Laju Adopsi Mobil Hidrogen Hijau
Efisiensi kendaraan hidrogen masih kalah dibanding dengan kendaraan listrik sehingga manfaat ini bisa terabaikan.
Tanggal 21 Februari lalu, Indonesia memasuki satu tahapan lagi era transisi energi; pengoperasian Hydrogen Refueling Station (HRS) atau stasiun pengisian kendaraan hidrogen (SPKH) pertama di Indonesia yang berlokasi di Senayan, Jakarta. Langkah ini merupakan lanjutan dari inovasi PLN sebelumnya, yaitu pengoperasian 21 unit green hydrogen plant (GHP) yang tersebar di Indonesia pada November tahun lalu.
Keduanya merupakan tahapan strategis dalam memperkenalkan hidrogen hijau sebagai bahan bakar masa depan yang terbarukan dan digadang-gadang paling ramah lingkungan. Pengoperasian SPKH tersebut menghidupkan kembali harapan adanya moda transportasi berbahan bakar hidrogen yang diinisiasi sejak tahun 1800-an.
Hippomobile, mobil hidrogen pertama yang dibuat tahun 1860 oleh insinyur Belgia, Etienne Lenoir, sempat terjual 400-an unit sampai tahun 1886. Namun, mobil hidrogen berteknologi fuel cell, yang menandai era mobil hidrogen modern, baru dibuat oleh 1889 oleh Ludwig Mond dan Charles Langer.
Seiring dengan perkembangan teknologi fuel cell, General Motor memperkenalkan Elektrovan, mobil pertama kendaraan listrik hidrogen di tahun 1966 menggunakan oksigen cair dan hidrogen cair super dingin. Tak ketinggalan, Daimler Chrysler memperkenalkan kendaraan berbahan bakar hidrogen cairnya, NECAR 4 di tahun 1999.
Memasuki era 2000-an, pemain otomotif besar berlomba memproduksi dan memasarkan mobil hidrogen. Toyota Mirai meluncur di tahun 2014, disusul Honda FCX Clarity tahun 2016 dan selanjutnya Hyundai Nexo tahun 2018. Pasar ini diramaikan juga oleh BMW iX5, Honda CR-V FCEV, Hyundai Staria Fuel Cell, Ineos Grenadier FCEV, Kia FK/Hyundai FK, Kia Carnival FCEV, Load Rover Defender, Range Rover FCEV, dan Toyota Hilux Hydrogen. Sampai Februari 2023, setidaknya 56.000 unit kendaraan penumpang berbahan bakar hidrogen melaju di jalanan.
Prospek kendaraan hidrogen
Belakangan perkembangan kendaraan ini lebih menarik dengan hadirnya hidrogen hijau sebagai bahan bakarnya. Apa itu hidrogen hijau? Berbeda dengan hidrogen umumnya yang diproduksi melalui proses yang masih menghasilkan emisi karbon seperti steam methane reformer (SMR), hidrogen hijau dihasilkan dari proses elektrolisa menggunakan bahan baku air dan listrik yang bersumber dari energi terbarukan sehingga betul-betul bebas emisi.
Meskipun produksi hidrogen hijau masih sangat kecil dibandingkan total hidrogen, namun rasionya terus meningkat dari 2 persen di tahun 2019 menjadi sekitar 7 persen saat ini (IEA, 2024). Hal ini didorong oleh melonjaknya pertumbuhan energi terbarukan khususnya energi surya yang berlipat 22 kali selama sepuluh tahun terakhir dan energi angin yang bertambah 5 kali dalam 10 tahun (IRENA, 2020). Selain itu, ada setidaknya 444 GW proyek hidrogen hijau yang dijadwalkan akan beroperasi pada akhir 2030.
Akibat pandemi Covid-19, pangsa pasar kendaraan hidrogen global hanya senilai 1,98 miliar dollar AS pada tahun 2021. Akan tetapi, melonjak menjadi 2,8 miliar dollar AS pada tahun 2022 dan diharapkan tumbuh lebih dari 28 persen antara tahun 2023 dan 2032. Diperkirakan pangsanya akan naik menjadi 17,9 miliar dollar AS pada 2028. Lima produsen kendaraan hidrogen global (Toyota, Hyundai, Honda, Foton, FeiChi Bus) menguasai pangsa pasar global sekitar 95 persen. Jepang merupakan pasar terbesar, sekitar 80 persen, disusul China dan Korea dengan pangsa sekitar 15 persen.
Berbagai kajian menyimpulkan bahwa kendaraan hidrogen hijau ini akan menjadi teknologi kunci dekarbonisasi di sektor transportasi dan pemain penentu yang dominan untuk mencapai emisi bersih nol persen (net zero emission) dunia pada 2050 sebagai dampak transisi energi global (IEA, 2020; IRENA, 2020; McKinsey, 2019). Meski demikian, laju pertumbuhan kendaraan hidrogen hijau masih kalah jauh dibandingkan dengan kendaraan ramah lingkungan lainnya, yakni kendaraan listrik berbasis baterai.
Sampai tahun 2022, total kendaraan hidrogen yang meluncur di jalanan baru sekitar 72.000 unit, kalah telak dengan populasi kendaraan listrik baterai yang sudah lebih dari 22 juta unit. Adopsi teknologi ini masih kalah menarik dibandingkan industri kendaraan listrik baterai.
Laju adopsi dan penghambatnya
Dari perspektif manajemen strategis, adopsi teknologi ini bisa dikaji melalui berbagai perspektif; proses difusinya (Roger, 1962), penerimaan konsumennya (Davis, 1989), pendekatan institusionalnya (Tornatzky and Fleischer, 1990) atau siklus teknologinya (Moore, 1991).
Berdasarkan Technology Acceptance Model (Davis, 1989), keberhasilan penjualan kendaraan hidrogen hijau ini secara sederhana hanya bergantung pada dua faktor: persepsi mengenai manfaat (perceived of usefulness) dan persepsi mengenai kemudahan penggunaan (ease of use).
Apa saja manfaat dari adopsi kendaraan hidrogen hijau? Manfaat utamanya tentunya pengurangan emisi dari sektor transportasi yang sampai nol emisi. Teknologi ini juga lebih efisien dibandingkan mobil konvensional berbahan bakar fosil (bensin atau diesel), mengubah hidrogen menjadi listrik dengan efisiensi lebih tinggi sehingga mengurangi konsumsi energi.
Mengisi hidrogen hanya membutuhkan waktu beberapa menit, mirip dengan waktu pengisian kendaraan konvensional, jauh lebih cepat dari pengisian kendaraan listrik baterai. Kendaraan hidrogen umumnya memiliki jangkauan yang lebih jauh dibandingkan kendaraan listrik bertenaga baterai sehingga lebih cocok untuk perjalanan jarak jauh. Hidrogen hijau dapat diproduksi dari berbagai sumber, seperti tenaga surya, air, angin, dan biomassa, memberikan fleksibilitas dalam penyediaan sumber bahan bakar.
Pertanyaannya adalah apakah manfaat ini menjadi prioritas atau kebutuhan bagi calon pengguna? Jika ya, maka kendaraan ini akan punya potensi untuk diadopsi. Jika tidak, misalnya konsumen masih lebih mementingkan hal lain. seperti keekonomian, baik harga mobil maupun bahan bakarnya, maka kendaraan ini tidak menjadi opsi untuk konsumen.
Pertanyaan berikutnya apakah manfaat ini bisa diperoleh dari produk substitusi? Pengurangan emisi, misalnya, juga ditawarkan oleh kendaraan listrik sehingga calon pengguna akan mempunyai alternatif dan membandingkannya sebelum berkeinginan untuk membelinya.
Efisiensi kendaraan hidrogen juga masih kalah dibanding dengan kendaraan listrik sehingga manfaat ini bisa terabaikan. Sama dengan hidrogen, kendaraan listrik sumber energinya bisa berasal dari berbagai sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, angin atau air. Dengan adanya produk substitusi ini, maka persepsi mengenai manfaat kendaraan hidrogen akan berkurang, konsumen akan punya banyak pilihan.
Kemudian apa sajakah kemudahan penggunaan dari kendaraan hidrogen hijau? Secara operasional, penggunaan kendaraan ini hampir sama dengan kendaraan konvensional dan kendaraan listrik baterai. Kinerja mesinnya juga setara. Bahkan, kendaraan ini lebih mudah dan cepat mengisi bahan bakarnya dibanding kendaraan listrik. Kemudahan lainnya adalah jarak jangkau sekali pengisian yang lebih jauh daripada kendaraan berbahan bakar fosil dan kendaraan listrik. Kendaraan ini juga lebih mudah perawatannya dibanding kendaraan konvensional dengan jumlah komponen jauh lebih sedikit.
Pertanyaannya kemudian adakah penghambat yang memudahkan penggunaan kendaraan ini? Salah satu tantangannya adalah ketersediaan stasiun pengisian bahan bakar hidrogen. Meskipun infrastrukturnya mulai berkembang, penyebarannya tidak seluas SPBU sehingga dapat membatasi perjalanan jarak jauh. Berkaca dari kegagalan adopsi kendaraan berbahan bakar gas yang digagas pemerintah tahun 1990-an, ketersediaan infrastruktur ini tak pelak menjadi faktor paling penentu keberhasilan adopsi kendaraan ini. Sebaliknya pemilik kendaraan listrik bisa melakukan pengisian energinya di rumah kapan saja, hal yang tak mungkin bisa dilakukan pengguna kendaraan hidrogen.
Aspek lain yang mengurangi kemudahan penggunaan adalah terbatasnya pilihan merek kendaraan. Meskipun mulai banyak pengembang mobil kendaraan hidrogen bermunculan, hanya ada dua merek yang tersedia di pasaran; Mirai dan Nexo. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan merek kendaraan listrik berbasis baterai. Selain itu, harga hidrogen hijau juga relatif lebih mahal dibanding biaya listrik.
Banyaknya faktor penghambat ini tentunya membuat nilai kemanfaatan dan kemudahan kendaraan hidrogen hijau melorot sehingga calon pengguna masih enggan untuk mengadopsi moda transportasi masa depan yang ramah lingkungan ini. Bisa jadi kecepatan Toyota Mirai sudah bersaing dengan kecepatan Tesla 3, namun yang pasti, sampai detik ini laju adopsi kendaraan listrik berbahan bakar hidrogen seperti Mirai atau Nexo masih jauh tertinggal dibanding kendaraan listrik berbasis baterai seperti Tesla atau BYD.
Zainal Arifn, Dosen Program Studi Pascasarjana di Institut Teknologi PLN
dan Pengurus Indonesia Strategic Management Society.
Email: zainal_pln@yahoo.com