Meredam Gejolak Harga Pangan
Fenomena lonjakan harga pangan pokok membuat ketahanan pangan Indonesia kembali dipertaruhkan.
Beberapa pekan ini, kita disuguhi berita melonjaknya harga pangan. Pantauan Kompas di beberapa daerah menemukan harga beras kualitas premium per 20 Februari di Pasar Induk Cipinang menyentuh Rp 15.000 per kg.
Harga itu kian jauh dari harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, yaitu Rp 13.900-Rp 14.800 untuk beras premium dan Rp 10.900-Rp 11.800 untuk beras medium.
Bukan hanya beras, harga cabai dan daging ayam juga ikut naik. Masalahnya, kenaikan harga-harga itu ternyata tak berkorelasi dengan harga di tingkat petani. Margin yang diterima petani kecil karena habis untuk ongkos produksi.
Dua penyebab
Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan lonjakan harga pangan ini. Pertama, faktor teknis. Fenomena El Nino yang melanda pada 2023 menyebabkan mundurnya musim tanam karena sawah yang akan ditanami masih dilanda kekeringan. Pantauan BMKG, kekeringan sudah terjadi di beberapa daerah di Indonesia.
Musim kemarau kering terjadi dari wilayah Sumatera bagian tengah hingga selatan, seluruh Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur dan Barat, serta sebagian Papua.
Selain El Nino, kelangkaan dan mahalnya pupuk juga menjadi salah satu penyebab menurunnya produktivitas hasil pertanian. Pupuk sulit didapat. Kalaupun ada, harganya mahal sehingga petani terpaksa merawat tanaman pangan seadanya. Hal ini tentu saja akan sangat berpengaruh pada produktivitas hasil pertanian kita.
Persoalan pangan selalu bermuara pada upaya mencari keseimbangan antara kepentingan konsumen dan produsen.
Faktor teknis lainnya adalah penggunaan benih padi yang kurang bermutu dan benih padi turunan yang bukan aslinya. Kalaupun ada yang menggunakan benih bermutu, jumlahnya masih sangat sedikit. Hal ini biasanya karena para petani cenderung ingin melihat hasilnya terlebih dahulu sebelum mengadopsi benih-benih baru.
Situasi ini disebut risk aversion, penghindaran risiko, dengan lebih memilih kepastian dan keamanan dibandingkan ketidakpastian dan variabilitas dalam operasi pertanian.
Selain faktor teknis, faktor kedua adalah faktor politis. Bantuan sosial yang dirapel pada awal Februari 2024 telah menguras cadangan beras Bulog sebesar 1,32 juta ton. Keluarnya beras dari gudang-gudang Bulog ini membuat stok terkuras dan menyebabkan harga beras melesat naik.
Padahal, jika bansos diserahkan sesuai perencanaan tahun lalu, dibagikan reguler tiap bulan atau maksimal tiga bulan, kelangkaan dan kenaikan harga beras mestinya bisa dihindari.
Di sisi lain, pada aspek pangan global, beberapa negara juga masih menahan stok pangan mereka. Contohnya, India. Karena alasan ingin mengamankan stok dalam negeri jelang pemilu di negaranya, negara itu memberlakukan larangan ekspor agar bisa menjamin kebutuhan dalam negeri sendiri.
Tawaran alternatif
Fenomena lonjakan harga pangan pokok ini membuat ketahanan pangan Indonesia kembali dipertaruhkan. Kenaikan harga pangan yang berpotensi memunculkan tekanan inflasi pangan akan langsung memukul kesejahteraan masyarakat bawah karena separuh lebih pengeluaran rumah tangga masih didominasi pengeluaran untuk makanan.
Ancaman krisis baru pangan ini menjadi momentum bagi kita agar lebih keras dan serius lagi membenahi ketahanan pangan di dalam negeri, khususnya dengan menggenjot produksi dan produktivitas.
Setidaknya ada tiga hal yang perlu dilakukan para pengambil kebijakan di sektor pangan. Pertama, untuk meredam gejolak harga dan menjaga pasokan yang baik perlu keterlibatan pemerintah secara signifikan melalui penguasaan stok atau perdagangan.
Pemerintah, melalui Bulog, perlu mengelola cadangan pangan pemerintah dengan baik, tidak gegabah, dan ugal-ugalan. Untuk jangka pendek, operasi pasar oleh Bulog tetap perlu dilakukan. Ini untuk memastikan stok aman sehingga masyarakat tidak perlu khawatir.
Kedua, pada jangka panjang, pemerintah perlu melakukan investasi untuk menemukan inovasi-inovasi baru yang bisa meningkatkan produktivitas tanaman pangan. Inovasi ini bisa berupa sistem pendeteksian cuaca di level petani, perbaikan sarana prasarana pertanian, diseminasi bibit unggul, dan inovasi tata kelola pangan nasional, termasuk yang berkaitan dengan perbaikan rantai pasok pangan nasional. Di sini, dukungan dari perguruan tinggi, lembaga-lembaga riset, dan think-tank sangat penting.
Pemerintah harus cermat menentukan tingkat harga yang terjangkau konsumen.
Ketiga, terkait subsidi pupuk, pemerintah bisa mengalihkan sumber daya dari subsidi harga pupuk (subsidi barang) ke subsidi langsung bagi petani (subsidi orang). Ini perlu dilakukan agar subsidi pupuk tepat sasaran dan langsung sampai ke yang membutuhkan. Juga harus dipastikan distribusi pasokannya merata, terutama ke sentra-sentra pangan nasional.
Pembenahan juga perlu dilakukan dalam tata kelola pangan yang lebih luas. Misalnya, terkait antisipasi dampak perubahan iklim, dampak alih fungsi lahan, berkurangnya sawah, jumlah petani, distribusi, ataupun rantai pasok.
Persoalan pangan selalu bermuara pada upaya mencari keseimbangan antara kepentingan konsumen dan produsen. Diperlukan peran koordinasi dari Badan Pangan Nasional secara optimal untuk mencapai titik temu kepentingan seluruh komponen masyarakat, baik petani maupun konsumen.
Pemerintah harus cermat menentukan tingkat harga yang terjangkau konsumen. Transmisi harga yang terjadi secara baik, dari konsumen ke produsen atau sebaliknya, menjadi penentu keberlanjutan penyediaan pangan nasional.
Baca juga : Jelang Ramadhan, Tak Hanya Beras yang Harganya Naik
Alfian Helmi,Dosen Fakultas Ekologi Manusia, IPB University