Sang Pemikir dan Sang Politikus
Politikus sibuk mencari rasa aman dan keuntungan diri, pemikir mendedikasikan diri pada idealisme.
Pemilihan umum di masyarakat demokratis menjadi kesempatan untuk terus-menerus mengoreksi arah gerak bangsa. Pembatasan kekuasaan kepada pemimpin dalam masa lima tahun (atau maksimal 10 tahun) kepemimpinan diharapkan bisa menciptakan mekanisme perbaikan dari pemimpin yang satu kepada pemimpin setelahnya.
Sayangnya, mekanisme perpolitikan kita yang mahal menyulitkan kita menyatukan seorang politikus yang bersemangatkan mencari aman dan keuntungan dengan para pemikir yang berjuang untuk sebuah idealisme.
Pascapemilu, kita menemukan beberapa hal yang tidak rasional terjadi kepada beberapa kontestan yang kalah di pesta demokrasi kita. Beberapa mengalami gangguan jiwa; yang lain dengan cara-cara yang tidak masuk akal meminta kembali ”bantuan” yang pernah diberikan kepada masyarakat yang berpotensi memilih mereka; yang lain lagi begitu tertekan dengan fakta bahwa mereka tidak terpilih.
Baca juga: Pak Sumedi hingga Ery Sandra Amelia, Kisah Caleg yang Tidak Lolos
Hal semacam itu kini dianggap wajar, tetapi semestinya tidak demikian. Kalau boleh secara jujur diakui, sebagian besar dari mereka kecewa terutama karena sudah mengeluarkan banyak uang untuk kepentingan pemilu. Sayangnya, memang demikianlah kenyataan perpolitikan kita.
Kontestasi pemilu, yang diharapkan menjadi kesempatan untuk perbaikan nasib masyarakat melalui lahirnya para pemikir kritis yang memikirkan nasib rakyat, saat ini sudah menjadi kontestasi keuangan. Sudah bukan rahasia lagi bahwa terpilih atau tidaknya seseorang dalam pemilu di negeri ini amat ditentukan oleh seberapa banyak uang yang dikeluarkan.
Kapital
Bangsa Indonesia sudah, sedang, dan akan berjuang untuk terus-menerus memperbaiki diri. Warga bangsa ini silih berganti ingin berkontribusi untuk perbaikan nasib bangsa dengan terlibat di dalam kepemimpinan nasional.
Dalam bahasa Pierre Bourdieu, sosiolog dari Perancis, upaya ini disebut sebagai penciptaan habitus baru. Habitus lama yang dirasa tidak mencukupi lagi untuk hidup bersama dalam masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu coba diubah menuju habitus yang baru.
Habitus diartikan sebagai pembatinan nilai-nilai sosial budaya yang beragam dan rasa permainan (feel for the game) yang melahirkan bermacam gerakan yang disesuaikan dengan permainan yang sedang dilakukan. Habitus adalah hasil internalisasi struktur sosial yang dibatinkan (Fauzi Fashri, 2014).
Bourdieu berpendapat bahwa akan selalu ada proses agensi, di mana orang-orang dengan kualifikasi tertentu mengarahkan masyarakat dari habitus yang lama menuju habitus yang baru. Dalam upaya membangun bangsa Indonesia, para pemimpin terpilih memimpin bangsa kita menuju perbaikan, bukan hanya secara fisik, melainkan juga soal mentalitas dan jati diri sebagai bangsa Indonesia.
Mereka yang berpaham nasionalis akan berjuang untuk menjaga kesatuan bangsa.
Upaya mengubah suatu bangsa itu tidak hanya menjadi upaya satu atau dua orang. Dengan berbagai ideologi yang dimiliki, orang bertarung untuk memastikan bangsa ini berjalan sesuai dengan apa yang mereka inginkan.
Mereka yang berpaham nasionalis akan berjuang untuk menjaga kesatuan bangsa. Mereka yang berpaham kapitalis mengupayakan agar melalui pengorbanan yang terbatas, bangsa ini memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi kepentingan mereka dan kelompok mereka.
Mereka yang berpaham fundamentalis agama ingin membawa negara ini menjadi negara yang berdasarkan paham agama tertentu sehingga bisa memberikan keuntungan yang lebih bagi kelompok mereka. Demikianlah Indonesia hari ini merupakan sebuah medan pertarungan orang-orang yang memiliki pemikiran mereka sendiri.
Dalam pemikiran Bourdieu, pertarungan di dalam arena (misalnya Indonesia) ini merupakan pertarungan kapital (modal) dari pihak-pihak yang terlibat. Bourdieu membagi kapital itu ke dalam empat macam bentuk, yaitu kapital ekonomi (uang, kemakmuran, kekayaan), kapital sosial (relasi sosial, jaringan, hubungan pertemanan, hubungan bisnis), kapital simbolis (kebanggaan, prestis, status ningrat), dan kapital budaya (keahlian dan kecerdasan).
Harga dari suatu kapital, selain tergantung kepada seberapa besar kapital yang dimiliki, juga tergantung kepada bagaimana kondisi masyarakat yang menerima. Sebagai contoh, mereka yang berpendidikan baik dan berwawasan luas di suatu tempat tidak terpilih dan kalah dari mereka yang berpikiran sempit karena orang-orang di tempat itu mendapatkan uang.
Dalam konteks ini, kapital ekonomi lebih dihargai masyarakat dibandingkan kapital budaya. Di tempat lain, orang yang dianggap sebagai orang ningrat mendapatkan posisi dibandingkan mereka yang memiliki teman banyak mengingat bahwa masyarakat lebih menghargai kapital simbolis daripada kapital sosial.
Hal yang menjadi pertanyaan kemudian adalah kapital apa yang paling dihargai di Indonesia? Saat ini, secara kasatmata, orang bisa mengatakan bahwa kapital ekonomi menjadi yang paling dihargai oleh sebagian besar warga bangsa ini. Berkembangnya politik uang, dan korupsi yang mencederai perpolitikan kita, menjadi salah satu bukti nyata.
Baca juga: Jalan ”Ninja” Caleg-caleg Kere Bermodal Dengkul
Sementara orang masih bisa memperdebatkan mengenai arti penting jaringan sosial (kapital sosial), dan kehormatan dan prestise sebagai orang terpandang (kapital simbolis), hari-hari ini kita dipertontonkan dengan kenyataan betapa dianggap tidak pentingnya kapital budaya di dalam perpolitikan kita.
Masyarakat tidak cukup peduli kepada kemampuan berpikir kritis, betapa berharganya memperjuangkan tindakan beretika, mengupayakan standar tinggi dalam menilai baik buruknya tindakan. Namun, masyarakat sangat peduli tentang seberapa banyak imbal jasa yang diterima.
Kapital budaya yang menjadi mercusuar dari kebudayaan yang maju tidak menjadi bahan pertimbangan terpenting untuk masyarakat kita. Berbicara tentang etika, moralitas, integritas, dan keluasan wawasan tidak menjadi hal yang menarik perhatian sebagian besar bangsa kita.
Akibatnya, ada banyak politikus kita yang tidak merasa perlu mengembangkan diri dalam kapital budaya, tetapi merasa amat penting untuk mengembangkan diri dalam kapital ekonomi. Di tengah situasi yang demikian, amat sulitlah bagi kita untuk mengharapkan lahirnya para politikus bersih sebagai hasil dari pemilu.
Para pemikir dan para politikus
Dalam pembicaraan mengenai Sutan Syahrir yang dikenal sebagai tokoh politik bersih di Indonesia, Mangunwijaya mempertanyakan adanya pembedaan mendasar antara para pemikir dan para politikus. Tulisan berjudul, ”Dilema Sutan Syahrir” tersebut mempertanyakan sikap para politikus kita yang memang benar-benar politikus, dan memilih berhenti menjadi pemikir. Mangunwijaya mempertanyakan, benarkah politikus kita saat ini adalah seorang pemikir juga? (Mangunwijaya, 1977).
Sementara politikus sibuk mencari rasa aman dan keuntungan bagi dirinya sendiri, para pemikir adalah orang-orang yang mendedikasikan dirinya kepada idealisme sebagai mercusuar pemikiran yang menunjukkan arah perjalanan bangsa ini. Jiwa kepahlawanan, kehendak saling membantu, idealis memilih yang terbaik dan jiwa yang tidak mengabdi kepada kepentingan dan keamanan menjadi ideal dari masyarakat pemikir.
Mangunwijaya menyebutnya sebagai ”munculnya tokoh jenis Sjahrir pada pucuk pimpinan revolusi 45 justru pada saat-saat yang paling menentukan sebenarnya bisa dimengerti dalam lingkup dan iklim politik para pemimpin kala itu, yang menjunjung tinggi fair play. Berpolitik bagi generasi kala itu digenangi oleh penghayatan suci, kebaktian kepada kawan sebangsa yang dina tanpa pamrih.
”Pegangan kerja dan berpikir adalah menjunjung tinggi segala yang mulia dan indah pada manusia dan pengangkatan bangsa dari keterbelakangan ke taraf kemerdekaan” (Mangunwijaya, 1977). Pola pikir dan iklim hidup bersama di perpolitikan kita saat ini jauh dari apa yang diperjuangkan oleh generas awal kemerdekaan.
Mangunwijaya mempertanyakan, benarkah politikus kita saat ini adalah seorang pemikir juga?
Jalan pintas dianggap pantas
Dalam pemikiran Bourdieu, kapital ekonomi memang dikenal sebagai kapital yang paling mudah diubah menjadi kekuasaan. Namun, kekuasaan yang demikian sering kali tidak bertahan dalam waktu yang lama, kecuali kalau dipelihara dengan terus-menerus memberikan uang.
Itulah sebabnya, penghormatan berlebihan terhadap kapital ini harus diikuti dengan berbagai bentuk keculasan, misalnya dengan politik uang dan korupsi. Dalam bahasa orang sekarang, hal ini dikenal dengan ungkapan, ”saat jalan pintas dianggap pantas”.
Sementara kapital budaya sering kali dianggap sebagai kapital yang memungkinkan orang memiliki kesadaran tentang mana yang baik, mengapa harus melakukan suatu hal, dan sebagainya. Mungkin orang tidak serta-merta tunduk kepada bentuk kapital ini, tetapi dalam perjalanan waktu orang akan belajar tentang dedikasi, perjuangan, nilai hidup, dan integrasi.
Dalam ruang di mana orang menghargai integrasi, jalan pintas dan segala privilese yang didapatkan sering kali dianggap sebagai hal yang tidak pantas. Orang merasa lebih baik kehilangan karier, uang, dan bentuk-bentuk kehormatan fisik daripada kehilangan kehormatan sebagai manusia yang memperjuangkan kebaikan.
Sayangnya, kita sedang terbelenggu pada kenyataan bahwa mercusuar yang dipakai bangsa ini adalah kapital ekonomi. Orang pergi dan mengejar-ngejar ke mana arah uang dan keuntungan menuntun langkah hidupnya. Langkah perjuangan, berdarah-darah demi ideologi, berkorban demi jayanya negeri sebagai idealis para pemikir tidak menjadi bagian dari perjuangan dari sebagian politikus di negeri ini.
Memang kita terjajah oleh rasa nyaman dan politikus kita memang bekerja sebagai pekerja sehingga yang banyak diperhitungkan adalah berapa banyak gaji yang diterima. Mempertanyakan tentang perjuangan mereka mungkin penting, tetapi fakta bahwa politik kita berharga mahal lebih memungkinkan mereka untuk mengejar balik modal daripada memperjuangkan kebaikan.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah para pemimpin ke depan mampu menjadikan kapital budaya sebagai mercusuar hidup berbangsa di negeri ini. Semoga masih tersisa para politikus yang menjadi pemikir sehingga kita tidak hanya memiliki politikus yang sibuk mencari rasa nyaman dan keuntungan untuk kelompoknya sendiri.
Baca juga: Politikus Beretika dan Etika Berpolitik
Kita ingin lagi memiliki tokoh-tokoh seperti Soekarno yang tak enggan dipenjara demi bangsanya. Kita ingin memiliki Syahrir yang tetap bersuara lantang tentang pentingnya belajar menjadi pemimpin daripada menjadi pengikut-pengikut yang berhati lemah. Kita ingin memiliki para politikus berhati bersih dan tidak silau oleh harta dan jabatan.
Meski ini tampak seperti utopia, bangsa ini masih boleh bermimpi. Semoga pemikiran dan integritas memperjuangkan kebaikan menjadi mercusuar yang menuntun para politikus kita ke jalur yang benar sehingga mereka bisa pulang kepada kesadaran pentingnya berkorban untuk bangsa ini, dan bukannya dengan tega mengorbankan bangsa ini untuk kepentingan mereka.
Terdengar ungkapan John F Kennedy, ”Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tetapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negara”. Selamat kepada para politikus yang terpilih dalam Pemilu 2024. ”Di hati dan lidahmu, kami berharap.” Kami merindukan para politikus yang pemikir, bukan tercerainya pemikiran dan jiwa politikus dari para politikus kami.
Martinus Joko Lelono, Pengajar di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Instagram: mjokolelono