Perundungan dan Ketimpangan Kuasa dalam Lembaga Pendidikan
Perundungan di sekolah bisa dimitigasi dengan membuka akses informasi dan transparansi ke semua pemangku kepentingan.
Saat artikel ini diketik, marak berita perundungan yang terjadi di dua lembaga pendidikan di Indonesia. Yang pertama terjadi di sebuah sekolah swasta elite di Jakarta dan yang kedua di sebuah lembaga pendidikan keagamaan di Kediri, Jawa Timur.
Kasus perundungan di Jakarta melibatkan 11 siswa senior di sekolah tersebut, sedangkan kasus perundungan di Kediri melibatkan empat pelaku yang juga siswa senior. Dalam kasus perundungan di Kediri, korban—seorang siswa berusia 14 tahun—meninggal.
Perundungan (bullying) bisa berwujud kekerasan fisik, seksual, atau lisan; juga bisa mengambil bentuk perundungan digital dan di dunia maya (perundungan siber/cyberbullying). Pada hakikatnya, perundungan adalah bentuk penyalahgunaan kuasa (power) dalam lingkungan tempat ketimpangan kuasa terjadi.
Baca juga: ”Toxic Masculinity”: Epidemik Perundungan di Kalangan Remaja
Acap kali ketika suatu kasus perundungan dianalisis, nyaris selalu ada dua komponen di dalamnya: ketimpangan kuasa (terutama antara korban dan pelaku) dan ketertutupan informasi ke publik (berita cenderung tidak tersebar sehingga pelaku merasa kerahasiaannya terjaga). Tidak jarang, ada pula komponen ketiga, yakni adanya ”pengamat yang tinggal diam” (silent bystander)—orang-orang yang mengetahui praktik perundungan tersebut, tetapi memilih mendiamkannya.
Salah satu komponen inti dalam perundungan adalah ketimpangan kuasa dalam komunitas atau lembaga tempat perundungan terjadi. Bertram Raven, seorang psikolog Amerika, mengidentifikasi lima jenis kuasa dalam dinamika sosial manusia: kuasa imbalan (reward power), kuasa koersif atau paksaan (coercive power), kuasa sah (legitimate power), kuasa panutan (referent power), dan kuasa pakar (legitimate power).
Kuasa imbalan tercipta ketika seseorang mempunyai wewenang memberikan imbalan kepada orang lain. Misalnya, seorang pimpinan mempunyai kuasa atas karyawan ketika punya hak menentukan besaran gaji karyawan.
Kuasa koersif terbentuk ketika seseorang memiliki wewenang menghukum orang lain. Misalnya, polisi punya kuasa dalam konteks hukum karena punya wewenang menangkap pelanggar hukum.
Kuasa sah terjelma ketika seseorang dilantik berdasarkan hukum atau aturan yang sah untuk menempati posisi atau jabatan tertentu. Misalnya, seorang imam Katolik berhak menyelenggarakan misa, atau memimpin sebuah paroki, karena tahbisannya.
Kuasa panutan terwujud ketika seseorang diteladani karena watak atau karakternya. Misalnya, seorang dosen disukai dan dihormati para mahasiswa karena ia baik dan rendah hati.
Salah satu komponen inti dalam perundungan adalah ketimpangan kuasa dalam komunitas atau lembaga tempat perundungan terjadi.
Kuasa pakar terjadi ketika seseorang, karena keilmuan dan keterampilannya, dianggap pakar dalam bidang tertentu. Misalnya, seorang dokter lebih dipercayai kata-katanya ketika memberikan nasihat tentang kesehatan daripada seseorang yang bukan dokter.
Kuasa, tanpa mekanisme kontrol, evaluasi, dan juga oposisi, bisa berbahaya karena—seperti kata Lord Acton, politisi dan sejarawan Inggris abad ke-19—power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely (kuasa cenderung merusak, dan kuasa absolut merusak secara absolut).
Tersembunyi
Perundungan sangat rentan terjadi ketika kuasa, apa pun bentuknya, diterapkan semena-mena ”dalam bayang-bayang”. Artinya, ketika pelaku merasa bisa mengeksploitasi ketimpangan kuasa dalam kondisi tersembunyi.
Perundungan bisa tersembunyi karena tiga hal. Pertama, korban tutup mulut, yaitu karena dipaksa atau karena keinginannya sendiri. Kedua, karena pelaku berjumlah banyak sehingga sulit diidentifikasi. Fenomena ini oleh psikolog sosial dikenal sebagai diffusion of responsibility. Ketiga, atau karena budaya organisasi di lembaga tersebut melanggengkan praktik perundungan.
Elemen-elemen di atas teridentifikasi dalam kasus perundungan yang menyebabkan tewasnya pelajar berusia 14 tahun dalam kasus perundungan di Kediri. Pihak lembaga pendidikan awalnya menutupi kejadian dengan mengatakan korban tewas setelah terjatuh di kamar mandi. Hanya karena kegigihan keluarga korban akhirnya kronologi sebenarnya terungkap.
Dalam tragedi tersebut, ada elemen kesenjangan kuasa (siswa yunior harus taat kepada senior, dan siswa tunduk mutlak kepada gurunya), terbatasnya akses informasi kepada pemangku kepentingan (pihak lembaga menutupi kejadian tersebut), dan ada silent bystander.
Saya melihat kemiripannya dengan kasus pelecehan seksual terhadap sejumlah seminaris, yang sempat mengguncangkan institusi Gereja Katolik Roma, terutama di Amerika, beberapa tahun silam. Para seminaris yang menjadi korban dikondisikan patuh total terhadap peraturan di institusinya dan tunduk kepada para klerus senior, sementara akses keluar-masuk informasi sangat dibatasi. Nyatanya, kasus pelecehan seksual tersebut baru terungkap bertahun-tahun setelah peristiwa terjadi.
Institusi, lembaga, atau tempat yang relevan dengan pendidikan (sekolah, seminari, pesantren, asrama) rentan menjadi tempat perundungan karena kelima jenis kuasa sosial yang diidentifikasi Bertram Raven selalu ada di semua institusi pendidikan. Maka, sudah tepat dan bijak ketika suatu lembaga pendidikan membentuk satuan tugas antiperundungan.
Baca juga: Mengenali Karakter Murid, Mencegah Perundungan
Meski demikian, mencegah perundungan bukan hanya tugas dan tanggung jawab satuan tugas tersebut. Seluruh sivitas punya peran dan tanggung jawab mencegah perundungan. Risiko terjadinya perundungan di sekolah bisa dimitigasi dengan membuka akses informasi dan transparansi kepada seluruh pemangku kepentingan sembari secara berkelanjutan menanamkan kesadaran dan pengetahuan kepada seluruh sivitas tentang pencegahan perundungan.
Budaya keterbukaan terhadap kritik, yang harusnya terinternalisasi di setiap lembaga pendidikan, menjadi salah satu fondasi pencegahan perundungan di lembaga tersebut. Edukasi kepada para sivitas tentang perundungan harus merupakan program yang berkelanjutan (bukan kegiatan sekali saja/one-time event).
Akhir kata, marilah kita berkaca pada diri masing-masing: Sudahkah kita, apa pun posisi kita, menghindari penyalahgunaan kuasa ketika berdinamika satu sama lain, terutama terhadap pihak-pihak yang posisinya lebih rentan dari kita?
Michael Seno Rahardanto, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya