Teknologi Membuat Orang Makin Toleran terhadap Kecurangan
Lalu, bagaimana kita bisa membalikkan keadaan? Tentu kita harus mengembalikan perhatian kita ke soal moral.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
Ada yang menyebut pemilu kali ini adalah pemilu paling brutal. Mereka menuduh berbagai kecurangan terjadi menjelang, saat, dan pascapencoblosan. Semua tuduhan masih harus dibuktikan. Akan tetapi, bahwa telah terjadi kecurangan dan orang dengan mudah menoleransi tindakan curang, salah satunya adalah buah dari kehadiran teknologi digital.
Teknologi digital telah mampu membuat orang yang berkompetisi dalam perhelatan politik tidak lagi antara mereka yang bersaing karena berbeda pandangan, tetapi telah menjadi arena antara mereka yang merasa benar dan penjahat yang harus dikalahkan. Teknologi berperan, salah satunya dengan menggunakan media sosial, mempermudah orang untuk berafiliasi atau bersimpati dengan kelompok politik tertentu yang membuat pandangan mereka mengeras.
Suatu keadaan yang terbentuk adalah masyarakat yang disebut hiperpartisan. Sejarawan Harvard James Hankins mencatat meningkatnya popularitas kata hiperpartisan dalam sebuah artikel di Claremont Review of Books, meskipun dia tidak dapat menemukannya di kamus.
”Lawan telah dirasuki setan, reputasi mereka dihancurkan dengan segala cara. Musyawarah demokratis menjadi tidak mungkin dilakukan dan pembuatan kesepakatan politik—hal yang biasa dilakukan oleh politik kelompok kepentingan dalam masyarakat pluralis—dianggap sebagai pelanggaran prinsip yang tidak dapat ditoleransi. Politik berubah menjadi pertarungan antara tuntutan-tuntutan yang tidak dapat dinegosiasikan. Kompromi tidak mungkin dilakukan; musuh harus dihancurkan,” tulisnya.
Sebuah studi baru-baru ini dari Universitas Nebraska-Lincoln, yang dikutip laman Fast Company (21/2/2024), menyoroti bagaimana afiliasi politik dapat menyebabkan melemahnya moral dan toleransi terhadap perilaku buruk. Dalam budaya politik hiperpartisan itu, pihak lain tidak lagi terdiri atas orang-orang yang mempunyai pandangan alternatif atau bersaing, tetapi penjahat yang harus dikalahkan.
Dilihat dari sudut pandang tersebut, dapat dimengerti mengapa begitu banyak orang akhirnya meneriakkan kata-kata kotor di dunia maya kepada orang-orang yang tidak mereka setujui atau memilih kandidat dengan masa lalu yang buruk (atau bahkan masa kini yang buruk, dalam beberapa kasus). Sifat berita yang sensasional yang muncul dari media sosial—berasal dari sumber yang tidak dapat diandalkan, tidak sesuai konteks, atau berisi informasi yang salah—hanya melemparkan minyak tanah ke dalam api yang sudah tak terkendali.
Otomatis calon yang melakukan kecurangan tetap dibela oleh pendukungnya. Mereka tidak melihat kecurangan sebagai masalah baik atau tidak baik, tetapi sebagai yang bisa diabaikan demi memenangi peperangan. Anjuran otoritas agar membuat pertimbangan moral ketika memilih calon atau partai politik menjadi omong kosong di mata mereka.
Teknologi
Tuduhan paling mudah terhadap teknologi sebagai penyebab orang menoleransi kecurangan, seperti sudah banyak disebut para ahli, adalah teknologi memudahkan orang membagikan berita. Berita yang dikonsumsi adalah berita yang sesuai dengan kepentingan dan keinginan mereka. Sudah barang tentu berita yang memuji dan memuja pilihannya atau sebaliknya, menjelek-jelekkan lawan. Masyarakat terpolarisasi karena hanya mengonsumsi berita yang diinginkan.
Konten-konten seperti itu, yang semula hanya sekadarmampu mengarahkan pada pilihan tertentu, telah mencapai titik di mana informasi yang disebar bisa menyebabkan orang mengabaikan pertimbangan moral. Mereka bahkan bersedia melakukan tindakan curang atau tidak bermoral. Situasi ini melampaui yang terjadi beberapa tahun lalu, saat orang terbelah karena beda pilihan akibat kehadiran media sosial. Kini, moral pun diabaikan.
”Orang-orang, tanpa memandang usia atau ideologi, lebih bersedia terlibat dalam perilaku dan penilaian tidak bermoral jika perilaku tersebut berada dalam ranah politik. Dan, kebanyakan dari hal ini hanya didorong oleh ketidaksukaan terhadap pihak lain,” kata Kyle Hull, salah satu penulis studi di Universitas Nebraska-Lincoln tersebut, kepada Nebraska Today.
Lebih luas
Dalam kasus yang lebih luas, tidak hanya politik, orang telah lama menjadi makin tidak bermoral ketika berada di dunia maya. Tidak sedikit di antara mereka mengolok-olok kejadian kecelakaan yang menimpa beberapa korban, sebuah unjuk rasa tiba-tiba distigma menjadi orderan dari orang tertentu, komunitas yang memprotes layanan umum dianggap memiliki agenda tersendiri, dan lain-lain. Kasus terakhir adalah ketika seorang tokoh mendiskreditkan Aksi Kamisan yang dilakukan oleh para orangtua yang kehilangan anak-anaknya.
Tahun 2017, Sigal Samuel dari Vox telah menulis tentang fenomena ini. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa teknologi digital memperpendek rentang perhatian kita dan membuat perhatian kita semakin mudah teralihkan. Bagaimana jika hal ini juga membuat kita kurang berempati dan kurang rentan terhadap tindakan etis? Bagaimana jika hal ini menurunkan kapasitas kita dalam memberikan perhatian moral, yaitu kemampuan untuk memperhatikan ciri-ciri mana yang baik dan mana yang tidak baik, yang penting dalam situasi tertentu, sehingga kita dapat merespons dengan tepat?
Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa perangkat kita benar-benar memberi efek negatif ini. Perusahaan teknologi terus memasukkan elemen desain yang memperkuat efeknya. Elemen ini mempersulit kita untuk terus memperhatikan hal-hal yang benar-benar penting, atau bahkan untuk memperhatikannya sejak awal. Perusahaan teknologi melakukan hal ini meskipun semakin jelas bahwa produk mereka berdampak buruk tidak hanya pada hubungan interpersonal kita, tetapi juga pada politik kita.
Sekali lagi, kata kuncinya adalah tentang perhatian. Teknologi telah mengacaukan perhatian kita dari soal mana yang penting dan mana yang tidak penting, mana yang benar dan mana yang salah, serta mana yang baik dan mana yang tidak baik sehingga membuat kita sulit untuk membedakan keduanya.
Lalu, bagaimana kita bisa membalikkan keadaan? Tentu kita harus mengembalikan kemampuan kita untuk memberi perhatian terhadap kedua hal yang berkebalikan seperti di atas. Sigal menyebut, gagasan tentang perhatian moral (untuk membedakan yang baik dan tidak baik) sebenarnya sudah ada sejak zaman Yunani kuno, ketika kaum Stoa menulis tentang praktik perhatian (prosoché) sebagai landasan kehidupan spiritual yang baik. Simone Weil, seorang filsuf Perancis dan mistikus Kristen awal abad ke-20, menulis bahwa perhatian adalah bentuk kemurahan hati yang paling langka dan paling murni.
Dia percaya bahwa untuk melihat yang baik dari orang lain—agar dapat menerima sepenuhnya situasi mereka dengan segala kerumitannya—kita harus terlebih dahulu menyingkir dari diri kita sendiri. Dia menyebut proses ini sebagai dekreasi. Ia menjelaskan, perhatian akan muncul ketika kita menangguhkan pikiran kita, membiarkannya terlepas, kosong, dan siap menerima dalam kebenaran obyek yang akan menembusnya.