Tengkes dan ”Food Taboo”
Perlu intervensi enkulturasi nilai kesehatan dan konsensus negara terhadap masyarakat dalam menjinakkan ”food taboo”.
Indonesia secara sistematis berupaya keras menurunkan angka tengkes (stunting) dengan pendekatan termutakhir, yakni intervensi gizi sensitif dan intervensi gizi spesifik. Namun, yang selalu tak diseriusi adalah aspek budaya, sementara budaya adalah konstruksi perilaku kesehatan dan promosi kesehatan.
Akibatnya, secara global, berdasarkan data Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), angka prevalensi tengkes Indonesia menempati urutan tertinggi ke-27 dari 154 negara yang memiliki data tengkes. Ini menjadikan Indonesia berada di urutan ke-5 di antara negara-negara di Asia, dan Indonesia di urutan tertinggi kedua prevalensi tengkes di Asia Tenggara pada 2020.
Secara sederhana, ilmu gizi adalah hubungan antara makanan dan kebiasaan makan oleh seseorang, keluarga, dan kelompok etnik masyarakat. Secara sains, mengonsumsi zat gizi sangat penting untuk kebutuhan energi protein dan karbohidrat dari sumber nabati dan hewani, tetapi kerap dihambat oleh budaya tabu di hampir seluruh dunia, akrab dinamakan food taboo, suatu pantangan makanan terutama pada ibu hamil, mengakibatkan minimnya asupan zat gizi (malnutrisi).
Food taboo adalah tradisi dunia dengan modal kepercayaan dan keyakinan, kadang dibalut mitos dan bersifat khayal belaka (takhayul) bahwa makanan tertentu dapat mengakibatkan malapetaka saat ibu melahirkan. Apabila seseorang pantang makanan atau minuman tertentu karena memang tak suka, itu bukan tabu. Namun, terminologi tabu juga hadir didasarkan dan disandarkan kepada historiografi, yaitu rekam jejak sejarah panjang manusia sesuai kultur etnik dan empirik suatu masyarakat.
Baca juga: Warisan Kolonial di Balik Peminggiran Budaya Pangan Lokal
Aspek inilah, sebagai salah satu penyebab tengkes pada anak dengan ciri kerdil (tidak dapat tumbuh menjadi besar), kecil (jika dibandingkan dengan tumbuh-kembang umur sebayanya). Menurut WHO, jika tengkes tidak ditangani pada saat ini, pada tahun 2025 akan ada 127 juta bayi di seluruh dunia mengalami tengkes, dan 197 juta anak di bawah usia lima tahun (balita) diperkirakan mengalami pertumbuhan terhambat karena tengkes.
GM Foster (1973) yang dikuatkan Nico S Kalangie (1994) menyatakan bahwa dalam upaya perbaikan gizi, di suatu daerah tertentu menolak untuk makan daun singkong walaupun mereka tahu kandungan vitaminnya tinggi. Setelah diselidiki, ternyata masyarakat beranggapan daun singkong hanya layak untuk makanan kambing dan mereka menolaknya karena status mereka tidak dapat disetarakan dengan hewan.
Masyarakat memandang lebih bergengsi beras putih daripada beras merah, padahal mereka mengetahui bahwa kandungan vitamin B-1 lebih tinggi pada beras merah daripada beras putih. Hal ini berhubungan erat dengan nilai (values) sebagai unsur budaya. Makanan dapat dimakan (eatable/edible) oleh seseorang, keluarga atau masyarakat, atau tak dapat dimakan (inedible) dikarenakan magic budaya.
Endapan kabut sejarah
Dalam kajian antropologi, mengesankan bahwa budaya atau kebudayaan adalah cermin dari kehidupan, potret dari dinamika masyarakat dan paradigmanya dengan penekanan kepada pemaknaan-pemaknaan akan setiap dinamika kehidupan dalam masyarakat. Berkumpul dan berinteraksi adalah proses sosiologis, tetapi saat dipertanyakan apa dan bagaimana orang-orang tersebut berbicara, bersikap dan berperilaku pada perkumpulan tersebut, itulah kebudayaan (Munsi Lampe, 2021).
Proses sosiologis dan pemaknaan-pemaknaan itu melahirkan ilustrasi kebudayaan dalam bentuk etnografi hubungannya dengan food taboo. Misalnya, pantangan mengonsumsi daging sapi di India dengan argumentasi ilmiah bahwa sapi dibiarkan berkeliaran di kota-kota atau area bebas sapi oleh karena setiap tinja sapi mengandung pupuk alami untuk kesuburan tanah.
Di Indonesia, pantangan makan telur bagi ibu hamil oleh rawannya pencurian telur, anjuran mengonsumsi hanya ikan kecil-kecil oleh siasat pengusaha ekspor ikan besar. Demikian juga kendala menanam pisang di halaman rumah untuk konsumsi pribadi/keluarga karena benturan dengan usaha jual-beli pisang di pasar tradisional. Adapun larangan makan udang untuk ibu hamil diyakini dapat menyebabkan anak lahir bungkuk.
Di beberapa daerah, deretan pantangan mengonsumsi zat protein dan zat karbohidrat untuk ibu hamil. Semua ada alasannya di balik food taboo, dan sangat relevan dengan sistem budaya.
Gambaran budaya food taboo ini, ada yang rasional, tetapi ada pula yang tak rasional. Bahkan dapat dikatakan antisains! Kehamilan bagi perempuan memanglah hal spektakuler dan sakral. Namun, selalu diiringi pembatasan makanan bagi ibu hamil dengan alasan keselamatan ibu dan janin walau itu hanya sebuah pantangan makan yang bersifat fiksi, imajinatif, dan ilutif.
Di beberapa daerah, deretan pantangan mengonsumsi zat protein dan zat karbohidrat untuk ibu hamil. Semua ada alasannya di balik food taboo, dan sangat relevan dengan sistem budaya. Para ”cendekiawan adat” kerap memiliki tujuan untuk menghindari eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran.
Penulis meyakini bahwa kisah-kisah etnografi serupa, tetapi tak sama ini banyak terjadi di Indonesia yang masih ditutupi oleh endapan kabut sejarah, dan menjadi dimensi sosial budaya yang berpengaruh kepada tengkes. Di setiap budaya masyarakat selalu ada teori kuasa yang ikut bermain dalam mengeksploitasi masyarakat (ibu hamil dan remaja putri/calon ibu hamil), baik secara langsung maupun terselubung.
Tugas budaya adalah menelisik dan menguak tabir—dalam rentang waktu studi longitudinal—di balik wujud perilaku food taboo dengan tetap mengutamakan aspek etika/estetika sebagai salah satu fondasi utama dalam budaya.
Solusi budaya
Ali Khomsan dengan surat pembaca (Kompas, 31/1/2024) menuliskan, target penurunan problem tengkes telah ditetapkan pemerintah, yaitu 14 persen pada 2024. Sementara Survei Status Gizi Indonesia (2022) mendapatkan prevalensi tengkes 21,6 persen, jadi perlu upaya extraordinary untuk penanganan tengkes.
Kita semua menunggu dengan harap-harap cemas untuk mengetahui prevalensi (besaran) tengkes hasil Survei Kesehatan Indonesia (2023), apakah bisa mendekati angka 14 persen dan kapan data ini akan diumumkan? Sebagian pemerintah daerah telah melakukan intervensi pemberian makanan tambahan untuk anak balita tengkes dengan melibatkan industri, tim penggerak PKK, dan masyarakat.
Apa yang dituliskan Ali Khomsan adalah hal baik dan positif dengan telah dilakukannya pendekatan fisikal (materi), dan juga pelibatan industri serta masyarakat. Perlu dioperasionalkan dalam industri kesehatan dan kehidupan sehari-hari masyarakat (folkways) dalam format budaya.
Apa yang ditimbulkan secara negatif untuk kesehatan masyarakat oleh budaya dapat diselesaikan dengan budaya pula sehingga antropologi kesehatan sepaket masalah dengan solusinya. Sekalipun, seorang antropolog klasik, Edward Bernard Tylor, menjelaskan bahwa relativitas budaya selalu hadir dalam masyarakat.
Baca juga: Tengkes dan Obsesi Indonesia Emas 2045
Singkatnya, relativitas budaya adalah baik untuk masyarakat tertentu, tetapi buruk bagi masyarakat lainnya. Hal ini dapat dibuatkan skema dan pemetaan budaya secara detail agar tidak terjadi benturan budaya (clash of culture) di antara kelompok-kelompok masyarakat, khususnya penanganan kultural terhadap food taboo.
Kurang efisien dan tak efektif jika kita hanya optimal bernarasi populer bahwa cara menyelesaikan tengkes dengan bertumpu kepada budaya lokal di setiap pulau atau daerah. Butuh keseriusan negara untuk mencermati secara saksama tentang paradigma budaya food taboo dari Sabang sampai Merauke yang mengakibatkan lahirnya anak-anak tengkes yang lemah aspek jasmani, kognitif, dan mental.
Solusinya, diperlukan intervensi enkulturasi akan nilai kesehatan dan konsensus negara terhadap masyarakat dalam advokasi menjinakkan food taboo melalui keluarga inti (nuclear family). Keluarga inti adalah agen tunggal dalam konsep perubahan perilaku kesehatan sebagai solusi primer untuk tengkes.
Solusi budaya kesehatan bukan hanya soal mengantar program reguler semata ke masyarakat dalam rupa top-down seperti makanan pendamping ASI (MP-ASI), upaya tanam pisang sekampung, dan panduan isi piringku. Namun, lebih dari itu, yakni hadirnya hakikat bottom-up approach, sebagai rekayasa sosial dan antropologi tengkes, untuk memberikan hak kesehatan masyarakat seluas-luasnya kepada ibu hamil guna melahirkan anak-anak normal, maju, dan hebat untuk visi dan misi Generasi Emas 2045. Sebuah cita-cita mulia nan agung guna menyiapkan para generasi muda Indonesia dalam kualitas hidup yang tinggi, berkompeten, dan berdaya kompetisi high level di kancah internasional.
Muhammad Arsyad Rahman, Doktor Antropologi FISIP Unhas dan Dosen FKM Unhas Makassar.