Prospek Semu Pasar Hidrogen
Pembangunan SPBU hidrogen harusnya memberikan harapan positif. Namun, ini belum diiringi pemetaan ekosistem hidrogen.
Kehadiran hydrogen refueling station (HRS) atau SPBU Hidrogen pertama di Indonesia (Kompas, 21/2/2024) seharusnya membawa nuansa positif: melengkapi ekosistem hidrogen serta memicu percepatan transisi energi di Tanah Air. Harapannya, jangkauan utilisasi hidrogen semakin luas. Memperkaya preferensi penggunaan bahan bakar bagi masyarakat.
Sekitar 1,75 juta ton konsumsi hidrogen pada 2023 masih berkutat di sektor industri. Jauh di bawah konsumsi global, yaitu 95 megaton (International Energy Agency, 2022).
Dibidik sebagai pembawa energi (energy carrier), hidrogen sejatinya baru dioptimalisasi secara bertahap mulai tahun 2031. Puncaknya, sebanyak 5-10 persen hidrogen atau 52,5 juta barel minyak atau setara 89 terra Watt hour (TWh) dimanfaatkan untuk sektor transportasi pada 2060. Meski terkendala besarnya biaya produksi, hasil pemodelan pemerintah mengungkapkan efisiensi biaya produksi ini tiga kali lipat dibandingkan pada awal pengembangan.
Baca juga: SPBU Hidrogen Percontohan Diresmikan, Bus Hidrogen Segera Meluncur
Tentu, keberadaan infrastruktur hidrogen jadi penyegar bagi arah pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT). Aksi nekat korporasi ini malahan melangkahi proyeksi peta jalan (roadmap) Netral Karbon Indonesia pada 2060. PT Pertamina (persero) dan PT PLN (persero) berani adu tangkas menggarap program dekarbonisasi. Keduanya saling klaim sebagai inisiator pembangunan pompa hidrogen pertama untuk sektor transportasi.
Langkah besar entitas tesebut tak lepas dari keistimewaan hidrogen. Selain nol emisi, daya waktu pengisian begitu singkat: cukup tiga menit. Rerata jarak tempuh kendaraan sanggup sejauh 780-800 kilometer. Lebih kompetitif dibanding harga BBM.
Sumber produksi pun mudah diperoleh. Excess power dari operasinal kilang gas, pembangkitan panas bumi, dan tenaga surya disulap Pertamina menjadi ladang hidrogen baru. Sementara PLN mengandalkan 22 unit green hydrogen plant (GHP) dengan kapabilitas produksi 203 ton per tahun.
Ekosistem hidrogen global
Di banyak negara, upaya menekan karbon emisi melalui hidrogen tak terhindarkan. Jepang mengawali ambisinya mengeksekusi pengembangan hidrogen sejak 2017 setelah lahirnya Kesepakatan Paris. Tahun lalu, mereka sanggup menggelontorkan dana investasi 15 triliun yen atau 107,5 miliar dollar AS selama 15 tahun. Tak cukup di situ, ”Negeri Sakura” tersebut kian mendongkrak target pemanfaatan hidrogen jadi 12 juta ton per tahun pada 2040.
Australia bahkan berani mematok angka biaya produksi di bawah 2 dollar Australia per kilogram. Sementara Amerika Serikat mencanangkan beroperasinya tujuh pusat hidrogen bersih regional (H2Hubs). Hasilnya, harga hidrogen hijau di negara ”Paman Sam” jadi paling murah di dunia, yakni sekitar 6 dollar AS per kg. Lain halnya Uni Eropa, mereka menempatkan skala prioritasnya dengan merintis Bank Hidrogen sebagai instrumen pembiayaan. Selain itu, ada pula aturan setiap 200 kilometer ruas jalan utama akan tersedia SPBU hidrogen.
Kondisi di Asia tak kalah beda. India menerbitkan skema Strategic Interventions for Green Hydrogen Transition (SIGHT) demi menekan impor bahan bakar fosil impor kumulatif senilai 12,03 miliar dollar AS pada 2030. Jauh aplikatif lagi, lebih dari 300 SPBU hidrogen sudah beroperasi di China hingga tahun 2023. Ini menjadikan China sebagai negara paling agresif dalam pengembangan hidrogen dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Langkah pengembangan hidrogen yang tersusun semestinya beriringan dengan impian mengikis emisi karbon dan melepas ketergantungan dari bahan bakar fosil secara perlahan.
Di Indonesia, pemerintah telah membukukan secara apik pengembangan hidrogen pada Strategi Hidrogen Nasional yang dirilis akhir 2023. Gagasan ini membuka peluang terciptanya ekonomi hidrogen melalui koridor hijau.
Langkah pengembangan hidrogen yang tersusun semestinya beriringan dengan impian mengikis emisi karbon dan melepas ketergantungan dari bahan bakar fosil secara perlahan. Ancang-ancang ini bisa dituangkan dengan menjaring pasar domestik. Syukur-syukur mampu memperdagangkan ke negara lain.
Dari sisi produksi, hidrogen (H2) sangat menjanjikan. EBT Indonesia menyimpan total potensi hingga 3.289 megawatt (mw). Belum disuplai dari cadangan gas bumi terbukti 41,62 triliun kaki kubik (TCF). Sungguh angka fantastik.
Riset Badan Geologi Kementerian ESDM ikut menambah kekayaan kapasitas hidrogen. Kondisi geologi Indonesia memungkinkan terbentuknya hidrogen alami. Simpulan awal ini didapat dari hasil survei yang dilakukan di Sulwesi Tengah. Meski demikian, masih perlu riset lanjutan.
Minim pemetaan
Di balik sederat manfaat hidrogen, ada banyak menyisahkan ragam persoalan. Alih-alih mentransformasi cakupan bisnis lebih hijau demi tuntutan global, badan usaha ataupun pemerintah kerap luput mempertimbangkan aspek lain.
Pertama, memastikan tingkat permintaan di level end user. Selain produksi hidrogen yang belum pasti, rendahnya pengguna hidrogen bisa membuat keberadaan infrastruktur jadi using sehingga sisi supply-demand tidak memiliki kepastian.
Belum adanya desain khusus kendaraan hidrogen bisa merepotkan. Tak satu pun pabrikan otomotif bertenaga fuel cell electric vehicle (FCEH) terjun mengaspal di Indonesia. Ini jadi kabar buruk. Ditambah lagi, penjualan mobil hidrogen secara global ikut jeblok.
Data SNE Research, lembaga riset asal Korea Selatan, menyebutkan pasar penjualan mobil merosot hingga 30,2 persen pada 2023. Kesenjangan antara biaya produksi dan kesediaan pembeli membayar untuk alternatif energi bersih jadi hambatan tersendiri.
Pengoperasian SPBU hidrogen belum memiliki payung regulasi. Perlu ada kerangka aturan main secara komperhensif terkait mekanisme pembelian dan penjualan.
Kita patut khawatir. Kondisi ini mengingatkan pada mangkraknya stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) di beberapa wilayah lantaran minim pengguna. Pembangunannya terbilang burem. Realisasi tak sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Tercatat, dari target 632 SPBG pada 2025 baru terbangun 57 SPBG hingga pertengahan 2022.
Sementara itu, kendaraan listrik pun belum dieksekusi secara maksimal. Dukungan kelayakan infrastruktur dan kemampuan engine ditengarahi jadi keengganan masyarakat beralih. Uraian ini memperlihatkan secara jelas belum terbentuknya pasar energi bersih. Produksi dan kebutuhan tidak mencapai titik keseimbangan.
Kedua, pengoperasian SPBU hidrogen belum memiliki payung regulasi. Perlu ada kerangka aturan main secara komprehensif terkait mekanisme pembelian dan penjualan. Pemerintah harus memikirkan formula stimulus (insentif dan subsidi) baik bagi investor maupun konsumen sebagai barang baru. Jika hal ini diabaikan, iklim investasi hidrogen tak akan membaik sehingga menghambat percepatan pembangunan hidrogen.
Baca juga: Hidrogen, Energi Masa Depan yang Sudah di Depan Mata
Ketiga, kesiapan infrastruktur dan teknologi hidrogen. Investasi tangki penyimpanan gas cair yang terkompresi (hydrogen energy storage) mesti dihitung secara matang. Kendati mudah disimpan, pendistribusian menuju stasiun pengisian juga butuh kehati-hatian. Hidrogen punya tekanan tinggi dan mudah terbakar.
Faktor keselamatan perlu dikalkulasi agar apabila terjadi kebocoran, jangan sampai merugikan konsumen dan akhirnya ditinggalkan. Untuk itu, penyusunan prosedur dan standardisasi hidrogen, termasuk syarat-syarat pengelolaan keamanan dan lingkungan (HSE), tak boleh diabaikan.
Memang, membangun transisi energi bersih perlu kebijakan yang persisten. Apabila pasar hidrogen domestik berkembang pesat dan pilar strategi di atas berjalan mulus, ambisi pemerintah mengejar target bauran EBT bukan hal mustahil. Terlebih, masih seretnya realisasi bauran EBT dari target 2025 sebesar 23 persen.
Namun, mesti diingat, model pembangunan ekonomi hijau adalah tuntunan global. Pemerintah mesti mulai tegas memetakan jenis kebutuhan energi apa yang pas dengan kondisi kekinian masyarakat Indonesia.
Naufal Azizi, Analis Kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Instagram: naufalazyz