”Guremisasi” dan ”Miskinisasi”
Sejarah menunjukkan menjadi petani hanya akan menjadi miskin dan kelak melahirkan generasi-generasi miskin.
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2-4 menetapkan bahwa pada 2030 tercapai suatu kondisi yang menjamin sistem produksi pangan yang berkelanjutan dan menerapkan praktik pertanian tangguh yang meningkatkan produksi dan produktivitas. Selain itu, membantu menjaga ekosistem, memperkuat kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim, cuaca ekstrem, kekeringan, banjir, dan bencana lainnya, serta secara progresif memperbaiki kualitas tanah dan lahan.
Hanya tinggal enam tahun menjelang Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) tersebut seharusnya tercapai, Indonesia masih dihadapkan pada berbagai masalah mendasar di bidang pangan.
Jangankan bicara mengenai ”keberlanjutan”, ”pertanian tangguh”, ”pertanian adaptif”, ”ekosistem”, atau ”mitigasi risiko”, masalah produksi yang berimbas terhadap kenaikan harga beras saja masih belum teratasi. Permasalahan di hilir ini tidak terlepas dari permasalahan di hulu, yang sejak dulu tidak juga kunjung membaik, jika tak dapat dikatakan memburuk.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil Sensus Pertanian 2023 mengenai jumlah usaha pertanian tahun 2023 yang sebanyak 29,36 juta unit. Jumlah usaha pertanian ini berkurang 2,35 juta unit atau 7,42 persen dibandingkan dengan hasil Sensus Pertanian 2013 yang 31,71 juta.
Sejarah menunjukkan menjadi petani hanya akan menjadi miskin dan kelak melahirkan generasi-generasi miskin.
Dampak langsung dari penurunan jumlah usaha pertanian adalah menurunnya penyerapan tenaga kerja di sektor ini. BPS mencatat bahwa tahun 2013 sektor pertanian menyerap 39.220.261 tenaga kerja atau berkontribusi 34,78 persen terhadap total penyerapan tenaga kerja nasional. Angka ini menurun pada 2022 menjadi 38.703.996 tenaga kerja atau 28,61 persen dari total penyerapan tenaga kerja nasional.
Angka ini cukup bagi kita untuk mempertanyakan apakah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2-4 dapat tercapai pada 2030?
Dengan memperhatikan tingkat pengangguran yang relatif tidak berubah banyak dalam 10 tahun terakhir, yaitu 5,32 persen pada 2023 dan 6,17 persen pada 2013, dapat dinyatakan bahwa menurunnya jumlah usaha pertanian yang berdampak pada menurunnya penyerapan tenaga kerja disebabkan oleh banyaknya petani yang mengganti profesinya ke bidang usaha lain atau ”pensiun” dan relatif sedikitnya muncul ”petani baru”.
Transformasi usaha
Usaha yang mudah berubah cepat merupakan salah satu ciri usaha mikro. Perubahan usaha di sektor pertanian ke sektor lain juga disebabkan usaha pertanian dijalankan dengan sumber daya yang sangat terbatas. Mayoritas petani di Indonesia adalah petani yang melakukan usaha pertanian dengan penguasaan lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar atau dikenal sebagai petani gurem.
Pada 2013, terdapat 14,25 juta rumah tangga petani gurem. Proporsi rumah tangga petani gurem terhadap total rumah tangga petani di Indonesia tahun 2013 sebesar 55,33 persen.
Kondisi ini memburuk pada 2023 ketika jumlah rumah tangga petani gurem naik 18,49 persen menjadi 16,89 juta rumah tangga. Akibatnya, proporsi rumah tangga petani gurem juga meningkat menjadi 60,84 persen pada 2023.
Dengan jumlah petani gurem yang sangat besar, transformasi usaha pertanian ke nonpertanian merupakan sesuatu yang hanya menunggu waktu, apalagi pada 2023 ketika jumlah petani gurem semakin meningkat. Pertanyaan yang kemudian muncul, sekuat apa ketahanan pangan Indonesia?
Pemiskinan
Di Indonesia, pengangguran bukanlah kelompok terbesar dari penduduk miskin, melainkan petani. BPS mencatat bahwa pada 2023 sebesar 48,86 persen rumah tangga miskin memiliki sumber penghasilan utama dari bertani, sementara yang tidak bekerja hanya 12,07 persen.
Artinya, mayoritas orang miskin di Indonesia merupakan pekerja keras, yang sekaligus merupakan elemen penting tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2-4, tetapi berusaha dalam sistem bisnis yang tak mendukung. Para petani gurem merupakan cerminan dari kemiskinan tersebut. Dengan demikian, peningkatan jumlah dan proporsi rumah tangga petani gurem mengindikasikan terjadinya penurunan kesejahteraan, kalau tidak boleh disebut sebagai pemiskinan rumah tangga pertanian dari waktu ke waktu.
Banyak cerita di desa yang terdengar mengenai seorang petani yang pernah hidup berkecukupan, tetapi melahirkan generasi berikutnya yang miskin. Hal itu disebabkan petani tersebut tidak mampu mengembangkan usahanya sehingga barang modal (sawah atau ladang) mempunyai luas yang tetap sepanjang waktu, yang kemudian diwariskan kepada anak-anaknya.
Hal ini menyebabkan lahan yang diusahakan semakin sempit dari generasi ke generasi, yang kemudian sampai pada titik ketika anak-cucu petani tersebut menjadi petani gurem. Kondisi ini menunjukkan terjadinya degradasi kesejahteraan atau pemiskinan pada generasi selanjutnya.
Permasalahan di hilir ini tidak terlepas dari permasalahan di hulu, yang sejak dulu tidak juga kunjung membaik, jika tak dapat dikatakan memburuk.
Jadi, tidak perlu heran jika di beberapa tempat ditemui keluarga miskin yang mempunyai rumah cukup layak. Rumah ini biasanya berasal dari warisan orangtuanya, yang dulu lumayan berkecukupan dengan hasil pertaniannya.
Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi rumah tidak baik digunakan sebagai indikator untuk menentukan kemiskinan rumah tangga, sebagaimana digunakan pemerintah, khususnya untuk menyalurkan bantuan sosial (bansos).
Di daerah perdesaan sangat mungkin rumah layak dihuni oleh orang miskin, sedangkan di daerah perkotaan, seperti Jakarta, sangat mungkin rumah kurang layak, tetapi dihuni oleh mereka yang tidak miskin. Pemerintah perlu mengkaji kriteria kemiskinan ini karena bisa menyebabkan bansos jadi salah sasaran.
Berharap pada milenial dan gen Z
Tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2-4 berada di tangan kaum milenial dan gen Z. Apakah generasi yang lahir di tengah kemajuan teknologi informasi yang sangat pesat, dengan pandangan yang sangat luas, bersedia bermandi lumpur di tengah terik matahari?
Data Sensus Pertanian 2023 menunjukkan bahwa terjadi tren pekerja di sektor pertanian yang cenderung menua. Pada Februari 2023, sebanyak 58 persen pekerja di sektor pertanian berusia di atas 45 tahun. Hal ini terjadi akibat peningkatan proporsi pengelolaan usaha pertanian perorangan (UPT) oleh petani yang berusia di atas 55 tahun dan penurunan proporsi untuk petani di bawah 44 tahun dibandingkan dengan sensus pertanian 2013.
Ilustrasi/Heryunanto
Kenyataan menunjukkan bahwa pertanian bukan sektor yang menarik untuk digeluti oleh anak muda. Sejarah menunjukkan menjadi petani hanya akan menjadi miskin dan kelak melahirkan generasi-generasi miskin. Jadi, sangat beralasan jika anak-anak muda tidak bersedia untuk menjadi petani. Siapa yang bersedia menggeluti pekerjaan tanpa masa depan?
Perubahan sistem dan proses bisnis di bidang pertanian, khususnya tanaman pangan, merupakan hal yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Penguatan sumber daya para aktor yang berperan, proses produksi yang efisien dan efektif, penanganan panen dan pascapanen, hingga stabilitas harga, dibarengi dengan pembangunan agrobisnis dan agroindustri, perlu dilakukan dengan sangat serius.
Intinya, pemerintah harus bisa meyakinkan anak-anak muda bahwa sejarah pemiskinan petani tak akan terulang lagi. Lebih dari itu, pemerintah akan menjamin cerahnya masa depan petani.
Baca juga: Petani Semakin Menua dan Alami Guremisasi
Ketahanan atau kedaulatan pangan memang tersurat secara eksplisit di visi-misi semua calon presiden-calon wakil presiden. Namun, itu semua juga pernah tertulis di visi-misi capres-cawapres pemilu-pemilu sebelumnya. Semoga pemerintahan baru tak lagi mengecewakan para pahlawan pangan Indonesia.
Hardius UsmanGuru Besar Politeknik Statistika STIS