Hilirisasi menumbuhkan perekonomian daerah, tetapi juga menimbulkan keterputusan relasi masyarakat dengan huniannya.
Oleh
MUHAMMAD KASHAI RAMDHANI PELUPESSY
·4 menit baca
Demi akselerasi pertumbuhan ekonomi, hilirisasi adalah program yang sangat diandalkan Pemerintah Indonesia saat ini. Program itu terbukti menumbuhkan tingkat perekonomian pada tiap-tiap daerah mencapai 20 persen, seperti Maluku Utara, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Papua, dan Kepulauan Riau (Kompas, 6/2/2024).
Hal ini merupakan bukti pertumbuhan ekonomi telah berjalan sesuai harapan. Meskipun proyek hilirisasi ini penting bagi kesehatan perekonomian karena trickle down effect yang dihasilkannya, di sisi lain hal ini memicu munculnya efek psikologis negatif yang diderita masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi proyek strategis tersebut.
Solastalgia adalah sindrom psikologis yang belakangan ini mulai muncul dirasakan oleh sebagian masyarakat akibat program hilirisasi itu. Glenn Albrecht, salah satu filsuf lingkungan yang pertama kali memunculkan istilah solastalgia pada 2003, mengartikan solastalgia sebagai ketidaknyamanan hidup masyarakat saat berada di hunian yang telah mengalami perubahan intens.
Bagaimana dengan masyarakat Indonesia yang tinggal di sekitar proyek hilirisasi? Apakah masyarakat merasa solastalgia? Bagaimana menujumkan agar masyarakat tidak terkena sindrom solastalgia? Mari kita membicarakannya.
Sebagaimana istilah solastalgia ini muncul pertama kali dari filsuf lingkungan asal Australia, Glenn Albrecht, maka mari kita becermin dari masyarakat Australia di mana kondisi psikologis negatif itu mulai diperbincangkan, yaitu masyarakat yang tinggal di daerah Upper Hunter Valley di New South Wales.
Daerah Upper Hunter Valley awalnya merupakan tempat yang asri, tetapi sejak 1999 berubah menjadi daerah tambang batubara dengan luas lokasi 520 kilometer persegi. Proyek ekstraktif itu lambat laun mengubah lanskap hunian masyarakat setempat. Akibatnya, masyarakat menderita ketidaknyamanan psikologis saat berada di huniannya sendiri.
Fenomena yang dirasakan masyarakat Upper Hunter Valley itu sepertinya ekuivalen dengan masyarakat yang tinggal di sekitar proyek strategis nasional (hilirisasi). Hal ini karena salah satu ganjaran yang tidak bisa kita nafikan dari program hilirisasi adalah perubahan lanskap hunian masyarakat.
Hilirisasi telah menciptakan disequilibrium antara masyarakat dan huniannya. Hunian bagi masyarakat adalah sesuatu yang sangat penting alih-alih bukan benda mati. Hunian adalah bagian dari identitas diri masyarakat.
Namun, ketika proyek hilirisasi hadir dan mengubah lanskap hunian, maka tanpa sengaja hal itu telah memutus relasi masyarakat dengan hunian sebagai identitas dirinya itu. Akibatnya, masyarakat merasakan ketidaknyamanan hidup (solastalgia).
Adalah sesuatu yang paradoks, fenomena pertumbuhan ekonomi ternyata tidak senapas dengan pertumbuhan psikologis masyarakat. Pertanyaannya kemudian adalah proyek hilirisasi ini sebetulnya menguntungkan bagi siapa? Becermin dari kondisi psikologis masyarakat Upper Hunter Valley di Australia, solastalgia yang diderita telah memicu angka kematian bunuh diri, stres, dan depresi.
Sejumlah temuan telah mengonfirmasi hal itu, seperti yang diperlihatkan oleh riset Askland dan Bunn tahun 2018 lalu dalam jurnal Emotion, Space and Society. Dua faktor yang membuat masyarakat mengalami solastalgia adalah perusakan sense of place dan rasa identitas diri masyarakat karena proyek ekstraktif telah mengubah lanskap hunian.
Adalah sesuatu yang paradoks, fenomena pertumbuhan ekonomi ternyata tidak senapas dengan pertumbuhan psikologis masyarakat.
Sepertinya, masyarakat kita yang tinggal di sekitar proyek hilirisasi merasakan hal serupa yang sejauh ini belum tersentuh dengan riset mendalam. Sebagai presedennya adalah masyarakat Kawasi yang tinggal di Pulau Obi, Maluku Utara.
Daerah ini yang awalnya tidak diketahui masyarakat setempat itu ternyata mengandung limpahan nikel yang luar biasa besar. Sejak salah satu perusahaan nikel hadir di sana, kini masyarakat tidak bisa makan ikan karena daerah perairannya tercemar limbah nikel yang dibuang ke laut. Apa yang dirasakan masyarakat adalah keterputusan relasi dengan huniannya yang kemudian melahirkan kondisi psikologis disequilibrium (solastalgia).
Perasaan solastalgia mungkin tak hanya diderita masyarakat Kawasi di Pulau Obi, tetapi juga masyarakat-masyarakat lain di Indonesia yang tinggal di sekitar proyek hilirisasi. Solastalgia yang dirasakan akan berdampak buruk bagi pertumbuhan psikologis masyarakat. Hal ini tentu harus dicari solusi yang saling menguntungkan, baik bagi pertumbuhan ekonomi maupun pertumbuhan psikologis masyarakat.
Hilirisasi tanpa memutus relasi
Salah satu kunci dari upaya mengatasi solastalgia adalah bagaimana mengantisipasi agar masyarakat tidak mengalami keterputusan relasi dengan huniannya. Proyek hilirisasi yang cenderung mengakibatkan keterputusan relasi itu kalau bisa dihindari.
Apakah bisa, proyek hilirisasi tanpa memutus relasi masyarakat dengan huniannya? Jika pertanyaan ini kita hadirkan di atas meja perundingan dengan menghadirkan pemilik perusahaan dan pemegang kekuasaan, tampaknya pertanyaan itu akan menjadi bayang-bayang saja. Alih-alih sulit merealisasikannya, bukan berarti tidak mungkin melakukannya: ”hilirisasi tanpa memutus relasi”.
Demi menghindari munculnya sindrom solastalgia, satu hal yang harus kita pikirkan adalah memahami wawasan kosmologis masyarakat yang tinggal di sekitar proyek hilirisasi. Dalam wawasan kosmologis masyarakat, hunian merupakan subyek yang hidup. Hunian telah menyejarah dan memberi sesuatu yang penting bagi masyarakat, seperti kenyamanan, ketenteraman, dan keuntungan materialistik (makan, minum).
Sebab itulah, hunian telah menjadi orangtua (ibu) bagi masyarakat. Di sejumlah daerah, hunian (tanah) kerap dipanggil dengan sebutan ibu. Misalnya, orang Maluku menyebut Pulau Seram sebagai Nusa Ina (Pulau Ibu), orang Jawa memanggil tanah sebagai siti, dan di sejumlah daerah lain hunian (tanah) diistilahkan sebagai sesuatu yang mulia. Tanpa terkecuali, Indonesia juga kerap disebut sebagai Ibu Pertiwi.
Istilah-istilah yang memuliakan hunian itu muncul bukan turun dari langit, melainkan hadir setelah relasi intensionalitas masyarakat dengan huniannya. Karena itulah, memutus relasi intensionalitas masyarakat dengan hunian sepadan dengan memutus relasi masyarakat dengan jati dirinya.
Proyek hilirisasi yang terus dilakukan—katanya tidak boleh berhenti—itu perlu dipikirkan bagaimana agar tidak menimbulkan keterputusan relasi masyarakat dengan huniannya. Penyebab utama solastalgia berupa keterputusan relasi yang merupakan efek dari proyek hilirisasi ini hendaknya menjadi pertimbangan serius.
Mengejar pertumbuhan ekonomi sejatinya harus senapas dengan terus menjaga relasi intensionalitas masyarakat dengan huniannya. Sebab, substansi dari membangun adalah tidak boleh menghancurkan masyarakatnya.
Muhammad Kashai Ramdhani Pelupessy, Dosen Psikologi Institut Agama Islam Negeri Ambon