Konflik manusia dengan harimau terus berulang. Mitigasi mendesak dilakukan.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Harian Kompas mulai memberitakan pertemuan manusia dengan harimau pada edisi Jumat (30/6/1967) dengan judul ”Harimau Masuk Kampung”. Penduduk Kampung Halangan Ratu, Kecamatan Gedong Tataan, lebih kurang 7 kilometer dari Lapangan Terbang Berantih, Lampung, kedatangan harimau. Harimau memasuki kampung tersebut pada siang hari dan menggasak lima kambing.
Berita munculnya korban jiwa karena konflik manusia dan harimau dimuat pada Selasa (27/2/1972) dengan judul ”Korban Keganasan Harimau”. Masrul bin Jaumat, penduduk Tanjung Agung, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, adalah orang ketujuh yang menjadi korban keganasan harimau sejak 1968 di daerah tersebut.
Sejak itu, ratusan kasus konflik manusia dengan harimau dilaporkan dalam pemberitaan. Kasus terakhir dilaporkan Kompas.id pada 22 Februari 2024 dengan judul ”Lagi, Harimau Terkam Warga di Lampung Barat”. Pada Kamis (22/2/2024) pukul 02.00, Sahri (28), warga Pekon Bumi Hantati, Kecamatan Bandar Negeri Suoh, Kabupaten Lampung Barat, ditemukan tewas di dekat kebunnya akibat diterkam harimau.
Konflik manusia dengan harimau yang oleh kalangan peneliti disingkat menjadi KMH sudah banyak menjadi obyek penelitian. Penelitian tentang konflik manusia dengan harimau, antara lain, dilakukan Rudijanta Tjahja Nugraha dari Kementerian Kehutanan dan Jito Sugardjito dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Nugraha dan Sugardjito, dalam laporan penelitian yang dimuat jurnal Mammal Study (2009), membagi konflik manusia dengan harimau dalam tiga jenis berdasarkan risikonya, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Risiko rendah adalah ketika harimau datang ke lahan pertanian. Risiko sedang ketika harimau mulai memangsa ternak dan manusia. Risiko tinggi ketika kejadian berulang.
Konflik manusia dengan harimau dewasa ini banyak terjadi di Pulau Sumatera. Kerabat harimau sumatera di Bali dan Jawa telah mendahului punah. Harimau bali dinyatakan punah pada 1940-an dan harimau jawa dinyatakan punah pada 1970-an walau upaya menemukan jejaknya terus dilakukan. Mereka kalah dalam konflik mematikan ini.
Harimau sumatera seperti menghitung hari menuju kepunahan, seperti kerabat mereka di Jawa dan Bali, karena konflik tak berkesudahan tersebut. Harimau sumatera sudah banyak yang menjadi korban konflik itu. Pemerintah memperkirakan tinggal 400-an ekor harimau sumatera.
Mitigasi terhadap konflik manusia dengan harimau ini banyak menjadi obyek penelitian. Model-model mitigasi terhadap jenis-jenis konflik manusia dengan harimau juga telah ada. Yang menjadi tantangan adalah bagaimana mengimplementasikan model-model mitigasi tersebut di lapangan, yang memerlukan kolaborasi pemerintah, swasta, dan masyarakat.