Data BPS menunjukkan penurunan angka pernikahan di Indonesia. Ini fenomena global yang dipengaruhi pola pikir.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, angka pernikahan di Indonesia menurun signifikan sejak 2018 sampai 2023. Sebagai contoh, pada 2022 pernikahan di Indonesia 1,70 juta pasangan dan itu hasil dari penurunan konsisten sejak 2018. Angka itu kembali turun hingga menjadi 1,58 juta pasangan pada 2023 atau mengalami penurunan sekitar 128.000 pasangan dibanding tahun sebelumnya.
Tren penurunan angka pernikahan ini bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga beberapa negara lain. Tren ini jamak di negara maju di Asia, seperti Jepang dan Korea Selatan. Rendahnya minat warga terhadap pernikahan pada akhirnya memicu penurunan angka kelahiran dan krisis populasi di negara-negara tersebut (Kompas.id, 6 Maret 2024).
Sosiolog UNS Surakarta, Drajat Tri Kartono, menemukan fakta menarik dari risetnya, ”Krisis Keluarga dalam Perkembangan Otonomi Perempuan”, bersama sejumlah peneliti lain. ”Perempuan makin ingin mandiri dan diakui. Sebab, dihadapkan pada ketidakpercayaan cukup besar jika menyerahkan hidupnya kepada institusi keluarga dengan realitas seperti kekerasan dalam rumah tangga yang jumlahnya meninggi,” ujarnya, Rabu (6/3/2024).
Hasil penelitian Drajat juga menyebutkan, hal yang lebih penting dari pernikahan bagi perempuan adalah karier atau pekerjaan. Setelah karier, perempuan menempatkan pendidikan dan rekreasi pribadi dalam aspek yang lebih penting dibanding menikah (Kompas.id, 6/3/2024).
Era baru menghasilkan generasi berpola pikir berbeda. Demikian pula dengan persepsi publik tentang pernikahan. Generasi milenial terdata menikah pada usia lebih tua ketimbang sebelumnya. Dari data dan fakta itu bisa dipahami bahwa dari generasi ke generasi, usia menikah terus menua.
Dalam perbandingan tiga generasi saja, generasi boomer muda berusia 25-37 tahun yang menikah pada 1989 tercatat 62 persen. Adapun generasi X berusia sama yang menikah pada 2001 cuma 57 persen. Persentase itu menurun lagi jadi 46 persen untuk generasi milenial yang menikah pada 2018, juga di rentang usia 25-37.
Meluasnya kesempatan berkarier bagi perempuan, seiring kesetaraan jender dan isu antidiskriminasi terhadap perempuan, membuat perempuan memiliki alternatif prioritas lain dalam hidup selain menikah. Salah satunya berkarier.
Pernikahan, dengan demikian, bukan lagi termasuk keharusan. Hal yang dulunya termasuk sakral sehingga mereka yang belum menikah di usia tertentu dianggap aib, bisa jadi tak jamak lagi. Rasionalitas lebih banyak menjadi acuan. Terlebih, dengan biaya hidup yang makin berat, ongkos pernikahan dan menafkahi keluarga jadi kendala utama.
Pemerintah perlu memikirkan solusi atas potensi krisis populasi yang sudah mulai menggejala di sejumlah negara. Kebijakan dan manajemen kependudukan yang komprehensif menjadi salah satu alternatif solusi.