Memperbesar pasokan gas bumi adalah langkah tepat transisi energi. Namun, infrastruktur gas bumi masih terbatas.
Oleh
HANAN NUGROHO
·4 menit baca
Indonesia harus mempercepat pemanfaatan gas bumi bukan saja karena gas bumi murah, pembakarannya efisien dan bersih dibandingkan dengan energi fosil lainnya (minyak bumi, batubara), tetapi juga karena gas bumi strategis sebagai tambahan pasokan energi sekaligus untuk mengurangi laju pertumbuhan emisi karbon. Memperbesar pasokan gas bumi adalah langkah tepat transisi energi sebelum energi terbarukan digunakan masif.
Cadangan gas bumi Indonesia banyak, tetapi pemanfaatannya di dalam negeri masih sedikit. Salah satu kendalanya adalah terbatasnya infrastruktur untuk menghubungkan lokasi-lokasi di mana gas bumi diproduksi dengan permintaannya yang terus berkembang.
Sekitar lima dekade, pembangunan infrastruktur gas bumi di Tanah Air lebih ditujukan untuk mendukung ekspor. Pabrik pencairan gas bumi (LNG) dibangun di Bontang, Kalimantan Timur, mulai beroperasi pada 1977 dengan tujuan ekspor Jepang, berlanjut ke Korea Selatan dan Taiwan. Pabrik-pabrik serupa kemudian dibangun di Arun (Aceh), Tangguh (Papua), dan Donggi-Senoro (Sulawesi Tengah).
Ekspor LNG Indonesia telah menjadikan Asia Timur kawasan perdagangan gas bumi cair terbesar di dunia, menyumbangkan energi untuk menumbuhkan ekonomi negara-negara industri Asia Timur. Indonesia juga mengekspor gas bumi melalui pipa ke Singapura dari lapangan-lapangan di Sumatera dan laut Natuna.
Berpindah orientasi ke domestik
Dapat dipahami bahwa orientasi ekspor gas bumi dahulu ditempuh karena di dalam negeri (terutama Jawa) langka kegiatan yang membutuhkan energi skala besar. Di sisi lain, permintaan gas bumi dari negara-negara pengimpor sangat besar sehingga proyek infrastruktur untuk membawa gas bumi ke sana, seperti rantai industri LNG atau pipa bawah laut yang mahal, dapat dijustifikasi.
Situasi saat ini telah berbeda dan akan lebih berbeda ke depan. Permintaan energi di berbagai wilayah di Tanah Air terus membesar, sementara peran gas bumi yang dapat menjadi alternatif pemenuhan kebutuhan energi itu belum banyak dikembangkan.
Hingga kini, kebutuhan bahan bakar untuk pembangkitan listrik, di mana gas bumi merupakan sumber yang baik, terpaksa diisi dengan batubara yang tidak ramah lingkungan atau minyak solar yang mahal. Mengirimkan batubara ataupun minyak solar ke depan mulut pembangkit listrik atau kawasan industri memang lebih mudah karena tidak mensyaratkan adanya infrastruktur yang harus dibangun khusus sebagaimana halnya gas bumi. Rumah tangga kini menggunakan LPG (liquefied petroleum gas) yang sebagian besar diimpor dan lebih mahal dibandingkan apabila gas bumi yang kita punyai dapat dimanfaatkan lebih banyak.
Gas bumi adalah jawaban bagi kebutuhan tambahan energi untuk industrialisasi, yang pada saat yang sama hanya akan menghasilkan emisi lebih sedikit.
Batubara telah menjadi energi yang paling banyak dibakar di Tanah Air, menjadi sumber emisi karbon terbesar walaupun lebih terkonsentrasi di Jawa. Ini tidak sehat.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) menuju Indonesia Emas 2045 mencanangkan pertumbuhan ekonomi cukup tinggi dengan industrialisasi sebagai motornya. Dokumen yang sama juga mencanangkan agar laju emisi karbon menurun.
Gas bumi adalah jawaban bagi kebutuhan tambahan energi untuk industrialisasi, yang pada saat yang sama hanya akan menghasilkan emisi lebih sedikit. Pembangunan infrastruktur untuk mendukung pemanfaatan gas bumi di dalam negeri harus dipercepat.
Infrastruktur gas bumi kini
Infastruktur gas bumi terbangun kita paling banyak terdapat di Sumatera. Setelah berhenti beroperasi pada 2014, kilang LNG Arun telah diubah menjadi terminal regasifikasi; menampung LNG yang dikirim dari Tangguh (Papua), selanjutnya menyalurkan gas buminya melalui pipa transmisi ke Medan dan kawasan industri Sei Mangke di Sumatera Utara.
Sebelumnya di Sumatera telah dibangun pipa transmisi yang menghubungkan lapangan-lapangan gas bumi di sekitar Grissik (Jambi) ke Duri (Riau), ke Singapura melalui Batam, dan ke sebagian Jawa bagian barat. Pipa transmisi Duri-Dumai juga telah beroperasi, menyalurkan gas bumi yang semula untuk proyek ”banjir uap” di lapangan minyak Duri ke kilang minyak Dumai.
Jawa mendapatkan gas bumi dari Sumatera lewat pipa, dan sebelumnya telah dibangun pipa transmisi dari kawasan Cilamaya-Cirebon melalui Cikampek (pabrik pupuk) ke pabrik baja di Banten.
Namun, pipa transmisi Cirebon-Semarang ataupun Jawa Timur-Semarang yang telah ditentukan pemenang lelangnya hampir dua dekade lalu belum terwujud pembangunannya. Akibatnya, Jawa lebih banyak membakar batubara untuk listrik serta berbagai industrinya, menjadikan Jawa pulau terpadat emisi karbon di Indonesia.
Di Kalimantan yang pernah memiliki kilang LNG terbesar di dunia belum dibangun pipa transmisi agar gas bumi dapat dimanfaatkan untuk kota-kota besar di kota itu, misalnya. Pipa yang dibangun hanya untuk membawa gas bumi terutama ke lokasi kilang LNG.
Secara umum, infrastruktur gas bumi yang telah dibangun di Tanah Air lebih sedikit dibandingkan misalnya yang dibangun di Malaysia, apalagi Korea Selatan dan Jepang, tujuan ekspor yang tidak memiliki cadangan gas bumi.
Peluang dan skala kecil
Pembangunan infrastruktur gas bumi untuk kebutuhan domestik ke depan akan dipermudah karena beberapa peluang yang berkembang belakangan.
Pertama, menurunnya permintaan dari luar negeri karena berakhirnya kontrak-kontrak ekspor jangka panjang (misalnya gas bumi lewat pipa ke Singapura) ataupun karena konsumen tradisional di Asia Timur kini dapat membeli LNG dari pemasok yang andal seperti Qatar dan Amerika Serikat. Ini menjadikan gas bumi yang dapat dialirkan di Tanah Air lebih banyak dan sebagian infrastruktur yang sebelumnya diperuntukkan ekspor dapat dimanfaatkan.
Gas bumi dapat lebih cepat menyumbangkan perannya sebagai bahan bakar yang efisien dan bersih untuk industrialisasi Indonesia yang rendah emisi.
Kedua, perkembangan teknologi, seperti LNG skala kecil ataupun regasifikasi skala kecil serta kapal-kapal dan truk pengangkutannya. Teknologi ini memungkinkan pengiriman gas bumi jarak jauh untuk melayani permintaan skala kecil, misalnya untuk pembangkitan listrik di pulau-pulau kecil dan kawasan timur Indonesia. Teknologi ini lebih fleksibel dan murah dibandingkan dengan pipa transmisi yang pembangunannya sering terkendala biaya selain kepastian pasokan dan pembeli utama (anchor) serta keberadaannya yang bersifat tetap (fixed).
Selain menyelesaikan pembangunan infrastruktur gas bumi seperti Trans-Jawa yang masih terbengkalai, penyediaan gas bumi dapat dipercepat dengan membangun infrastruktur skala kecil yang lebih murah dan dapat segera berfungsi melayani permintaan gas bumi yang terus tumbuh di Tanah Air. Gas bumi dapat lebih cepat menyumbangkan perannya sebagai bahan bakar yang efisien dan bersih untuk industrialisasi Indonesia yang rendah emisi.
Hanan Nugroho, Perencana Ahli Utama di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)