Jalan Transformasi Kesejahteraan
Kelas menengah pembayar pajak utama, maka potensi gejolak politik akan selalu ada jika kepentingan mereka diabaikan.
Pascapandemi Covid-19, banyak negara di Asia Tenggara dengan cepat mengubah sistem kesejahteraan mereka dengan memperluas jaring pengaman sosial dan menjadikannya lebih ”murah hati” dibandingkan sebelumnya.
Gagasan kesejahteraan transformasionalis yang sempat berhasil diterapkan selama pandemi kini dihentikan. Ini pelajaran bahwa tidak semua krisis membuka jalan bagi perubahan permanen (Catles, 2010; Starke dkk, 2013; Hogan dkk, 2021) sebagaimana halnya pengalaman krisis 1998.
Ada pengamat politik yang menyebut pandemi hanya momentum yang mempercepat pelembagaan berbagai kebijakan sosial yang belum selesai.
Titik tekannya adalah bantuan sosial (bansos), yang secara hitung-hitungan politik lebih menguntungkan bagi banyak pemerintah kawasan. Pengamatan itu tak sepenuhnya keliru. Faktanya, periode 2022-2024, sejumlah negara di kawasan, termasuk Filipina, Malaysia, Thailand, Vietnam, Kamboja, Singapura, dan Indonesia, melaksanakan pemilu.
”Benevolent state” dan ”welfare state”
Sebagai sebuah wilayah dengan pengaruh kebudayaan feodal, kebijakan sosial didesain secara default dengan nalar benevolent state; negara yang baik hati; penuh kebajikan—demikian definisi normatifnya. Kembar tapi tak sama. Pendefinisian ini sekilas nyaru dengan negara kesejahteraan (welfare state).
Apabila pemerintahan benevolent state menggunakan kebijakan sosial sebagai instrumen politik untuk menjaga loyalitas terhadap pemerintah, sistem pemerintahan negara kesejahteraan bertindak sebaliknya: mendepolitisasi kebijakan sosial dengan menjadikannya sebagai hak sosial (social rights).
Kelas menengah merupakan pembayar pajak utama, yang kemudian termotivasi untuk berpartisipasi lebih aktif dan kritis dalam proses dan kebijakan politik.
Artinya, kontrak politik yang diperbarui melalui momen pemilu tidak sama dengan kontrak sosial yang menempatkan kewajiban negara sebagai penyedia layanan kesejahteraan sepanjang hayat (Esping-Andersen, 1990).
Ini mengandung makna ajaran tentang kedudukan negara yang seharusnya lebih tinggi dari figur politik, dan hak kesejahteraan yang melampaui kesetiaan pada rezim pemerintah. Jadi, berada dalam oposisi tidak akan menghalangi individu mengakses kebutuhan dasar.
Persoalannya, perkawinan silang antara demokrasi dan feodalisme di Asia Tenggara justru menghasilkan demokrasi yang melanggengkan praktik feodalisme itu sendiri. Terbukti dari banyaknya kebijakan sosial yang jauh dari berkembang karena terus jadi bancakan politisi dalam melanggengkan hubungan transaksionalnya dengan konstituen (Aspinall, 2014; London, 2018; Yuda, 2021).
Itu pula mengapa program bansos lebih disukai politisi. Penelitian menunjukkan, bansos masuk daftar skema paling efektif untuk memenangi kontestasi elektoral.
Sementara jenis kebijakan sosial dengan manfaat jangka panjang (seperti pensiun) dikonsentrasikan pada segmen tertentu yang mendewakan kemapanan. Mereka adalah PNS, kepolisian, dan tentara, yang jika diistimewakan akan memberi manfaat timbal balik bagi stabilitas rezim. Baru akhir-akhir ini pekerja perusahaan diikutsertakan karena ”unionisasi”-nya berpotensi mendestabilisasi status quo.
Kelas menengah terabaikan
Obsesi kuat untuk mengikat loyalitas masyarakat kelas bawah dan kelas atas melalui skema kesejahteraan negara mendorong tanpa sadar untuk kian meninggalkan populasi calon kelas menengah (aspiring middle-class).
Dalam definisi sempit, calon kelas menengah digambarkan sebagai tak miskin sehingga tak berhak menerima bantuan negara, tetapi juga tak cukup berada untuk bayar premi asuransi tiap bulan. Satu-satunya harapan untuk menyambung hidup dengan bekerja, berhemat, dan mengandalkan jaringan sosial.
Di Asia Tenggara, keberadaan calon kelas menengah tersebar merata di hampir semua negara. Sebagian besar bekerja di sektor informal, Kamboja (90,6 persen) paling tinggi, diikuti Laos (80,6 persen) dan Myanmar (62,1 persen).
Namun, dibandingkan kelompok miskin, jalan memutar bagi calon kelas menengah keluar dari kerentanan tak begitu panjang. Kebanyakan mereka sudah punya pekerjaan dengan pendapatan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan yang miskin, hanya saja tak punya kemampuan untuk menciptakan aset karena pendapatannya sama atau sedikit di bawah pengeluaran bulanan.
Memberikan dukungan kepada calon kelas menengah sama dengan menciptakan puluhan juta kelas menengah baru yang tangguh dan tahan terhadap guncangan ekonomi di masa depan. Namun, mengapa belum ada upaya serius pemerintah di kawasan ini untuk mengembangkan kebijakan yang berpihak kepada mereka?
Ada kemungkinan, alasan lain pengabaian kelompok ini juga bersifat politis. Pergolakan di Turki dan Brasil, Arab Spring pada 2011, dan protes yang sedang berlangsung di China selalu dikaitkan dengan kebangkitan kelas menengah baru. Sejarah revolusi politik yang lebih panjang di Eropa, 1-2 abad lalu, juga dilatarbelakangi hal yang sama.
Dalam definisi sempit, calon kelas menengah digambarkan sebagai tak miskin sehingga tak berhak menerima bantuan negara, tetapi juga tak cukup berada untuk bayar premi asuransi tiap bulan.
Kelas menengah merupakan pembayar pajak utama, yang kemudian termotivasi untuk berpartisipasi lebih aktif dan kritis dalam proses dan kebijakan politik. Karena itu, di mana pun kelas menengah bermunculan, potensi gejolak politik akan selalu ada jika kepentingan mereka diabaikan atau diremehkan oleh pemerintah. Ini situasi yang tak disukai pemerintahan yang kurang demokratis.
Meniti jalan transformasi
Jendela peluang transformasi kesejahteraan belum sepenuhnya tertutup. Masih ada waktu bagi sejumlah negara, khususnya Indonesia, Filipina, Kamboja, Myanmar, Laos, dan Timor Leste, untuk merekalibrasi sistem perlindungan sosial yang menjangkau lebih banyak kelompok masyarakat.
Jalan pertama, ”depolitisasi kesejahteraan”, yang berarti penyaluran perlindungan sosial harus didasarkan pada kalkulasi risiko daripada kalkulasi politik. Praksis menuju kebijakan yang sensitif terhadap risiko bisa belajar dari negara-negara kesejahteraan yang lebih maju, tetapi konten kebijakan tak harus sama.
Kita bisa memberikan prioritas pada risiko yang timbul dari perubahan iklim yang secara kasatmata berdampak langsung pada masyarakat dengan mata pencarian sebagian besar bergantung pada sumber daya alam. Di tingkat makro, perubahan iklim juga menimbulkan ancaman signifikan terhadap aktivitas makroekonomi yang menimbulkan ketidakpastian jangka panjang.
Di sinilah perlindungan sosial bagi pekerja informal di sekitar pertanian dan kelautan perlu menjadi arus utama baru, di samping populasi rentan lain. Misal, dengan menyesuaikan iuran premi yang fleksibel bagi individu sektor informal yang tidak memiliki jaminan jadwal penerimaan pendapatan.
Kedua, perlindungan sosial dalam rangka menepis risiko bonus demografi. Bonus demografi terjadi ketika populasi usia kerja tumbuh lebih cepat dibandingkan populasi tanggungan (anak-anak, warga lansia). Peluang ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, yang pada gilirannya dapat memberikan bancakan bagi calon kelas menengah untuk naik kelas.
Jika sedikit saja terlambat, bukan tak mungkin, ada banyak negara yang harus berada di situasi rentan akibat meningkatnya anggaran pensiun dan kesehatan manakala populasi produktif berangsur pensiun, sementara angka harapan hidup warga lansia semakin meningkat.
Secara bersamaan, populasi produktif yang pajaknya diandalkan sebagai penopang sistem kesejahteraan tak mampu memberi kontribusi cukup, sebab mereka berada dalam kerentanan ekonomi.
Dengan berinvestasi ”jangka panjang” pada kebijakan pasar tenaga kerja aktif (bansos disertai pendidikan dan pelatihan), dan menciptakan keterhubungannya dengan pekerjaan, suatu negara akan mendulang manfaat ekonomi karena memiliki populasi terampil.
Namun, ini saja tak cukup. Terlebih dengan menurunnya kapasitas perekonomian negara-negara ini dalam menciptakan lapangan kerja baru dan kualitas pekerjaan bergaji di atas layak. Secara paralel diperlukan strategi reindustrialisasi dan iklim ketenagakerjaan yang lebih fleksibel dan kompetitif.
Baca juga: Nasib Kelas Menengah RI, Minim Perhatian dari Pemerintah
Ini sekaligus menegaskan bahwa replikasi jalan negara kesejahteraan tak mungkin diterapkan di negara-negara yang tak produktif, di mana masyarakatnya kurang berorientasi pada pekerjaan. Tanpa produktivitas, tidak akan pernah ada negara kesejahteraan.
Jalan ketiga, mengambil peluang dari keterhubungan pasar-pasar global di kawasan. Selain isu keamanan yang terus jadi perhatian, terdapat pula peluang realistis yang dapat digapai untuk menciptakan peluang ekonomi tambahan bagi warganya. Di sini political will memainkan peran utama dalam mengarusutamakan isu domestik dalam poros regional.
Terlepas dari itu semua, transformasi kesejahteraan tidak dapat dicapai hanya berdasarkan preferensi elite. Diperlukan upaya yang lebih luas dalam pengorganisasian dan politik, yang melibatkan warga negara di semua tingkat pendapatan. Ini penting sebagai fondasi sosial agar pewacanaan dan dukungan untuk negara kesejahteraan tidak surut.
Tauchid Komara Yuda, Dosen di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM; Social Policy Research Fellow Lingnan University, Hong Kong