Dengan masuk ke dunia anak-anak melalui gim daring, predator seksual lebih mudah mendekati dan memanipulasi korbannya.
Oleh
REDAKSI
·1 menit baca
Koneksi daring meningkatkan kerentanan anak-anak sebagai korban kejahatan melalui internet, termasuk eksploitasi seksual. Kasus ini cenderung meningkat.
Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) menunjukkan, kenaikan kasus terjadi sejak 2019. Hasil beberapa penelitian, asesmen, dan survei yang dilakukan ECPAT Indonesia pada 2020-2022 pun menemukan ada peningkatan kasus eksploitasi seksual anak di ranah daring (ECPAT Indonesia, 2023).
Dalam penelitian Disrupting Harm tahun 2022, misalnya, ditemukan 2 persen anak (12-17 tahun) pengguna internet di Indonesia merupakan korban kasus-kasus serius eksploitasi dan pelecehan seksual secara daring. Penelitian ECPAT Indonesia bersama Aliansi Down to Zero pada 2020 menemukan, tiga dari 10 responden anak mengalami kejahatan dalam bentuk eksploitasi seksual di ranah daring.
Modusnya bermacam-macam, mulai dari penawaran uang (pekerjaan), pemerasan (sextortion), sexting, hingga child grooming seperti pada kasus eksploitasi seksual jaringan internasional dengan korban delapan anak yang terungkap baru- baru ini (Kompas, 27/2/2024). Dalam child grooming, pelaku menggunakan teknologi berbasis internet untuk menemukan dan berinteraksi dengan calon korbannya.
Dengan masuk ke dunia anak-anak melalui gim daring, para predator seksual lebih mudah mendekati dan memanipulasi (grooming) korbannya. Karena itu, bisa dipahami jika anak- anak yang menjadi korban tidak menyadari bahwa mereka dieksploitasi. Apalagi, pelaku menawarkan uang dan juga barang untuk membujuk anak-anak tersebut.
Hal seperti itu semakin mudah menimpa anak-anak. Meski ranah daring sudah menjadi dunia anak-anak di era digital ini, sebagian besar mereka tidak tahu cara berinternet aman. Baseline Survey Online Child Sexual Exploitation and Abuse ( OCSEA) terhadap 512 anak oleh ECPAT Indonesia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Unicef pada 2023 menunjukkan hanya sekitar 37,7 persen anak yang tahu cara berinternet aman.
Ini menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi kita semua karena ranah daring sudah menjadi arena bermain anak-anak. Memang seharusnya keluarga menjadi benteng pertama dan utama untuk melindungi anak, termasuk dari kejahatan di ranah daring. Namun, pengetahuan literasi digital di masyarakat secara umum juga masih rendah.
Karena itu, selain sosialisasi soal bahaya yang mengancam anak di balik perkembangan teknologi dan internet, perlu regulasi soal ini. Rancangan Peraturan Peta Jalan Perlindungan Anak di Ranah Daring yang tengah disusun KPPA, ECPAT Indonesia, Indonesia Child Online Protection (ID-COP), dan Unicef menjadi langkah awal.
Namun, lebih dari itu, perlu ada regulasi untuk mengatur perusahaan gim daring agar memberikan perlindungan bagi anak-anak terhadap eksploitasi seksual. Peraturan yang ada belum melindungi anak-anak di ranah daring.