Pembiayaan Pendidikan Tinggi
Pemerintah dan universitas wajib memberi kesempatan bagi anak-anak berprestasi dari keluarga miskin bisa kuliah di PTN.
Kontroversi pembiayaan pendidikan tinggi kembali mengemuka ketika muncul kasus ”gagal bayar” uang kuliah tunggal sejumlah mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di Institut Teknologi Bandung.
Agar tetap bisa melanjutkan kuliah, mereka mengambil pinjaman daring berbunga yang harus dibayar dalam rentang waktu yang ditentukan.
Pinjaman daring berbunga ini bahkan difasilitasi oleh pimpinan ITB melalui kerja sama dengan penyedia jasa keuangan, Danacita, yang bergerak di sektor finansial. Danacita merupakan badan komersial yang menjalankan kegiatan bisnis pinjaman bermotif mencari untung (rent seeking, profit oriented).
Tak pelak, kasus ini memicu polemik dan kritik keras dari berbagai kalangan, tidak hanya kepada pimpinan ITB, tetapi juga dalam hal penyelenggaraan pendidikan tinggi secara umum. Pokok kritik terpusat pada masalah biaya pendidikan yang terbilang mahal sehingga tidak semua kelompok masyarakat dapat mengaksesnya.
Ada tiga pertanyaan yang relevan diajukan: mengapa pendidikan tinggi berbiaya mahal? Siapa yang semestinya bertanggung jawab atas pembiayaan pendidikan tinggi? Siapa yang memperoleh manfaat paling besar pendidikan tinggi?
Jadi, penerima manfaat ekonomi paling besar atas investasi untuk pendidikan tinggi adalah kelas menengah-atas.
Pendidikan tinggi: ”public goods”?
Untuk menjawab tiga pertanyaan di atas, kita perlu mendefinisikan lebih dahulu pendidikan tinggi: public goods atau private goods. Memperjelas definisi penting karena berimplikasi pada pemenuhan hak dan siapa yang harus memikul beban dan tanggung jawab layanan publik sektor pendidikan.
Para perumus kebijakan publik perlu merespons kerisauan masyarakat mengenai biaya pendidikan tinggi yang kian mahal. Sementara para penyelenggara pendidikan tinggi cenderung mengikuti tuntutan pasar, menjadikan pendidikan tinggi serupa dengan komoditas industri, sehingga mengarah pada komersialisasi.
Dalam kajian ilmu ekonomi, parameter utama untuk menentukan suatu barang bisa dikategorikan public goods adalah harus bersifat non-rivalry dan non-excludable. Non-rivalry berarti konsumsi, pemakaian, dan pemanfaatan atas suatu barang tak menyebabkan berkurang, baik nilai maupun volumenya. Non-excludable berarti orang lain tak terhalangi untuk ikut mengonsumsi, memakai, dan memanfaatkan barang yang sama.
Banyak ahli berpendapat pendidikan tinggi masuk kategori public goods, sebab menyangkut hajat hidup dan kebutuhan seluruh masyarakat. Karena itu, negara bertanggung jawab penuh untuk menyediakan layanan pendidikan tinggi agar setiap warga negara mendapat kesempatan sama (non-excludability) dan tidak berkompetisi saling mengalahkan (non-rivalry) dalam mengaksesnya.
Jika pendidikan tinggi dimaknai sebagai public goods, semestinya tidak boleh ada komersialisasi yang berorientasi mencari keuntungan material dan akumulasi kapital, karena menyalahi prinsip dasar public goods. Komersialisasi pendidikan tinggi jelas menggugurkan sifat non-excludable, yang hanya bisa dinikmati kelompok masyarakat kaya.
Esensi public goods adalah pendidikan tinggi harus bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat, tanpa perkecualian.
Sebagian ahli yang lain berpandangan pendidikan tinggi tidak sepenuhnya public goods. Sebab, para lulusan universitas akan masuk ke pasar kerja dan mereka mendapatkan keuntungan finansial dan manfaat ekonomi dengan pengetahuan, keahlian, dan keterampilan yang diperoleh selama belajar di perguruan tinggi.
Namun, argumen ini tidak cukup meyakinkan karena para sarjana yang bekerja kemudian memberi kontribusi pada pendapatan negara berupa pembayaran pajak, yang digunakan untuk membiayai layanan publik, termasuk pendidikan tinggi.
Jalur seleksi dan biaya kuliah
Penting juga diperjelas bahwa kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) bisa ditempuh melalui tiga jalur: (i) Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP), (ii) Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT)—Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK), dan (iii) Seleksi Mandiri PTN. Setiap jalur punya kuota berbeda antara 30 persen dan 40 persen, tergantung status PTN-badan hukum (PTN-BH) atau non-PTN-BH.
Komersialisasi pendidikan tinggi jelas menggugurkan sifat non-excludable, yang hanya bisa dinikmati kelompok masyarakat kaya.
Mahasiswa yang lulus seleksi melalui dua jalur pertama harus membayar uang kuliah tunggal (UKT), yang juga bervariasi antara nol rupiah hingga Rp 25 juta. Penerapan besaran UKT ditentukan melalui asesmen profil keluarga (penghasilan orangtua), bidang ilmu (program studi/prodi: sosial-humaniora, sains-keteknikan, kedokteran), dan status akreditasi prodi.
Mahasiswa yang berasal dari keluarga tidak mampu diberikan beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP)-Kuliah: tak membayar UKT dan dapat bantuan biaya hidup Rp 9,5 juta-Rp 16,5 juta/tahun selama empat tahun kuliah.
Masalah yang kerap muncul adalah seleksi jalur mandiri berkonsekuensi ganda: biaya mahal, bahkan sangat mahal, dan berpotensi menggerus kuota dua jalur seleksi yang lain. Konsekuensi ini tak terelakkan mengingat pendidikan tinggi, terutama ilmu sains-keteknikan dan kedokteran, perlu biaya sangat besar. Namun, mereka yang mengambil jalur mandiri umumnya berasal dari keluarga kelas menengah-atas yang kuat secara ekonomi sehingga punya kemampuan finansial untuk membayar uang kuliah sekalipun mahal.
Argumen para pengelola PTN adalah jalur mandiri yang berbiaya mahal digunakan untuk subsidi silang bagi mahasiswa yang berasal dari keluarga tak mampu. Sebab, APBN hanya bisa menutup sekitar 30 persen dari total kebutuhan biaya perseorangan dalam formula biaya kuliah tunggal (BKT) suatu prodi.
Penyelenggaraan pendidikan tinggi memang perlu biaya besar, yang tak mungkin jika hanya mengandalkan sumber dana publik (APBN). Selama ini, yang menikmati layanan pendidikan tinggi adalah kelompok strata sosial menengah-tinggi sehingga bisa dimaklumi jika PTN menaikkan biaya pendidikan untuk meningkatkan kontribusi (uang pangkal dan UKT) dari mahasiswa, dari lapisan masyarakat berada (kaya).
Ilustrasi/Heryunanto
Jika masyarakat kelas menengah-atas yang paling banyak mengakses pendidikan tinggi, penggunaan dana publik untuk membiayai PTN justru bertolak belakang dengan prinsip keadilan. Investasi dana publik untuk pendidikan tinggi harus menghitung pula besaran nilai ekonomi dan manfaat bagi kepentingan masyarakat luas. Jadi, ada rasionalitas ekonomi di balik mahalnya biaya kuliah dengan membuat analisis perbandingan antara public economic benefits dan private economic benefits.
Penerima manfaat terbesar
Dalam kajian ekonomi, public economic benefits diartikan sebagai keuntungan ekonomis yang memberi manfaat bagi masyarakat setelah seseorang berhasil menamatkan jenjang pendidikan tinggi. Jamie Merisotis dalam ”Who Benefits from Higher Education?” (1998) mengemukakan ada empat kategori public economic benefits.
Pertama, peningkatan pendapatan pajak. Seorang yang mempunyai kualifikasi pendidikan tinggi berpeluang besar untuk memperoleh pekerjaan yang prospektif dan bergaji besar sehingga bisa berkontribusi signifikan dalam pembayaran pajak. Kedua, peningkatan produktivitas. Semakin tinggi tingkat pendidikan dicapai, kian luas pula pengetahuan dan keterampilan teknikal yang didapat, yang berkorelasi positif dengan peningkatan produktivitas.
Ketiga, peningkatan adaptabilitas tenaga kerja. Pendidikan tinggi memberi sumbangan pada kemampuan adaptabilitas tenaga kerja melalui pembekalan aneka keterampilan teknikal dan kecakapan sosial. Keempat, penurunan ketergantungan pada bantuan finansial pemerintah. Lulusan perguruan tinggi tak perlu program bansos, sebab sudah berkecukupan dan mampu memenuhi sendiri berbagai kebutuhan dasarnya.
Baca juga: Biaya Kuliah Makin Tinggi, PTN Badan Hukum Perlu Dikaji
Sementara private economic benefits diartikan sebagai keuntungan ekonomis yang memberi manfaat hanya bagi individu bersangkutan setelah berhasil menamatkan jenjang pendidikan tinggi. Ada lima kategori private economic benefits.
Pertama, peningkatan gaji/penghasilan. Lulusan perguruan tinggi yang berbekal pengetahuan dan keterampilan dipastikan bisa memperoleh gaji/penghasilan tinggi menurut keahlian yang dimiliki. Efek peningkatan gaji/penghasilan ini lebih bersifat individual, bukan sosial, sehingga nilai kemanfaatan pendidikan tinggi pun bersifat perseorangan.
Kedua, pilihan pekerjaan yang luas. Para sarjana, terutama bidang keilmuan tertentu yang diperlukan dunia industri, relatif lebih mudah terserap di pasar kerja dibandingkan dengan mereka yang hanya lulusan sekolah menengah. Alternatif pekerjaan yang tersedia juga lebih banyak dan bervariasi sehingga mereka lebih leluasa dalam menentukan pilihan menurut preferensi masing-masing.
Ketiga, tabungan relatif besar. Dengan pekerjaan yang baik serta gaji/penghasilan besar, sangat logis apabila para sarjana punya tabungan yang besar pula. Mereka mampu membuat perencanaan finansial yang baik untuk keperluan masa pensiun, dengan melakukan investasi untuk kegiatan produktif.
Keempat, jenis pekerjaan dan tempat bekerja yang baik. Lulusan perguruan tinggi relatif mudah mendapatkan pekerjaan yang baik dan tempat bekerja yang nyaman. Kategori pekerjaan mereka lazim disebut white-collar highly-skilled jobs.
Kelima, mobilitas individual. Lulusan perguruan tinggi lebih mampu bertukar jenis pekerjaan. Dengan bekal keahlian yang memadai dan kompetensi yang mumpuni, para sarjana lebih mudah memperoleh pekerjaan baru atau berpindah profesi, bahkan untuk bidang keahlian yang berlainan sekalipun.
Hal yang diuraikan di atas adalah parameter kualitatif yang lazim digunakan untuk mengukur manfaat ekonomi pendidikan tinggi. Parameter kualitatif ini bisa dikuantifikasi dengan menggunakan metode cost-benefit analysis.
Metode analisis ini melihat perbedaan antara private and social rates of return lulusan perguruan tinggi sehingga bisa diketahui berapa besar tingkat kemanfaatan ekonomi pendidikan tinggi, baik bagi individu maupun masyarakat. Metode ini bisa dijadikan dasar bagi pemerintah berinvestasi di pendidikan tinggi.
Dua ahli ekonomi terpandang, Psacharopoulos dan Patrinos, dalam ”Returns to Investment in Education” (2020) membuat perbandingan antara private and social rates of return pada jenjang pendidikan tinggi di lima kawasan.
Ada perbedaan yang sangat signifikan antara private rate of return dan social rate of return di semua kawasan. Perbandingan setiap kawasan adalah: (i) Asia: 18,2 persen dan 11,0 persen; (ii) Eropa/Timur Tengah/Afrika Utara: 18,8 persen dan 9,9 persen; (iii) Amerika Latin/Karibia: 19,5 persen dan 12,3 persen; (iv) negara-negara OECD: 11,6 persen dan 8,5 persen; dan (v) sub-Sahara Afrika: 27,8 persen dan 10,3 persen. Sementara rata-rata dunia sebesar 19,0 persen dan 10,8 persen.
Baca juga: Kelas Menengah Pikul Beban Berat Membiayai Anak Kuliah
Data di atas menunjukkan dengan jelas betapa manfaat ekonomi pendidikan tinggi yang diperoleh individu (private) jauh lebih besar dibandingkan masyarakat luas (public). Jadi, penerima manfaat ekonomi paling besar atas investasi untuk pendidikan tinggi adalah kelas menengah-atas.
Temuan studi ini bisa ditafsirkan, apabila dana publik dalam jumlah besar digunakan untuk membiayai pendidikan tinggi, yang paling beruntung justru kelompok elite. Bagi penganut mazhab Marxian, ini jelas kian memperkuat, bahkan melanggengkan, kemapanan kelas menengah-atas dan menghambat mobilitas vertikal masyarakat kelas bawah.
Dalam perspektif demikian, kebijakan jalur mandiri masuk PTN memang diperuntukkan bagi orang kaya dan mereka harus membayar uang kuliah lebih mahal untuk menjaga keseimbangan neraca pembiayaan pendidikan tinggi.
Namun, pemerintah dan universitas wajib menerapkan kebijakan afirmasi untuk memberi kesempatan bagi anak-anak dari keluarga tak mampu yang berprestasi untuk bisa kuliah di PTN. Kebijakan ini penting untuk pemerataan pendidikan tinggi dan pemenuhan rasa keadilan bagi semua kelompok masyarakat.
Amich Alhumami, Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas