Indonesia dan Demokrasi
Demokrasi tak punya akar sejarah dan geneologis di Indonesia yang memungkinkannya jadi sistem dan budaya politik mapan.
Indonesia pasca-Reformasi 1998 diklaim sebagai salah satu negara terbesar demokrasi. Dalam banyak studi antropologi, sosiologi, dan ilmu politik, Indonesia dirujuk sebagai contoh penting kompatibilitas dan keharmonisan relasi Islam dan demokrasi; di Indonesia, Islam dan demokrasi tidak saling kontradiktif dan konflik. Sebagai contoh, feminisme—salah satu praxis demokrasi—menjadi agenda aktivisme yang hidup di kalangan Muslim Indonesia.
Pemilu 2024 memunculkan pertanyaan, apakah demokrasi benar-benar bisa menjadi bagian sistem dan budaya politik yang mapan di Indonesia? Pada pemilu lalu, beberapa kalangan akademisi dan aktivis menunjukkan keresahannya terkait degradasi demokrasi (democratic backlash) yang dipertontonkan melalui berbagai manuver politik yang melibatkan kekuasaan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pertanyaan di atas penting menjadi pemikiran dan refleksi bersama karena keresahan para akademisi dan aktivis yang, meski viral di internet, tidak menjadi alat kritik yang bisa memengaruhi politik elektoral. Hasil hitung cepat menunjukkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang mengusung ”susu dan makan gratis” dan paling menjadi target kritik degradasi demokrasi menjadi pasangan paling unggul, mendapatkan hampir 60 persen suara. Sekali lagi, meski viral di internet, kampanye mengusung demokrasi masih sangat jauh dari populer.
Baca juga: Memahami Kegelisahan di Balik Gelombang Seruan Para Akademisi
Para analis, terutama dari elite terdidik, menunjuk kalangan menengah ke bawah sebagai kelompok pemilih mayoritas yang menentukan pilihannya atas dasar kepentingan pragmatis, seperti susu dan makan gratis, beasiswa, dan proyek-proyek pembangunan infrastruktur daripada agenda demokrasi. Dengan jumlah suara hampir 60 persen, pilihan atas dasar kepentingan pragmatis ini sesungguhnya melintasi banyak kategori. Tidak hanya kelas, tetapi juga generasi, profesi, agama, jender, dan geografi.
Pemilih muda yang menjadi faktor determinan termasuk bagian dari kelompok pemilih yang tidak terlalu tertarik menjadikan isu-isu demokrasi sebagai pertimbangan utama. Bahkan, yang menarik, saya menemukan, seorang transjender yang merupakan kelompok paling minoritas dan termarjinal—dianggap paling perlu demokrasi—tak terusik dengan kampanye krisis demokrasi, tetap yakin untuk mendukung pasangan Prabowo-Gibran.
Secara global, saat ini, demokrasi banyak mengalami resistansi dari negara-negara Islam setelah Amerika Serikat dan beberapa negara demokrasi dianggap tidak konsisten menjalankan demokrasi dengan keterlibatannya dalam serangan terhadap Irak, Afghanistan, dan tidak memberikan perlindungan terhadap rakyat Palestina dari serangan Israel. Di negara-negara yang memiliki akar dan konteks sejarah demokrasi, demokrasi juga sedang mengalami tantangan internal.
Meski demikian, sebagai bagian dari sejarah mereka, demokrasi akan selalu hidup dan menjadi sistem dan budaya politik yang solid di sana. Ketika demokrasi bahkan di tempat asalnya sedang mengalami tantangan, tentu, di rumah tetangga yang sangat jauh, seperti Indonesia, bukan hal strategis dan populer menjadikannya tema kampanye dalam politik elektoral.
Akar geneologis
Demokrasi sebagai sistem dan budaya politik, secara historis tidak mempunyai akar geneologis dalam masyarakat kita. Kita tidak mengalami Revolusi Akal (Enlightenment) yang melahirkan rasionalisme, liberalisme, dan individualisme—basis filosofis demokrasi.
”Demokrasi merupakan produk Barat yang tidak (sepenuhnya) pas dengan budaya Indonesia” menjadi narasi yang legitimate. Usaha-usaha untuk menerapkan demokrasi tidak lain adalah usaha untuk mereplikasi sistem politik negara-negara yang mempunyai sejarah demokrasi, seperti Amerika Serikat.
Menggunakan historical anthropology ala Talal Asad, Indonesia tidak memiliki material condition yang ”valid” dan ”legitimate” dari segi historis, tradisi, dan sosiologis untuk menjadi negara demokrasi. Demokrasi tidak berkembang dari kehampaan sejarah (vacuum of history) yang merevolusi tradisi-tradisi yang tidak mendukung demokrasi.
Kita bisa mereplikasi beberapa praksis demokrasi, seperti pemilu, kebebasan bersuara di internet, kebebasan berserikat, dan kebebasan akademik—hasil paling menonjol dari reformasi. Hanya itu! Masih banyak praktik budaya dan tradisi yang tidak compatible dengan prinsip dasar demokrasi. Feodalisme masih berlangsung sangat dominan dalam relasi personal, keluarga, masyarakat, dan bernegara.
Kita bisa mereplikasi beberapa praksis demokrasi, seperti pemilu, kebebasan bersuara di internet, kebebasan berserikat, dan kebebasan akademik —hasil paling menonjol dari reformasi. Hanya itu!
Kita belum sepenuhnya memahami apalagi menghormati dan melindungi kebebasan individual (individual freedom) dan hak asasi manusia untuk mengekspresikan identitasnya. Alih-alih, kita akan punya undang-undang yang bisa melindungi hak perkawinan non-heteroseksual—sebuah utopia yang hampir mustahil menjadi kenyataan di Indonesia—kriminalisasi dan persekusi terhadap LGBTIQ masih menjadi praktik yang lumrah.
Aborsi aman sebagai hak dan keadilan reproduksi entah kapan akan terwujud. Tidak semua penganut agama dan kepercayaan bisa bebas mendirikan rumah ibadah. Marxisme dan komunisme masih menjadi ideologi terlarang.
Kita juga masih menghadapi problem persamaan di depan hukum (equality before the law), salah satu prinsip utama demokrasi. Bukan saja banyak pelanggaran berat masa lalu yang tidak diproses secara hukum (apalagi secara adil), banyak penyalahgunaan kekuasaan menjadi manuver politik yang tidak mendapatkan penegakan hukum yang kuat. Di sini, penting sekali memahami spektrum demokrasi yang tak sekadar kebebasan berbicara dalam internet, yang memang sudah berkembang sangat baik.
Seperti sekularisme sebagai hasil kesejarahan sosial-politik konflik agama dan negara dalam masyarakat Eropa, demokrasi tidak punya akar sejarah dan geneologis di Indonesia yang memungkinkannya menjadi sistem dan budaya politik mapan. Demokrasi bukanlah national heritage bagi kita, yang membuat kita bangga dan ”mati-matian” mempertahankannya dengan ongkos apa pun.
Perkembangan demokrasi pasca-reformasi yang menjadikan Indonesia diklaim sebagai negara kuat demokrasi adalah upaya mengubah trayek sejarah yang butuh waktu sangat panjang. Tanpa geneologi historis sebagai material condition demokrasi, perubahan trayek sejarah tidak akan pernah stabil dan solid.
Tidak jarang, dalam kondisi tertentu, gagasan-gagasan demokrasi mengalami tantangan dan resistensi, bahkan dari mereka yang menggunakannya untuk mengekspresikan pilihan politiknya pada saat pemilu. Bisa jadi, para akademisi yang menyampaikan kritik atas degradasi demokrasi pada saat pemilu adalah orang yang sama yang melarang LGBTIQ hadir di lembaga pendidikan.
Baca juga: Demokrasi Bukan Hanya Pencoblosan
Melihat perkembangan terakhir politik yang mengecilkan isu-isu demokrasi, kita perlu memikirkan ulang tesis Indonesia sebagai the most promising country untuk sekadar mereplikasi demokrasi dan menjadi sampel keharmonisan relasi Islam dan demokrasi, apalagi menjadi negara demokrasi yang mapan. Meski demikian, usaha untuk menghadirkan demokrasi harus terus dilakukan, justru perlu diperkuat. Orientasi membangun trayek sejarah harus menjadi landasan utama gerakan demokrasi di Indonesia.
Gerakan demokrasi adalah gerakan mengubah sejarah sekaligus budaya, upaya learn, unlearn, dan relearn untuk mengubah cara pandang dan cara berpikir: tentang relasi kekuasaan, hak dan kebebasan individu, dan kesetaraan di depan hukum. Usaha ini menuntut investasi berkelanjutan, bukan sekadar temporer memanfaatkan momen pemilu.
Demokrasi yang tidak populer di kalangan orang muda adalah kegagalan gerakan demokrasi yang tidak mengagendakan pembangunan ruang-ruang belajar, di dalam atau di luar sekolah, bagi mereka untuk melalui proses learn, unlearn, dan relearn itu. Pertanyaan tentang posisi demokrasi pasca-pemilu perlu mendorong kita membangun agenda-agenda strategis penguatan demokrasi, sekali lagi, dalam konteks membangun trayek sejarah.
Farid Muttaqin, Departemen Antropologi, Binghamton University, New York; Pengelola LETSS Talk (Let’s Talk about Sex n Sexualities)