Deindustrialisasi Dini
Tak ada jalan lebih cepat untuk menjadi negara pendapatan tinggi dan maju, selain melalui industrialisasi.
Industrialisasi menjadi strategi utama bagi banyak negara di dunia untuk membangun ekonominya. Berawal dari Revolusi Industri di Inggris, kemudian melebar ke Eropa dan AS, pasca-Perang Dunia II industrialisasi juga dijalankan banyak negara berkembang untuk mengatasi ketertinggalan.
Sebagian negara berhasil, seperti Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Hong Kong. Namun, banyak juga yang lambat kemajuannya, bahkan gagal, dan kembali ke struktur ekonomi sebelumnya, tanpa peningkatan ekonomi yang berarti. Industrialisasi merupakan bagian penting dari transformasi ekonomi dengan menjadikan sektor manufaktur sebagai penggerak utama ekonomi.
Dengan intensitas modal, produktivitas, dan teknologi yang lebih tinggi, keterkaitan yang kuat dengan sektor primer dan jasa serta sifatnya yang tradable (dapat diperdagangkan ke luar negeri), sektor industri akan tumbuh tinggi dengan menarik sektor primer (pertanian dan pertambangan) serta membangun sektor jasa yang lebih produktif. Dinamika ini juga diikuti dengan perpindahan tenaga kerja dari sektor primer ke manufaktur secara bertahap.
Dengan meningkatnya pendapatan per kapita, permintaan akan jasa meningkat. Secara bertahap peranan sektor industri mulai menurun dan sektor jasa meningkat. Sejalan dengan berkurangnya peranan manufaktur terhadap perekonomian, porsi tenaga kerja di manufaktur secara bertahap menurun dan di sektor jasa meningkat. Ini proses industrialisasi yang berjalan secara alami.
Dengan demikian, suatu negara yang melakukan industrialisasi akan membentuk kurva U terbalik (inverse U shape curve), di mana pada masa industrialisasi peranan manufaktur dan tenaga kerja di sektor industri meningkat secara bertahap, kemudian mencapai titik maksimum. Setelah itu, peranan manufaktur menurun dan disebut sebagai periode deindustrialisasi.
Dari gambaran di atas, negara maju yang berhasil menjalankan industrialisasi juga mengalami deindustrialisasi.
Industrialisasi merupakan bagian penting dari transformasi ekonomi dengan menjadikan sektor manufaktur sebagai penggerak utama ekonomi.
Apa ukurannya bagi negara yang berhasil melakukan industrialisasi? Dengan mengambil ukuran pendapatan per kapita sejumlah negara, Dani Rodrik (2015) memperkirakan peranan manufaktur terhadap PDB mencapai puncaknya pada pendapatan per kapita sekitar 6.000 dollar AS pada 1990. Angka ini kira-kira sama dengan ambang negara berpendapatan tinggi pada saat itu (sekarang hampir 14.000 dollar AS).
Ringkasnya, industrialisasi yang baik dan matang seharusnya mampu meningkatkan peranan manufaktur terhadap PDB secara maksimal hingga ia menjadi negara berpendapatan tinggi.
Berbeda dengan industrialisasi yang terjadi di negara sudah maju, deindustrialisasi dini terjadi sebelum waktunya. Peranan manufaktur turun secara berlanjut sebelum waktunya.
Apa konsekuensinya jika ini terjadi secara akut? Risikonya adalah hilangnya atau menyempitnya jalur penting, yaitu industri, bagi terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Penggerak utama pertumbuhan ekonomi berkurang. Tarikan ke sektor primer berkurang dan bangunan sektor jasa belum terbentuk dengan baik.
Lebih dari itu, tenaga kerja dari sektor primer yang kurang produktif berpindah ke sektor jasa yang sebagian juga kurang produktif. Keseluruhan pertumbuhan ekonomi akan melambat atau paling tidak stagnan dengan produktivitas yang tidak tinggi.
Apakah mungkin negara yang tidak menjalankan industrialisasi bisa menjadi negara pendapatan tinggi? Jawabnya, bisa, apabila negara itu cukup kaya sumber daya alam (SDA). Beberapa negara kecil di Amerika Latin dapat menjadi negara pendapatan tinggi relatif dengan mengandalkan sektor primer, tetapi fluktuatif. Kadang turun ke negara pendapatan menengah. Sementara negara yang menjalankan industrialisasi dengan baik tetap menjadi negara pendapatan tinggi dengan pendapatan per kapita yang terus meningkat.
Tenaga kerja dari sektor primer yang kurang produktif berpindah ke sektor jasa yang sebagian juga kurang produktif. Keseluruhan pertumbuhan ekonomi akan melambat.
Di negara industri baru Asia (Korsel, Taiwan, Singapura, Hong Kong), peranan sektor industri relatif stabil di atas 20 persen meskipun sudah melewati kulminasi periode industrialisasi. Peranan industri di Singapura mencapai puncak dalam waktu yang cukup lama sambil membangun sektor jasa yang kuat.
Peranan industri di Korsel masih dalam kecenderungan meningkat dan stabil sekitar 26 persen dari PDB. Saat ini kemajuan pesat terjadi di Vietnam. Peranan industrinya terhadap PDB naik dari 17 persen pada 2010 menjadi 25 persen pada 2022.
Deindustrialisasi dini di Indonesia
Ekonomi Indonesia pernah mengalami industrialisasi pada masa Orde Baru yang diawali dengan pembangunan berencana 1970-an. Sejak 1996, Indonesia sudah tergolong negara berkembang yang berhasil menjalankan industrialisasi meski masih tahap awal. Peranan industri meningkat dari 8,9 persen (1973) menjadi 25,6 persen (1996).
Sektor industri tumbuh lebih tinggi 1,5 kali lipat dari pertumbuhan ekonomi dan bertindak sebagai penggerak utama ekonomi pada masa itu. Peranan sektor industri yang tinggi itu bahkan masih bertahan setelah Indonesia mengalami krisis moneter 1997/1998. Peranan sektor industri meningkat sampai 29,6 persen PDB pada 2001. Bukan karena sektor industri tumbuh tinggi seperti sebelum krisis, melainkan karena sektor tersier dan primer melambat lebih besar.
Pasca-2001, peranan sektor industri terus menurun. Padahal, tahun 1996, Indonesia masih tergolong negara pendapatan menengah bawah, di bawah negara pendapatan menengah atas, dan jauh di bawah negara pendapatan tinggi. Harusnya peranan sektor industri terhadap PDB tetap bertahan tinggi hingga Indonesia mendekati status negara pendapatan tinggi. Pada 2023, peranan industri terhadap PDB 18,7 persen. Sedikit membaik dari 2022, tetapi masih dalam kecenderungan menurun.
Deindustrialisasi dini yang terjadi di Indonesia mirip beberapa negara di Amerika Latin. Di Brasil, peranan sektor industri terhadap PDB mencapai puncaknya sebesar 34 persen tahun 1984, kemudian menurun tajam hingga menjadi hanya 11 persen pada 2022.
Status Brasil turun dari negara pendapatan atas menjadi negara pendapatan bawah tahun 1987. Kemudian, statusnya fluktuatif antara negara pendapatan menengah atas dan menengah bawah serta stabil sampai sekarang sebagai negara pendapatan menengah atas, tanpa pernah menjadi negara pendapatan tinggi.
Deindustrialisasi dini yang terjadi di Indonesia mirip beberapa negara di Amerika Latin.
Penyebab deindustrialisasi dini
Deindustrialisasi dini, termasuk yang terjadi di Indonesia, disebabkan beberapa faktor pokok, antara lain, pertama, fenomena Dutch disease. Industrialisasi negara yang kaya SDA dapat terhambat karena naiknya harga komoditas di pasar global. Sejak tahun 2000 dan lebih terasa lagi pada 2004, harga komoditas naik tinggi di pasar dunia.
Ini mengubah term of trade yang sebelumnya lebih besar pada barang industri kepada komoditas primer. Perubahan ini, meski diyakini tak berkelanjutan, mengakibatkan perdagangan komoditas primer jauh lebih menguntungkan daripada membangun industri. Pembangunan ekonomi yang sebelumnya mulai bertumpu pada industri beralih kembali ke sektor primer. Fenomena ini biasa disebut Dutch disease.
Baca juga: Deindustrialisasi Dini Tak Cukup Diatasi dengan Hilirisasi
Kedua, meningkatnya persaingan global di bidang manufaktur. Sejak awal dekade 1990-an, persaingan produk manufaktur dunia meningkat dengan pesatnya pembangunan industri di China. Industri manufaktur China yang awalnya mengandalkan biaya murah jadi pesaing berat produk manufaktur global.
Bukan hanya bagi negara yang tingkat pembangunannya lebih maju, melainkan juga negara yang tingkat pembangunannya di bawah China, yang seharusnya mempunyai keunggulan komparatif yang lebih tinggi. Dengan strategi imitasi, ekonomi China merambah ke industri teknologi tinggi. Langkah ini didorong oleh keinginan China menjadi kekuatan ekonomi terbesar dunia.
Baca juga: Deindustrialisasi, Hilirisasi, dan Kemiskinan
Ketiga, tidak adanya strategi pengembangan industri yang terarah. Banyak negara yang awalnya melakukan industrialisasi bersikap statis. Tidak berupaya memperdalam industri atau mengembangkan industri yang lebih tinggi pada tahap berikutnya. Dengan masuknya negara-negara yang tingkat pembangunannya lebih rendah dan mempunyai keunggulan komparatif lebih tinggi, tekanan terhadap industri di dalam negeri akan semakin berat.
Paradigma the flying geese sebagian ada benarnya. Industri dari negara yang sudah lebih maju akan berpindah ke negara yang kurang maju. Apabila negara yang sudah maju tersebut tidak meningkatkan diri, dia akan kehilangan daya saingnya.
Banyak negara yang awalnya melakukan industrialisasi bersikap statis. Tidak berupaya memperdalam industri atau mengembangkan industri yang lebih tinggi pada tahap berikutnya.
Strategi ke depan
Dari gambaran di atas serta perkembangan manufaktur global dan Indonesia, pemerintah mendatang perlu mengembalikan sektor industri sebagai penggerak utama ekonomi. Tak ada jalan lebih cepat dari industrialisasi untuk jadi negara pendapatan tinggi dan maju.
Dua langkah pokok perlu diambil. Pertama, revitalisasi industri secara konkret dan berspektrum luas (broad based). Broad based perlu dilakukan karena sebagian besar industri masih mempunyai keunggulan komparatif yang cukup. Broad based juga diperlukan karena pertumbuhan industri tidak akan cukup tinggi kalau hanya satu atau dua subsektor yang tumbuh tinggi. Industri padat karya dan padat modal didorong sesuai keunggulan komparatifnya.
Revitalisasi ini harus mengembalikan pertumbuhan sektor industri secara keseluruhan ke potensinya.
Kedua, pengembangan industri berbasis SDA. Hilirisasi yang dijalankan perlu dikembangkan lebih lanjut. Tidak hanya berhenti pada barang antara, tetapi juga pada barang akhir yang bernilai tinggi agar nilai tambah yang dihasilkan dapat dimanfaatkan oleh nasional. Di sini penguasaan teknologi menjadi tantangan besar. Dengan posisi tawar berupa penguasaan SDA yang kuat, transfer teknologi bisa diwujudkan dengan baik.
*Bambang Prijambodo,Ekonom Senior; Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden; Mantan Deputi Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas