Gen Z Kita Buta Politik?
Dari Pemilu 2024, kita bisa menilai gen Z kurang terpapar pendidikan politik sehingga ”critical thinking” mereka lemah.
Ilustrasi
Pemungutan suara di Pemilu 2024 telah usai. Tentu banyak hal yang bisa ditangkap, salah satu hal yang menarik untuk dianalisis, yaitu mengapa mayoritas generasi Z (gen Z) melabuhkan pilihannya ke pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Litbang Kompas (14 Februari 2024) melansir ada 65,9 persen gen Z usia 26 ke bawah memilih Prabowo-Gibran.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Alasan mereka adalah pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 2 tersebut tegas (22, 5 persen), merakyat (17,2 persen), serta program masuk akal (12,9 persen). Sementara variabel lain sangat rendah, seperti jujur/bersih/tidak korupsi (5,8 persen), cerdas (5,8 persen), dan berpengalaman (5,7 persen).
Angka tersebut tidak bisa dianggap sepele. Mengingat pemilih gen Z bukan sekadar dipandang sebagai kuantifikasi angka-angka, melainkan sebagai faktor penentu masa depan suatu negara apabila mereka kritis. Lantas, apakah mayoritas gen Z di Indonesia tidak memedulikan visi, misi, dan program, serta rekam jejak capres-cawapres? Dengan bahasa lain, apakah mereka buta politik?
Baca juga: Paradoks Preferensi Generasi Z
Merujuk kepada Bertolt Brecht (1898-1956), penyair asal Jerman, buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik.
Berikutnya, alasan paling spesifik pemilih gen Z lebih memilih paslon 2: pertama, sosok Gibran. Peneliti Litbang Kompas, Sebastian, menilai, Gibran berhasil menyuguhkan tawaran yang representatif kepada gen Z meskipun itu hanya gimik, tetapi efektif mengunggah mereka.
Meski demikian, menurut Sebastian, Gibran sulit diterima oleh kalangan anak-anak muda yang lebih rasional dalam menentukan pilihan. Pemilih gen Z menganggap Gibran representatif dari sisi usia, punya latar belakang pengusaha, dan sudah menjadi wali kota di usianya yang muda.
Padahal, secara logika sederhana semua privilese dan capaian-capaian tersebut belum tentu bisa diraih Gibran kalau dia bukan anak Presiden.
Keadaan yang demikian sebetulnya ditengarai oleh gimik politik. Penelitian Litbang Kompas (2023) menunjukkan, sebanyak 66,7 persen pemilih muda (kurang dari 26 tahun) tetap pada pasangan calon pilihan awal pascadebat capres dan cawapres. Rilis Puskapol UI (22 Februari 2023) menyebut, gimik politik menjadi jalan pintas untuk membentuk sikap awal terhadap paslon.
Sikap awal ini menjadi mekanisme kognitif yang lebih efisien, terutama bagi pemilih pemula yang minim pengalaman politik. Selain itu, pemilih muda juga menggunakan upaya kognitif kategorisasi sosial untuk menyederhanakan kompleksitas realitas.
Dalam hal ini, identitas sosial sebagai pemuda mendasari keputusan untuk memilih paslon yang paling merepresentasikan kepemudaan. Olehnya, kombinasi antara aspek demografis dan kognitif inilah yang membuat gimik politik laku sebagai strategi kampanye.
Gimik politik memang berhasil membentuk sikap politik gen Z. Sebab, meskipun di sisi lain ada fakta pelanggaran etik terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90 tentang Batas Usia Capres dan Cawapres, tampaknya hal itu tidak memengaruhi sedikit pun kegandrungan gen Z terhadap Gibran.
Padahal, perkara tersebut cukup ramai dibahas di ruang-ruang sosial media. Bahkan, Tempo menyebut Gibran sebagai anak haram konstitusi (12 November 2023) karena menabrak peraturan perundang-undangan. Pada proses putusan MK tersebut terdapat conflict of interest menurut Majelis Kehormatan MK karena melibatkan Anwar Usman, paman dari Gibran yang saat itu ketua MK (adik ipar Presiden Jokowi).
Sikap awal ini menjadi mekanisme kognitif yang lebih efisien, terutama bagi pemilih pemula yang minim pengalaman politik.
Apa yang dilakukan Anwar Usman melanggar prinsip independensi hakim yang menjadi roh penegakan hukum seperti diatur dalam Pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman. Di tangan Anwar, konsep negara hukum runtuh seketika (Tempo, 2023).
Kedua, selain Gibran, pemilih gen Z juga punya alasannya memilih Prabowo, yaitu fenomena ”gemoy” yang begitu ampuh menyasar kalangan anak muda. Padahal, tidak sedikit pihak yang menyoroti Prabowo sebagai pelaku pelanggaran HAM semasa bertugas di militer. Prabowo juga sangat dikenal luas dengan program food estate-nya yang gagal.
Ditambah lagi, paslon nomor 2 juga kerap kali mendapat sorotan berkaitan dengan kecurangan pemilu karena didukung Presiden dan kekuasaannya yang tuding oleh para pihak melakukan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan massif. Publik juga menilai KPU turut melegitimasi kecurangan demi kecurangan.
Salah satu peran serta KPU ialah menerima pendaftaran Prabowo-Gibran sebagai capres-cawapres di tengah KPU belum merevisi Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023. Dalam PKPU tersebut belum termaktub klausul pasal yang memuat bahwa ”capres dan cawapres berusia 40 dan pernah atau sedang menjabat kepala daerah”. Oleh karena itu, seharusnya paslon 2 tidak layak secara legal, etik, dan pantas berada di arena Pilpres 2024 yang suci itu.
Pendidikan politik
Berkaca dari uraian peristiwa-peristiwa tersebut, memang tidak semua anak muda buta politik. Ada gen Z yang cukup mengikuti isu-isu di atas. Namun, secara data terlihat, dari 50,4 persen gen Z dan 49,6 persen milenial hanya 16 persen yang mengikuti pendidikan politik. Namun, yang mencengangkan, 87,2 persen atau mayoritas mereka mau berpartisipasi dalam pencoblosan saat pemilu (Katadata, Oktober 2023).
Selaras dengan hal itu, pendidikan politik bagi pemilih gen Z tidak pernah alpa dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil, Bawaslu, KPU, dan lembaga terkait. Bahkan, dengan metode yang sangat mudah dicerna oleh kalangan anak muda kekinian, antara lain, cara Trio Netizen mengkritik MK lewat video reels yang tersebar di seluruh platform media sosial, Zillenial Fest oleh Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Festival Pemilu oleh Bijak Memilih, dan masih banyak lagi.
Inisiasi-inisiasi program pendidikan politik tersebut memang didesain untuk menyasar anak muda khususnya gen Z. Namun, hal-hal itu tidak cukup signifikan memengaruhi rasionalitas pemilih gen Z.
Baca juga: Menyelami Pola Pikir Gen Z dalam Memilih
Selanjutnya, pelaksanaan Konferensi Nasional Akademi Pemilu dan Demokrasi bertajuk ”Indonesia Memilih” turut memaparkan segala potensi kecurangan dan bagaimana cara berpartisipasi melakukan pemantauan hari pungut hitung pemilu untuk memitigasi terjadinya kecurangan pemilu. Hingga pada rilis sebuah film dokumenter Dirty Vote yang mendapat 20 juta penonton dalam satu minggu.
Sebelumnya, ada pula pengawalan serius seperti unjuk rasa di depan MK yang dilakukan anak muda Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) dan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) pada 23 Oktober 2023. Dan, sudah tentu banyak pula diskusi di kampus-kampus dan diskusi oleh kelompok masyarakat sipil tentang pendidikan politik dan diskursus di berbagai tempat terkait pelanggaran etik di MK yang ikut mewarnai proses tahapan pemilu. Namun, sepertinya upaya-upaya tersebut kurang cukup mempan mengubah sikap politik pemilih muda atau gen Z.
Dari hasil pelaksanaan Pemilu 2024, kita bisa menganggap bahwa gen Z kurang terpapar dengan pendidikan politik sehingga menyebabkan lemahnya critical thinking mereka. Hal itu disebabkan gen Z merupakan generasi yang tidak mengenal sejarah politik bangsanya, minimal mengenal bagaimana perjuangan aktivis 1998 menentang rezim otoriter Orde Baru.
Generasi ini hidup dalam alam pikir mereka sesuai dengan konteks peradaban hari ini sehingga cenderung tidak menggunakan referensi historis sebagai alasan mereka mempertimbangkan sikap untuk memilih calon presiden dan wakil presiden karena hal itu dianggap tidak relevan lagi.
Kita sadar bahwa diskursus politik itu membosankan, berat, elitis, dan kesannya tua. Maka, butuh treatment khusus untuk menyampaikannya terutama ke generasi muda. Pertama, sering mendiskusikan politik dengan pendekatan berbasis hobi karena budaya gen Z ingin hal-hal yang sederhana dan menarik, apalagi mereka lebih suka gim-gim, jadi contohnya tanya jawab soal politik dibuat dalam bentuk gim-gim.
Kedua, metode diskusi ringan sudah ada, tapi saat belum signifikan menyasar secara masif ke kelompok-kelompok gen Z. Seperti diskusi via Instagram, hal ini tampaknya belum mampu menggugah mereka, padahal anak muda disebut-sebut sebagai digital native.
Perlu juga dipikirkan ada video reels tentang pesan-pesan pendidikan politik yang lebih funny dan itu tidak hanya dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Bagaimana hal ini bisa masif tentu dengan melibatkan lebih banyak pihak dengan pola horizontal (ke semua jejaring level pusat) hingga vertikal (dari jejaring pusat hingga ke daerah-daerah).
Ketiga, membangun optimisme terhadap sesama pegiat pemilu, pegiat sosial, dan politik baik di lembaga formal maupun nonformal. Hal ini penting sebab pada dasarnya gen Z memiliki potensi yang luar biasa untuk menyerap dan berbuat hal-hal besar, tetapi perlu dilakukan treatment khusus.
Semua pihak, mulai dari pemerintah, partai politik, penyelenggara pemilu, kampus-kampus, organisasi masyarakat sipil, influencer, hingga tokoh publik, wajib gotong royong mendorong daya kritis gen Z agar bertumbuh.
Tulisan Bruce Tulgan dan Rainmaker Thinking yang berjudul Meet Generation Z: The Second Generation within The Giant Millenial Cohort membawa kita untuk memahami beberapa karakteristik utama dari gen Z. Di antaranya, masa depan gen Z tergambarkan di media sosial. Keberadaan media sosial membuat mereka mampu dengan mudah mengenal dunia. Hal ini terkait dengan karakteristik berikut, yaitu relasi gen Z dengan orang lain menjadi hal yang mutlak penting untuk terjadi.
Selanjutnya, kemudahan mereka untuk mengakses banyak orang dari berbagai belahan dunia membuat mereka mempunyai pola pikir global. Kemudian, pola pikir yang terbuka membuat gen Z mudah untuk menerima keragaman dan perbedaan pandangan. Terakhir, gen Z mengalami kesenjangan keterampilan. Maka, mereka perlu untuk mentransfer keterampilan diri dari generasi-generasi sebelumnya.
Dari uraian di atas kita harus melakukan evaluasi. Pemilu memang sudah usai, tetapi proses penghitungan suara masih berlangsung karena belum ada pengumuman secara resmi dari KPU. Setelah itu, kita akan menghadapi perselisihan hasil pemilu di MK. Kemudian, kita akan menentukan nasib daerah-daerah di Indonesia melalui penyelenggaraan pilkada. Lalu, bagaimana dengan gen Z, apakah mereka masih akan tetap dengan kondisi yang sekarang atau akan berbenah.
Masih ada sisa waktu menuju pilkada pada 27 November 2024. Semua pihak, mulai dari pemerintah, partai politik, penyelenggara pemilu, kampus-kampus, organisasi masyarakat sipil, influencer, hingga tokoh publik, wajib gotong royong mendorong daya kritis gen Z agar bertumbuh. Paling tidak dalam ruang waktu yang ada, para pihak tersebut harus mampu mendorong partisipasi kritis anak muda. Sebab, kalau kebiasaan buruk ini dibiarkan langgeng, bisa dipastikan demokrasi kita akan mati karena anak-anak mudanya buta politik.
Guslan Batalipu, Anggota Seknas Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)