Dimensi Lain dari Film ”Agak Laen”
Akibat dari Pengangguran Struktural muncul Pengangguran Friksional.
-
Satu adegan yang lucu tapi pilu, di sehampar Pasar Malam. Oki (Oki Rengga), pemuda tinggi besar yang gagah perwira, duduk di ”kursi panas” permainan yang posisinya tergantung di sebuah tiang. Di atas gantungan itu tertaruh bonggol yang menghubungkan ”kursi panas” Oki dengan kaitan gantungan.
Para peserta permainan dituntut melempar dengan tepat bonggol penghubung itu. Apabila lemparan itu tepat mengenai bonggol, pengait akan melepaskan ”kursi panas” yang diduduki Oki. Maka Oki pun akan tercebur dalam akuarium kaca. Keceburnya dan gelagepannya Oki untuk mengentaskan diri dari akuarium segera mengundang ledakan tawa pengunjung pasar malam.
Setelah pekerjaan duduk di ”kursi panas” dilakukan berkali-kali dengan setengah mati, Oki memutuskan berhenti dari pekerjaan konyol dan menyiksa itu.
Pada bagian lain, kita bertemu dengan Bene (Bene Dion Rajagukguk), Jegel (Indra Jegel) dan Boris (Boris Bokir). Mereka anak-anak muda dari pedalaman Batak (Sumatera Utara) yang mencoba untuk lanjut belajar dan bekerja di kota besar, namun selalu gagal.
Yang satu ingin masuk akademi militer, namun selalu terhambat oknum tentara calo akademi yang bertubi minta uang pungli. Yang lain ingin jadi pegawai, tetapi selalu kalah oleh ”orang dalam” yang berbaris menyerobot peluang.
Lalu, syahdan, dengan setengah putus asa mereka lantas membuat Rumah Hantu di Pasar Malam tersebut. Pekerjaan yang sangat ganjil karena benar-benar di luar profesinya. Tapi toh dilakukan juga. Mereka berharap Rumah Hantu akan mendatangkan peruntungan, dan dapat mengantarkan mereka kepada cita-citanya semula.
Namun karena memang tak berbakat horor, Rumah Hantu mereka tidak menegangkan, apalagi menakutkan. Sehingga dua atau tiga tamu yang masuk mengatakan bahwa: ”Ini mah bukan rumah hantu, tapi rumah orang miskin!”
Dengan begitu Rumah Hantu ini cepat kehilangan pengunjung. Tapi Bene, Jegel, dan Boris tak putus asa. Setiap malam mereka serius berdandan seperti hantu, meski tak ada pengunjung yang ditakut-takuti. Lagi-lagi adegan yang lucu, meski muaranya pilu.
Hantu ekonomi
Pada masa krisis horor yang menyebabkan krisis ekonomi inilah Oki datang dan menawarkan jasa. Layak diperkenalkan, Oki adalah juga pemuda Batak yang ingin berprestasi dalam sepak bola, dan bergabung dalam satu kesebelasan. Namun karena ada tradisi pilih kasih, Oki selalu diposisikan sebagai kiper cadangan, sehingga nyaris tak pernah bermain di lapangan. Sampai akhirnya ia frustrasi dan bekerja apa saja, seperti jadi figur kecebar-kecebur di arena permainan Pasar Malam.
Baca juga: Pemilu dan Pelukis Tempo ”Doeloe”
Dengan segala upaya Oki menawarkan narasi baru Rumah Hantu. Merancang setting rumah setan yang up to date bagai dalam film-film horor akhir-akhir ini. Bentuk hantu-hantu yang berbeda juga digubahnya. Oki agak berhasil. Dan, haaa, pengunjung mulai ramai lagi rupanya! Maka hantu ekonomi yang selama ini membayangi bakal terusir. Dan erosi keuangan Rumah Hantu segera tertangani.
Pada saat itulah datang Gilang (Arief Didu), seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat, yang sedang asyik selingkuh. Ketika tahu bahwa istrinya ternyata membuntuti di Pasar Malam, anggota dewan ini buru-buru bersembunyi di Rumah Hantu. Mungkin karena deg-degan takut kepergok istri, dan sekaligus gentar bertemu memedi, si anggota dewan di situ dihantam penyakit jantung, dan mati.
Pada pasca-kematian anggota dewan, kelucuan datang bertalu-talu. Sampai kita pelan-pelan lupa bahwa semua kehebohan tawa itu datang dari segumpal elegi. Yakni nasib anak-anak muda yang malang, yang garis hidupnya lintang pukang.
Cucu saya, Rian Artemis Sebastian, 17 tahun, yang rutin menulis review film Hollywood dalam blog Ryan’s Movie Dump, juga terbahak-bahak ketika menonton film ini.
“Saya mengagumi The Killers of the Flower Moon, Oppenheimer, sampai film Dune. Tapi saya juga salut kepada Agak Laen. Selalu ada lucu di balik tragedi. Apakah itu cerita nyata orang muda Indonesia? Apakah hal itu pula yang menyebabkan Agak Laen laris tak terkira?” Sebagai gen Z ia berkomentar sambil bertanya.
Kita tahu, Agak Laen yang disutradarai Muhadkly Acho dan diproduseri Ernest Prakasa serta Dipa Andika Nurprasetyo bertahan 40 hari di banyak gedung bioskop sejak 1 Februari. Maka dengan berhihihaha film ini menyingkirkan The Holdovers yang super apik untuk keluar dari gedung. Dan dengan santai ia bersaing dengan Land of Bad, film tentang perang. Lalu 7 juta penonton pun diraih dengan gampang.
Hantu pengangguran
Melihat petualangan 4 pemuda Batak yang luar biasa ini, dan merujuk kepada pertanyaan Rian soal ”apakah itu diinspirasi kejadian nyata”, sudut pandang pun terpaksa beralih ke soal fenomena sosial. Lantaran kita memang bisa melihat, betapa pada era sekarang tidak sedikit lulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi yang hidupnya terserak ke mana-mana.
Yang lulusan sekolah menengah sulit untuk melanjutkan ke perguruan tinggi lantaran dihadang biaya. Mereka lalu mencari pekerjaan, dan sering berakhir sia-sia. Yang jebolan perguruan tinggi dan sarjana susah mencari pekerjaan karena dipalang berbagai persoalan. Misalnya yang berkait dengan kuda-kuda Human Resource Development untuk hanya menerima sanak famili saja. Juga adanya pungutan liar di banyak sisi. Sehingga belum juga bekerja, si calon tenaga kerja sudah didesak mengutang ke pinjol. Mereka pun menganggur.
Sementara kita tahu, banyak jenis pengangguran di bumi Indonesia ini, yang pangkal dan buntutnya mengimpit siapa saja.
Misalnya yang disebut Pengangguran Siklikal, atau pengangguran siklis, yakni pengangguran yang terjadi karena dampak ekonomi negara yang menurun. Semua menghitung, ketika ekonomi merosot, daya beli masyarakat menjadi rendah. Akibatnya perusahaan mengurangi kapasitas produksi, yang ujungnya mengurangi jumlah para pekerja dengan jalan PHK (pemutusan hubungan kerja).
Problem itu lantas melahirkan Pengangguran Terbuka, yakni jenis pengangguran yang terjadi akibat kurangnya lapangan kerja yang tersedia. Dan andaipun (sedikit) ada, itu bisa tidak cocok dengan keahlian tenaga kerja. Dan seandainya lapangan pekerjaan itu diada-adakan sendiri, sering kali tidak sesuai ekspetasi. Upaya para pengusaha Rumah Hantu dalam film Agak Laen adalah contohnya.
Ada pula Pengangguran Terselubung, yang terjadi lantaran pekerja bersedia bekerja apa saja. Kesediaan yang didorong prinsip: pokoknya asal ada gawean. Akibatnya adalah munculnya problem pekerjaan yang tidak bisa secara optimal diselesaikan. Suatu hal yang logis sekaligus suram. Ya, bagaimana pemuda yang ingin jadi tentara harus mengelola Rumah Hantu di Pasar Malam?
Baca juga: Seni yang Mati dalam Tragedi Mei 1998
Di sisi lain ada Pengangguran Struktural, yakni pengangguran yang disebabkan oleh ketidakcocokan antara keterampilan tenaga kerja dengan lapangan kerja yang sedang dibutuhkan. Ketidakcocokan ini bisa karena dampak kemajuan dalam berbagai hal, seperti perkembangan teknologi, percepatan perubahan selera dan sebagainya. Empat pemuda pemeran Rumah Hantu itu juga bisa menjadi amsal. Bagaimana mereka yang datang dari pedalaman harus merespons cepat kebudayaan dan teknologi horor warga kota metropolitan?
Akibat dari Pengangguran Struktural ini adalah munculnya Pengangguran Friksional. Yakni pengangguran yang terjadi karena pekerja mengundurkan diri dari pekerjaannya dengan alasan personal. Misalnya lantaran kerja yang dilakoni sama sekali berbeda dengan kebisaannya. Sehingga apabila ia tetap di sana akan menyiksa perasaannya pula.
Siksa perasaan yang pasti ada dalam benak para pemuda pengelola dan pemeran Rumah Hantu. Namun dilemanya, apabila pekerjaan itu dilepaskan, mereka akan menganggur dan lebih menderita. Sehingga mereka pun terpaksa melakukannya. Apalagi Thomas Jefferson (1743-1826), Presiden Amerika Serikat ke-3, bilang bahwa: The beautiful art of life will appear in how we fight against suffering. Seni yang cantik dari kehidupan akan tampak dari bagaimana cara kita berkelahi melawan penderitaan.
Di Indonesia pengangguran dengan segala jenisnya termasuk sangat banyak. Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah pengangguran pada 2023 mencapai 7,86 juta orang, dengan mengambil sampel mereka yang berusia di atas 15 tahun. (Simak, angka ini lebih banyak dari penduduk Singapura!) Sementara apabila kita memakai figur-figur seluruh kru Rumah Hantu yang berusia 15 sampai 34 tahun, mereka adalah bagian dari 4,7 juta anak muda yang tak punya pekerjaan, dengan kategori Pengangguran Terselubung.
Namun kita bisa melihat, apa pun situasinya, bagaimana pun kondisinya, empat pemuda Rumah Hantu itu telah memberi contoh hebat kepada banyak orang. Mereka mengerjakan apa saja agar tidak menganggur. Mereka berjuang sebisanya agar hidupnya tidak lungsur.
George Bernard Shaw (1856-1950), dramawan Irlandia, berkata: He who can, does. He who cannot, teaches. Because all that is works too, which is no less noble. Yang bisa bekerja, bekerjalah. Yang tidak bisa bekerja, ya mengajar saja. Karena mengajar adalah pekerjaan juga, yang tak kalah mulianya.
Anak-anak muda di Rumah Hantu itu telah mengajari kita, sebelum mereka menemukan pekerjaan yang sebenarnya.
Kritikus seni, Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana Presiden