Makan Siang Gratis Vs Koreksi Tengkes dan Gizi Batita
Pemberian makan siang gratis belum tentu sebanding dengan besarnya anggaran, ibarat memberi ikan dan bukan kail.
Angka tengkes atau stunting di Indonesia masih pada posisi ke-27 tertinggi dari 154 negara di dunia. Angka ini ditargetkan bisa turun dari 21,6 persen pada 2022 menjadi 14 persen pada 2024. Secara ekonomi, kelompok tengkes membebani negara hingga 2-3 persen dari produk domestik bruto.
Lebih dari itu, kondisi anak tengkes tidak terpulihkan (irreversible). Itu alasan medis mengapa lebih penting melakukan upaya pencegahan agar itu tidak terjadi mengingat koreksi gizi dengan cara apa pun tidak mengubah nasib anak tengkes dan anak bawah tiga tahun (batita) kurang gizi.
Status gizi ”irreversible”
Nasib anak tengkes bukan hanya fisik yang lebih pendek dari anak sepantarannya, melainkan juga mengalami gangguan kecerdasan kognitif dan motorik. Selain berakibat gagal tumbuh kembang setelah dewasa, mereka membawa risiko gangguan metabolik, antara lain diabetes, jantung, atau stroke.
Buat kita, ini masalah kesehatan yang menjadi beban negara sepanjang hayat anak tengkes dan batita kurang gizi.
Selain tengkes, masih banyak anak dan remaja kita berstatus kurang gizi. Otak anak berkembang optimal sebelum umur tiga tahun (batita/toddler).
Tak ada kesempatan kedua untuk disusulkan kemudian apabila telanjur kekurangan, khususnya asupan protein. Itu kenapa anak batita kurang gizi tergolong senasib dengan anak tengkes, yakni kondisinya tidak terpulihkan. Kerugian demografis negara dibebani oleh dua populasi kurang berkualitas.
Anggaran makan siang gratis perlu disisihkan sebagian agar setiap keluarga papa mendapatkan modal awal membeli beberapa ayam dan itik petelur, bibit belut dan ikan lele, dan bibit sayur-mayur hidroponik.
Kurang gizi setelah lewat umur tiga tahun tak berdampak medis seburuk anak telanjur tengkes. Status kurang gizi setelah anak batita masih bisa dipulihkan (reversible) dan tak mengurangi tingkat kecerdasan dan harus menerima gangguan fisik seperti dialami anak tengkes.
Kondisinya masih terpulihkan dengan pemberian suplemen vitamin-mineral, antara lain zat besi untuk mengatasi anemia, dan untuk masih tingginya angka cacingan anak, serta anemia remaja putri. Agar mereka tak melahirkan bayi tengkes nantinya, selain suplemen diperlukan asam folat, yodium, dan asupan tambahan protein.
Upaya pencegahan
Melihat bobot masalah kesehatan yang dipikul negara bagi generasi penerus, lebih baik upaya pencegahan bagi kelompok tengkes, selain menyelamatkan nasib anak batita yang kurang gizi agar tumbuh kembangnya berkualitas.
Upaya untuk mencegah tengkes sudah harus dimulai sejak anak dalam kandungan mula. Berarti perlu kehamilan yang sehat. Untuk itu, perlu revitalisasi layanan KIA (kesehatan ibu dan anak) puskesmas dan posyandu agar ibu hamil cukup gizi, dengan demikian tidak berpotensi melahirkan anak tengkes. Layanan KIA yang sama bagi ibu dilakukan sampai anak balita. Peran posyandu menyuluh dan mengedukasi perbaikan gizi keluarga, tujuan akhirnya mencegah kejadian kurang gizi anak balita.
Tumbuh kembang optimal secara mudah, murah, dan sederhana hanya dapat diperoleh dengan ASI eksklusif. Cukup diberi ASI sampai berumur enam bulan. Ini sekaligus bisa menghemat biaya membesarkan bayi sampai setahun sebesar 700 dollar AS, juga biaya untuk membeli susu kaleng dan ongkos berobat bayi.
Bayi terlindung dari penyakit infeksi berkat zat kekebalan dalam ASI. Berbeda nasibnya jika bayi diberi susu kaleng.
Kampanye ASI nasional melawan promosi susu kaleng perlu digalakkan. Indonesia sudah meratifikasi aturan untuk meregulasi agar semua bayi tak memilih susu kaleng dan semua rumah sakit bersalin melaksanakan konsep bayi tidur bersama ibu (rooming-in) agar memudahkan inisiasi ASI, mendahulukan hak anak memperoleh gizi terbaiknya. Memilih ASI, selain mengurangi angka tengkes, juga menciptakan anak batita berkualitas.
Program makan siang, untuk siapa, untuk apa?
Sebagaimana diungkap Ali Khomsan dalam surat pembaca (Kompas, 8/3/2024), perlu dipertimbangkan apakah program makan siang untuk semua kelompok umur? Program pemberian makanan tambahan anak sekolah yang pernah diberlakukan belum pernah dievaluasi apakah tercapai target daya ungkit untuk memperbaiki gizi anak sekolah. Anggaran untuk ini juga tidak kecil.
Di mata ilmu gizi, kecil kemungkinan itu dapat memperbaiki status gizi anak, apalagi yang sudah kurang gizi berat, jika hanya diberi satu kali dalam sehari berupa bubur kacang hijau dan susu. Berapa lama dan apakah besaran anggaran untuk itu sebanding dengan capaian perbaikan gizinya? Program pemberian makanan tambahan lalu dianggap masih kontroversi.
Pemberian makan siang gratis, yang hasilnya belum tentu sebanding dengan besarnya anggaran yang dikeluarkan, ibarat memberi ikan, bukan kail.
Kalau target program makan siang sebagaimana dimaksudkan sebagai pemberian makanan tambahan, perlu pertimbangan keilmuan apakah maslahat perbaikan gizinya masih melebihi mudarat pengeluaran ongkosnya yang luar biasa besar buat kocek negara.
Perlu dipertimbangkan bahwa kekurangan gizi anak dan remaja tak merata pada semua kelompok umur dan andaipun merata pilihannya cukup diberi suplemen vitamin-mineral yang jauh lebih ringan anggarannya ketimbang biaya makan siang. Mengapa?
Kasus kurang gizi lebih berat, yang perlu tambahan karbohidrat dan protein, dan membutuhkan kecukupan makan mestinya tak ditemukan pada anak sekolah. Kelompok gizi buruk ini yang sejatinya membutuhkan makan siang, bahkan kecukupan makan seharian, dan bukan anak sekolah.
Anggaran untuk mengatasi gizi buruk hanya untuk sekelompok kecil anak-anak, tidak akan sebesar untuk semua anak sekolah. Anggaran untuk makan siang lebih tepat dialokasikan untuk mendukung upaya pencegahan tengkes dan memperbaiki tumbuh kembang anak batita yang kurang gizi.
Pemberian makanan tambahan untuk ibu hamil dan anak batita kurang gizi lebih tepat sasaran dalam menyelamatkan nasib kesehatan generasi penerus bangsa. Mereka yang lebih berhak mendapat prioritas.
Program ”prosumen”
Alvin Toffler dalam bukunya, The Third Wave, memberi gagasan bagus. Ke depan nanti, masyarakat dunia mencukupi kebutuhan dasar hidupnya secara mandiri atau disebutnya masyarakat ”prosumen”. Masyarakat yang mengupayakan memproduksi sendiri kebutuhan hariannya secara mandiri.
Gagasan prosumen untuk masalah gizi nasional kita bisa kita adaptasi sebagai upaya menyediakan kecukupan protein keluarga, dari membudidayakan belut dan ikan lele, karena mudah dilakukan dengan memanfaatkan drum bekas, untuk mengatasi kecukupan protein hewani keluarga. Bisa ditambah beternak itik atau ayam untuk diambil telurnya, menambah protein esensial bagi anak.
Sayur-mayur dapat diproduksi sendiri secara hidroponik, digantung dengan kaleng bekas. Untuk buah dipilih pohon pepaya dan jambu biji, yang tak mengenal musim, dan pisang yang bisa ditanam di pekarangan sempit sekalipun.
Anggaran makan siang gratis perlu disisihkan sebagian agar setiap keluarga papa mendapatkan modal awal membeli beberapa ayam dan itik petelur, bibit belut dan ikan lele, dan bibit sayur-mayur hidroponik. Mungkin cukup Rp 1 juta per keluarga papa, kecukupan gizi keluarga secara berkelanjutan bisa terpenuhi.
Konsep prosumen adalah memberi kail ketimbang memberi ikan dalam membantu masyarakat. Pemberian makan siang gratis, yang hasilnya belum tentu sebanding dengan besarnya anggaran yang dikeluarkan, ibarat memberi ikan, bukan kail. Sampai kapan negara sanggup memberikan makan siang gratis kepada sebegitu banyak anak sekolah?
Secara keilmuan, tidak masuk akal medis, perbaikan gizi cukup diatasi hanya dengan sehari sekali makan siang.
Mengalihkan anggaran makan siang gratis ke program yang lebih prioritas akan menekan kebutuhan anggaran.
Cukup beri suplemen
Bagi anak sekolah, perlu dipilah siapa saja yang membutuhkan tambahan suplemen vitamin dan mineral karena untuk kebanyakan anak, yang kurang bukan porsi makannya, melainkan tak lengkapnya asupan vitamin dan mineral.
Pemberian multivitamin, penambah darah, yodium untuk wilayah endemik goiter, dan asam folat diperlukan. Selebihnya, mengedukasi bagaimana memperbaiki gizi pribadi dan keluarga. Bagaimana agar anak dimampukan makan dengan ”kepala”, artinya cerdas memilih menu berkualitas, bukan dengan ”hati”, makan asal kenyang. Dimampukan memilih menu yang menyehatkan dan menu seimbang (balance diet). Berpikir untuk tidak memilih jajanan yang tidak menyehatkan. Hal ini terkait dengan status gizi tubuhnya.
Untuk daerah terpencil dengan gizi buruk, bisa diberikan suplemen ”bubuk ikan” yang dulu pernah menjadi program Departemen Kesehatan tahun 1970-an. Memanfaatkan kekayaan ikan laut kita bisa menjadi alternatif untuk mencukupi kebutuhan protein hewani anak-anak daerah pedalaman dan pegunungan.
Baca juga: Makan Siang Gratis
Baca juga: ”Quo Vadis” Program Makan Siang Gratis?
Sangat penting untuk menambah wawasan sehat anak sekolah ihwal gizi sehingga membebaskan mereka dari ancaman makanan dan jajanan yang mengganggu kesehatan.
Mengalihkan anggaran makan siang gratis ke program yang lebih prioritas akan menekan kebutuhan anggaran. Kemungkinan tidak perlu sampai sepertiganya dengan hasil yang sudah lebih jelas mengubah nasib kelompok anak-anak yang lebih memerlukannya.
Handrawan Nadesul, Dokter; Penulis Buku Kesehatan; Motivator Kesehatan