Negosiasi Hamas-Israel yang dimediasi Qatar-Mesir-AS gagal membuahkan kesepakatan jeda tempur saat Ramadhan di Gaza.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Tak ada ”puasa” gempuran di Gaza. Upaya mediator Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat gagal menghadirkan jeda tempur. Dari awal, Israel ingin terus memperpanjang gempuran itu.
Pada Senin (11/3/2024), seperti warga negara lain di Timur Tengah (Arab Saudi, Mesir, Sudan, Suriah, dan Yaman), warga Palestina di Gaza memulai puasa Ramadhan. Namun, harapan mereka untuk menjalani puasa tanpa gempuran Israel tidak terpenuhi, menyusul buntunya negosiasi jeda pertempuran yang dimediasi Qatar, Mesir, dan AS.
Kebuntuan terjadi. Sebab, tak ada titik temu soal syarat jeda pertempuran yang ditetapkan kelompok Hamas dan Israel. Kepala Biro Politik Hamas Ismail Haniyeh dalam pidatonya, Minggu (10/3/2024), mengulang kembali empat syarat jeda tempur sebelumnya: gencatan senjata permanen, penarikan pasukan Israel dari Gaza, kembalinya warga Gaza ke rumah masing-masing, dan masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Beberapa jam sebelum menyampaikan pidato dari tempat pengasingannya di Qatar, Haniyeh menghubungi mediatornya untuk mengetahui apakah ada respons dari Israel atas empat syarat itu. Tak ada respons, seperti sebelumnya, yang berarti Israel menolak.
Israel menetapkan pembebasan warganya yang disandera Hamas dan faksi Palestina lainnya di atas segala-galanya. Walhasil, tak ada kesepakatan, gempuran ke Gaza terus berjalan. Andai kata pun tercapai kesepakatan jeda pertempuran saat Ramadhan, PM Israel Netanyahu jauh-jauh hari telah menyatakan akan kembali menggempur Gaza.
Sehari menjelang 1 Ramadhan di Gaza, pertempuran terus berkecamuk. Militer Israel mengklaim, tentaranya menewaskan 15 anggota Hamas dalam baku tembak jarak dekat dan serangan udara. Kementerian Kesehatan di Gaza menyebutkan, sedikitnya 67 orang tewas dalam 24 jam terakhir.
Di tengah kebuntuan itu, menarik kiranya mencermati ketidakberdayaan AS membujuk Israel untuk menerima opsi jeda pertempuran. Presiden AS Joe Biden tampak frustrasi dan jengkel dengan Netanyahu. Dalam wawancara dengan MSNBC, Sabtu (9/3/2024), ia menilai pendekatan Netanyahu di Gaza ”lebih membuat sakit Israel daripada membantu Israel”. Hal ini langsung dibalas Netanyahu: Biden salah.
Dinamika relasi AS-Israel dalam isu Gaza belakangan ini, terkait konfrontasi verbal terbuka antara Biden dan Netanyahu, menarik dicermati. Namun, sulit dipercaya, perang mulut Washington-Tel Aviv akan mengurangi dukungan AS kepada Israel. Situasi seperti ini pernah dialami Presiden AS sebelumnya, Ronald Reagan dan Barack Obama, dan pada akhirnya relasi AS-Israel tetap baik-baik saja.
Ketidakberdayaan—boleh jadi juga kepura-puraan—Washington dalam mendorong jeda pertempuran di Gaza berdampak masif. Seperti dituturkan Moha, ibu dari lima anak yang mengungsi ke Rafah, Gaza selatan, ia tak mempunyai makanan untuk keluarganya (Kompas.id, 10/3/2024). Sebelum Ramadhan, selama lima bulan ia dan keluarganya sudah berpuasa terus.
Bagi warga Gaza, Ramadhan tanpa gencatan senjata bisa mempercepat mereka terpuruk ke dalam bencana kelaparan.