawan Israel.
Para petinggi Israel menggambarkan orang Palestina sebagai ”animals”, ”subhuman”, dan diksi lain yang merendahkan orang Palestina.
Sejak awal, kaum Zionis memang memandang wilayah Palestina sebagai wilayah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa wilayah. Dus, sejak Israel berdiri, teror, pengusiran, pembunuhan, dan perampasan tanah Palestina terus dilakukan.
Ketika Liga Bangsa-Bangsa membagi wilayah Palestina untuk dua etnik pada 1947: 53 persen untuk bangsa Yahudi yang waktu itu populasinya hanya 36 persen dan 47 persen untuk Palestina yang warganya berjumlah 64 persen. Kini, wilayah Palestina (Tepi Barat, Jerusalem Timur, dan Gaza) tinggal 27 persen.
Sebagian besar telah dianeksasi Israel melalui pemukiman ilegal Yahudi di Tepi Barat ataupun Jerusalem Timur. Dalam pidatonya di Majelis Umum PBB sebulan sebelum serangan Hamas, Netanyahu memperlihatkan peta Israel yang menghilangkan wilayah pendudukan.
Saat ini, seperti yang sudah-sudah, konflik Palestina-Israel makin memprihatinkan terkait pembatasan Israel bagi orang muda Palestina untuk shalat di Masjid Al-Aqsa selama Ramadhan. Hal ini mengecewakan bangsa Arab karena berpotensi meluaskan konflik Palestina-Israel.
Realitas baru
Sejak 1948, Israel belum pernah menghadapi masalah eksistensial sesulit sekarang. Padahal, tantangan-tantangan di masa lalu—berupa keroyokan negara-negara Arab—mampu dilewatinya relatif mudah.
Bahkan, dalam Perang 1967, Israel berhasil menduduki Sinai (Mesir), Dataran Tinggi Golan (Suriah), Tepi Barat dan Jerusalem Timur (Jordania), dan tanah pertanian Sheba (Lebanon) hanya dalam waktu enam hari. Pujian dari negara-negara Barat pun diterima Israel.
Bahkan, sejak itu AS menjadikannya sebagai sekutu untuk melayani kepentingan hegemoninya di Timur Tengah, menjamin kelancaran aliran minyak, dan menghadang perluasan komunisme di kawasan strategis itu.
Kini, tak disangka Israel keteteran menghadapi Hamas, milisi dengan sumber daya manusia dan persenjataan yang sangat terbatas. Perang sudah memasuki enam bulan, tetapi tak ada tanda-tanda Hamas akan menyerah. Sementara teman-teman Israel mulai kritis terhadap kebijakannya.
Baca juga: Perang Hamas-Israel dan Dinamika Politik Kawasan
Pada Januari lalu, terkait aduan Afrika Selatan—didukung puluhan negara lain—Mahkamah Internasional mendesak Israel menghentikan apa yang dituduhkan sebagai tindakan genosida di Gaza. Desakan agar Israel memerdekakan Palestina pun meluas.
Sejauh ini pemerintahan Netanyahu menolak gagasan solusi dua negara. Memang jika Palestina merdeka dengan teritorial Gaza, Tepi Barat, dan Jerusalem Timur sesuai dengan resolusi-resolusi DK PBB, Israel akan kehilangan identitasnya sebagai negara Yahudi yang rentan terhadap ancaman negara tetangga.
Apalagi, Hamas yang lemah secara militer telah membuktikan Israel dapat dikalahkan. Lebih jauh, advantage Israel sebagai negara Timteng dengan militer paling superior akan lenyap. Maka, nilai strategisnya sebagai pengimbang Iran sehingga didamba negara-negara Arab Teluk akan ikut sirna.
Iran akan muncul sebagai negara paling berpengaruh di kawasan. Ini alasan mengapa negara-negara Arab, di luar retorika mereka mengecam Israel untuk meringankan tekanan publiknya, tidak cukup membantu Hamas, proksi Iran.
Apalagi, perdamaian dengan Palestina juga akan memaksa Israel berdamai dengan Suriah dan Lebanon, yang juga tempat bercokol milisi pro-Iran, dengan mengembalikan wilayah mereka. Selama Israel menduduki Golan dan Sheba, tak akan ada perdamaian menyeluruh dengan bangsa Arab.
Publik Israel harus bangkit melawan mimpi rasisnya yang tak cocok dengan dunia baru.
Dalam pandangan Israel, kalaupun harus memerdekakan Palestina, Israel harus dalam posisi kuat dalam perundingan—itu hanya mungkin kalau ia keluar sebagai pemenang perang—sehingga ia dapat mendikte syarat-syarat perdamaian yang menjamin kelangsungan hidupnya. Namun, harapan Israel ini tak akan terwujud.
Hamas bisa jadi akan kalah pertempuran, tetapi pasti akan menang perang. Berdirinya negara Palestina pun tak dapat dihindarkan. Israel harus realistis bahwa ambisinya menjadi pemain utama di kawasan sangat sulit dipertahankan.
Geopolitik global sedang berubah. AS dan sekutu Barat tak akan selamanya bisa mendukung Israel tanpa reserve apabila kepentingan nasionalnya terancam. Menurut Pew Research pada 2022, kendati mendukung demokrasi, tak kurang 76 persen masyarakat Arab tidak memercayai AS.
Sebaliknya, China dan Rusia, kompetitor AS, semakin mendapat tempat di hati mereka. China jadi penting bagi ekonomi negara Teluk karena mengimpor minyak dan gas mereka ketika ketergantungan AS pada energi Timteng anjlok drastis.
Apabila pemerintahan AS di bawah Presiden Joe Biden masih konsisten memasok persenjataan, uang, dan memberikan perlindungan diplomatik terhadap Israel, itu lebih terkait dengan kepentingan elektoral Biden di pemilu November menghadapi Donald Trump yang elektabilitasnya lebih tinggi.
Menerima takdir geografis dan agama etnis yang dipeluknya—sehingga menyulitkannya menjadi kekuatan besar—merupakan pilihan realistis untuk menjadi negara beradab, makmur, hidup berdampingan dengan bangsa Arab secara damai, dan kuat secara militer untuk mempertahankan diri.
Publik Israel harus bangkit melawan mimpi rasisnya yang tak cocok dengan dunia baru. Masa depan Israel terletak di Timteng, bukan di AS atau Eropa. Kalau tidak, Israel bisa kembali lenyap dari peta dunia sebagaimana dialami berulang kali di masa lampau. Bukan semata lantaran serangan negara tetangga, melainkan juga masalah perpecahan internal dan ketakmampuan beradaptasi dengan lingkungan hidupnya.
*Smith Alhadar,Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)