Peradaban Akademik Universitas
Kecil kemungkinan sistem persekolahan universitas menghindarkan diri dari arus neoliberalisme dalam alam hiperinovatif.
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, dalam sebuah diskusi tentang masa depan pendidikan nasional di forum ISPI (2021), mengingatkan kita bahwa perubahan-perubahan pendidikan tidak boleh kehilangan roh utamanya, yakni education values.
Peringatan itu membersitkan pesan kekhawatiran terhadap kecenderungan perubahan praksis universitas kita belakangan ini yang dalam banyak hal terjebak pragmatisme, memenuhi keuntungan jangka pendek, dan sering kali dipautkan dengan kebutuhan lapangan kerja (baca: korporasi).
Memang tidak ada yang salah dengan pragmatisme, tetapi memarjinalkan kebutuhan untuk mempertahankan peran pendidikan demi pembangunan budaya manusia yang berkelanjutan adalah pertanda ”kecelakaan” peradaban akademik masa depan.
Ketidakseimbangan lanskap akademik ini setidaknya ditandai oleh makin luas dan kuatnya gejala yang ditengarai reduksionistik dalam gagasan universitas, dari education values ke training values. Universitas mengalami pelemahan sifat rekursifnya bahwa apa yang dipelajari hari ini akan menentukan keberhasilan kelak kemudian.
Belajar berbasis kehidupan kita dudukkan di sini sebagai arus utama belajar di universitas.
Kurikulum cenderung mereduksi keutuhan korpus pengetahuan (body of knowledge) yang menjadi fondasi belajar berkelanjutan, antara lain karena konversi belajar yang kurang selaras dengan korpus pengetahuan. Kecakapan yang dianggap tak langsung bisa dipakai tak diajarkan demi ketaatan pada asas efektivitas dan efisiensi serta relevansi dengan dunia praktis. Nilai-nilai kemanusiaan dihadapkan pada manfaat teknologi.
Sementara itu, lanskap sosial dan budaya peradaban akademik yang berkembang kurang memiliki mekanisme yang efektif untuk menjamin kemajuan peradaban akademik berlangsung secara humanistik. Akibatnya, yang banyak kita saksikan sekarang, aspek asketisisme intelektual tak cukup mendapat sentuhan di dalam lanskap akademik universitas.
Dualisme gagasan
Universitas dalam menjalankan tugas zaman sedang dihadapkan dalam, atau mengalami, ketegangan tujuan.
Di satu sisi, tugas dan fungsi dasar universitas adalah membangun kesejahteraan sosial, yaitu mahasiswa dan pendidik mewujudkan etos tanggung jawab terhadap masa depan umat manusia dan memberikan kemajuan peradaban dengan cara yang humanistik.
Membangun kesejahteraan sosial juga berarti mengedepankan peran transformasi mendalam orientasi pandangan dunia kepribadian, yang mengejawantah dalam ekosistem yang menghargai nilai-nilai moral, integritas, dan sikap asketis.
Di sisi lain, universitas mengemban tanggung jawab untuk menghasilkan pekerja profesional dengan membuat sistem persekolahan di universitas lebih relevan dengan kebutuhan pasar kerja dan kebutuhan pembangunan ekonomi. Dualisme gagasan ini mengendap ke dalam napas kehidupan dan kesadaran akademik universitas kita sekarang.
Universitas yang menjelma menjadi institusi ”layanan pendidikan” yang menyokong kebutuhan pasar sesungguhnya merupakan bentuk ”sukses” pragmatis integrasi neoliberalisme dalam sistem pendidikan. Dualisme gagasan universitas ini tidak bisa dinafikan begitu saja dan ”ketegangan tujuan” ini akan terus mewarnai peradaban akademik universitas kita ke depan.
Di tengah dunia yang makin terintegrasi dan runtuhnya batas-batas geografis, geososial, geopolitik, dan geokultural, kita menemukan kemerdekaan dan demokrasi pengetahuan yang didukung oleh lanskap belajar tanpa batas.
Konvergensi ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu membiakkan ”disiplin keilmuan”, bahkan profesi baru berlangsung tidak saja dalam ruang-ruang institusional, tetapi juga personal karena dorongan manusiawi untuk menggunakan hak-hak politik dan sosialnya dalam kompetisi kehidupan mereka.
Lanskap sosial dan budaya yang digerakkan oleh kekuatan demokrasi ilmu pengetahuan ini akan menyuburkan tumbuhnya masyarakat terbuka di alam materialisme, responsif terhadap perubahan, dan hidup di alam hiperinovatif. Bahkan, kemungkinan akan disertai tumbuhnya watak keserakahan dan pengabaian virtue yang merajalela atas nama hak politik dan sosial manusia.
Dalam tulisan Roman Oleksenko dkk (2021), fenomena ini digambarkan sebagai dunia kita menjadi semakin pragmatis. Aktivitas kompetitif menjadi instrumen umum untuk mencapai posisi sukses di bidang aktivitas apa pun.
Universitas mengalami pelemahan sifat rekursifnya bahwa apa yang dipelajari hari ini akan menentukan keberhasilan kelak kemudian.
Universitas sebagai bagian dari perubahan global mewakili kasus menarik di mana pendekatan neoliberal menunjukkan sifat kontradiktif dengan kebutuhan untuk mempertahankan peran pendidikan demi pembangunan peradaban akademik universitas.
Gagasan dasar universitas membangun dan mempertahankan tradisi keadaban akademik yang bersumbu pada spiritualitas dan humanitas dapat membantu mahasiswa mengembangkan pemahaman diri, empati, asketisisme intelektual, serta keseimbangan hidup.
Peradaban akademik dibangun di atas asas proses pendidikan yang memuliakan manusia, bermartabat, layak, dan berkelanjutan.
Oleh karena itu, secara teleologis-visioner, praksis pembelajaran perlu diletakkan pada aras mencerdaskan kehidupan manusiawi, yaitu dalam hubungan usaha memerdekakan, mengolah, memberdayakan, mengembangkan, dan atau menyadarkan potensi-potensi, karakter-karakter, serta talenta-talenta pokok yang menjadikan subyek didik menjadi pribadi yang utuh.
Semua ini adalah upaya menciptakan ”rem” terhadap watak keserakahan dan pengabaian virtue di alam kehidupan korporatif yang serba kompetitif dan bertumpu pada pasar, dengan universitas telah menjadi bagian dari kehidupan di dalamnya.
Berbasis kehidupan
Transformasi dua gagasan peradaban akademik yang menimbulkan ketegangan internal itu ke dalam satu bingkai peradaban akademik universitas yang selaras adalah keniscayaan ke depan.
Kecil kemungkinan sistem persekolahan universitas menghindarkan diri dari arus neoliberalisme yang berkelindan dalam alam hiperinovatif. Diakui atau tidak, privatisasi perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi perguruan tinggi negeri badan hukum (PTN BH) adalah bentuk paling nyata integrasi neoliberalisme ke dalam pendidikan tinggi kita.
Meski jelas inti peradaban akademik universitas untuk memberikan efek transformasi ke arah masyarakat yang lebih rasional dan demokratis, mandiri dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan berkepribadian dalam budaya, universitas juga harus mencetak pekerja-pekerja profesional untuk memenuhi kebutuhan dunia korporatif.
Karena hakikat pendidikan adalah menumbuhkembangkan benih-benih keunggulan manusia menjadi pribadi-pribadi yang utuh, lahan subur tempat tumbuh kembangnya benih-benih keunggulan manusia tersebut tidak lain adalah kehidupan.
Paradigma belajar berbasis kehidupan menjelma menjadi seperangkat gagasan mental tentang belajar yang perlu diejawantahkan ke dalam praksis pendidikan universitas. Gagasan mental ini bersumber pada keyakinan bahwa kehidupan terbaik di muka bumi adalah kehidupan yang bersumbu pada spiritualitas inklusif dan humanitas.
Kecil kemungkinan sistem persekolahan universitas menghindarkan diri dari arus neoliberalisme yang berkelindan dalam alam hiperinovatif.
Kalau gagasan mental ini kita sebut sebagai soft mind (kesadaran inti universitas), dimensi kedua peradaban akademik berimplikasi dalam praktik kurikuler. Belajar berbasis kehidupan kita dudukkan di sini sebagai arus utama belajar di universitas.
Dengan demikian, universitas dalam menjalankan tugas zaman tidak terlepas dari konteks peradaban teknologi dan ilmu pengetahuan untuk mencapai kesejahteraan sosial manusia. Hal ini mengandung makna bahwa universitas bukan pengemban ”layanan pendidikan” sebagaimana institusi kewirausahaan, melainkan lebih sebagai pengemban tugas peradaban.
Setiap transformasi peradaban selalu diawali oleh ide-ide besar dan ide besar umumnya lahir dari orang dan atau komunitas yang memiliki integritas. Ekosistem kehidupan yang menghargai nilai-nilai moral memungkinkan seseorang dan atau komunitas berpikir serta bertindak melampaui kepentingan diri dan atau golongannya.
Dalam konteks itu pulalah membangun nilai-nilai kemanusiaan yang inklusif menjadi suatu keniscayaan guna tumbuh kembangnya meritokrasi. Melalui sistem meritokrasi yang hidup dalam napas peradaban akademik universitas, akan besar potensi munculnya ide dan inovasi yang genuine dan menjadi daya dorong transformasi peradaban akademik universitas.
Baca juga: Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi
Waras Kamdi,Guru Besar Universitas Negeri Malang