Menakar Biaya Tersembunyi Pangan terhadap Lingkungan
Biaya tersembunyi pangan menjadi pengingat bahwa sistem pertanian membutuhkan pendekatan sistematis dan komprehensif.
Cuaca ekstrem telah diidentifikasi sebagai risiko tertinggi yang akan dihadapi seluruh dunia pada tahun 2024, seperti diungkapkan oleh Forum Ekonomi Dunia.
Kabar ini tidaklah menyenangkan, terlebih Indonesia berada di jajaran ketiga teratas negara yang rentan terpapar risiko iklim, terutama terhadap segala bentuk cuaca ekstrem.
Tanpa adaptasi yang efektif, cuaca ekstrem hanya akan membuat harga pangan jauh lebih mahal, terutama jika memperhitungkan biaya tersembunyi dari pangan.
Pada tahun 2023, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) merilis publikasi tentang tingginya biaya tersembunyi pangan yang mencakup aspek lingkungan, sosial, dan kesehatan. Publikasi itu mengungkapkan bahwa biaya yang tersembunyi dalam pangan di seluruh dunia saat ini nilainya melebihi 10 triliun dollar AS per tahun.
Berdasarkan terminologinya, biaya tersembunyi adalah semua biaya yang tak tecermin dalam harga suatu produk atau jasa, tetapi menyimpan potensi dampak negatif yang tak sepadan atas harga yang dibayar. Biaya tersembunyi pangan merupakan dampak yang tak bisa eksplisit terukur atas cara kita memproduksi, memproses, mendistribusi, mengonsumsi, hingga membuang sisa pangan.
Kehendak politik atau political will menjadi penentu apakah biaya tersembunyi pangan dapat diarusutamakan dalam pembangunan pertanian di Indonesia.
Indonesia tentu tidak lepas dari tantangan biaya tersembunyi pangan. Publikasi FAO tersebut mengestimasi biaya tersembunyi pangan di Indonesia mencapai 319,515 miliar dollar AS per tahun. Yang lebih mengejutkan, Indonesia tercatat memiliki biaya tersembunyi tertinggi di antara negara-negara Asia Tenggara.
Porsi biaya tersembunyi di Indonesia bahkan mencapai 44,21 persen dari total biaya tersembunyi pangan di Asia Tenggara.
Cuaca ekstrem yang kini diprediksi semakin intensif tentu membawa momok bagi sektor pertanian, mulai dari puso hingga melambungnya harga pangan. Dan negara kita memiliki catatan panjang perihal ini.
Sebagai contoh, fenomena kekeringan berkepanjangan yang diperburuk oleh cuaca dingin ekstrem di Distrik Agandugume dan Distrik Lambewi, Kabupaten Puncak, Papua Tengah, pertengahan tahun 2023. Cuaca ekstrem telah memicu gagal panen hingga mengakibatkan bencana kelaparan yang merenggut nyawa puluhan warga di distrik tersebut.
Banyak peneliti telah mengungkap hubungan yang erat antara perubahan iklim dan cuaca ekstrem. Perubahan iklim terbukti mengeskalasi intensitas kejadian cuaca ekstrem di berbagai belahan dunia. Di sisi lain, sistem pertanian yang tidak berkelanjutan menjadi salah satu penyebab petaka perubahan iklim. Lantas, apa urgensinya?
Keterkaitan antara aktivitas pertanian, perubahan iklim, dan biaya tersembunyi pangan masih jarang menjadi bagian diskursus di Indonesia.
Prioritas kebijakan pemerintah selama ini adalah agar pangan tersedia dalam jumlah melimpah dan harga murah. Efek domino atas sistem pertanian yang tidak berkelanjutan masih belum dipandang sebagai sebuah isu krusial. Ada rentetan ”harga mahal” yang harus kita bayar akibat sistem pertanian yang tidak berkelanjutan.
Sayangnya, pemahaman setiap individu terhadap biaya tersembunyi pangan masih begitu rendah. Hal ini sebenarnya dapat dipahami karena di tangan para pemangku kebijakan pun, masih sangat minim pihak yang menyoroti biaya tersembunyi pangan.
Mengurai masalah
Di antara aspek-aspek yang berkontribusi terhadap biaya tersembunyi pangan, FAO mengestimasi faktor lingkungan menyumbang 20 persen dari total biaya tersembunyi.
Baca juga: Biaya Tersembunyi di Luar Label Harga Pangan Kita
Biaya tersembunyi pangan terhadap lingkungan mungkin tidak sebesar biaya tersembunyi yang berkaitan dengan kesehatan, yang memang memiliki persentase tertinggi, yaitu 70 persen. Namun, aspek lingkungan hadir bagaikan dua sisi pedang. Di satu sisi, aktivitas pertanian yang tidak berkelanjutan dapat mendegradasi lingkungan. Di sisi lain, lingkungan berperan penting dalam menentukan keberhasilan sektor pertanian.
Biaya tersembunyi pangan terhadap lingkungan meliputi segala aktivitas pertanian yang merusak lingkungan seperti alih guna lahan yang masif, pemborosan air, hingga penggunaan input kimia yang tidak terukur. Sayangnya, untuk memastikan masyarakat memiliki akses terhadap pangan berkualitas dengan harga terjangkau, pemerintah acap kali menerapkan kebijakan produksi pangan yang tidak mengedepankan aspek kelestarian lingkungan.
Pertanian intensif menjadi salah satu contoh aktivitas pertanian yang tidak lestari.
Berdasarkan terminologinya, biaya tersembunyi adalah semua biaya yang tak tecermin dalam harga suatu produk atau jasa, tetapi menyimpan potensi dampak negatif yang tak sepadan atas harga yang dibayar.
Sebuah penelitian menunjukkan tingginya penggunaan pupuk kimia di Indonesia pada tahun 1999 hingga 2021 telah mengakibatkan degradasi lingkungan mulai dari pengerasan tanah hingga pencemaran air dan udara. Peningkatan anggaran subsidi pupuk kimia yang baru-baru ini diteken—sangat mungkin—justru akan meningkatkan biaya tersembunyi pangan terhadap lingkungan.
Selain pertanian intensif, program food estate yang merambah kawasan hutan konservasi dan hutan lindung serta lahan gambut diyakini juga memiliki biaya tersembunyi yang terlampau tinggi.
Berbagai studi menunjukkan pembangunan food estate sejak pertama kali digagas pada tahun 1990-an telah menimbulkan kerusakan ekologis. Sementara output berupa pangan masih jauh dari proyeksi.
Memperhitungkan
Kita harus menyadari bahwa harga pangan di Indonesia secara struktural lebih tinggi dibandingkan negara lain. Penyebabnya tak lain adalah sejumlah permasalahan klasik, mulai dari dominansi petani gurem dengan luas kelola lahan kurang dari 0,5 hektar, minimnya akses langsung pada pasar, hingga keterbatasan teknologi.
Harga eceran beras di Indonesia, misalnya, merupakan yang tertinggi di ASEAN selama satu dekade terakhir sebagaimana tercatat dalam prospek Bank Dunia. Hal ini jelas menunjukkan harga pangan di Indonesia tidak kompetitif dalam segala aspek, terlebih jika biaya-biaya tersembunyi turut diperhitungkan.
Biaya tersembunyi pangan seolah menjadi pengingat bahwa sistem pertanian membutuhkan pendekatan sistematis dan komprehensif.
Upaya penyediaan pangan tak boleh hanya untuk memenuhi target jangka pendek, terlebih dengan populasi penduduk yang diprediksi terus meningkat setiap tahun.
Pemerintah perlu lebih serius menginternalisasi nilai-nilai kelestarian lingkungan sebagai aspek krusial dalam penyediaan pangan.
Hingga saat ini memang belum ada formula yang selaras secara internasional untuk mengalkulasi biaya tersembunyi pangan.
Meski demikian, kajian dan penghitungan biaya tersembunyi secara akuntabel sebetulnya telah banyak dilakukan oleh para peneliti yang dapat diadopsi oleh setiap negara.
Kehendak politik atau political will menjadi penentu apakah biaya tersembunyi pangan dapat diarusutamakan dalam pembangunan pertanian di Indonesia.
Dian Yuanita Wulandari,Pemerhati Sosial Ekonomi Pertanian