KBBI perlu membedakan antara ”ilmu” dan ”pengetahuan” serta memperluas arti ”sains” tidak hanya pada ilmu alam.
Oleh
JOKO PRIYONO
·2 menit baca
Pernyataan Liek Wilardjo beberapa waktu lalu di koran ini—”… sejatinya ilmu pengetahuan itu salah, sebab ilmu (science) itu lebih khusus/spesifik daripada pengetahuan (knowledge)”—membuat kita berpikir untuk menelusuri kemunculan lema ilmu dan sains dalam kamus-kamus. Di Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) garapan WJS Poerwadarminta, lema ilmu kita temukan dengan penjelasan setengah halaman lebih.
Keterangan mendasar adalah: ”Pengetahuan atau kepandaian (baik tt segala sesuatu jg masuk djenis kebatinan maupun jg berkenaan dng keadaan alam dsb)”. Keterangan selanjutnya adalah penjelasan dari sekian sublema, seperti ilmu achirat, ilmu agama, ilmu alam, ilmu ukur, dan ilmu djiwa.
Sementara lema sains tidak kita temukan. Kenyataan itu menjadikan dugaan: kata sains terlambat hadir di Indonesia. Dalam sejarah, science (sains) menjadi kata penentu ”ilmuwan” di Eropa. Pada 1840, William Whewel, ahli sejarah dan filsafat dari Cambridge, memunculkan scientist (saintis) untuk membagi profesi keilmuan secara spesifik.
Pada 1996, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (kini Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa/Badan Bahasa) menerbitkan buku Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia. Di buku itu kita dapat mengerti bahwa kata ilmu berasal dari serapan bahasa Arab, ’ilmu, sementara sains berasal dari serapan bahasa Inggris, science.
Uraian Henry Margenau dan David Bergamini dalam buku The Scientist (1964) penting dijadikan pertimbangan. Mereka menulis: ”Yang terutama membedakan ilmu dari pengetahuan lain ialah metode yang menciptakannya. Metode itu disebut ilmiah dan merupakan perluasan dari akal sehat dan sikap skeptis secara sistematis”.
Sains = ilmu alam?
Kita agak kerepotan tatkala menyimak makna dua lema itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mutakhir. Lema ilmu termaknai pada tiga keterangan dengan berpangkal pada pengetahuan. Salah satunya, ”pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu”.
Sementara lema sains terdiri atas tiga keterangan. Salah satunya, ”pengetahuan sistematis tentang alam dan dunia fisik, termasuk di dalamnya, botani, fisika, kimia, geologi, zoologi, dan sebagainya; ilmu pengetahuan alam”. Pengertian itu menimbulkan tanya.
Setiap pengetahuan yang memasuki taraf kuantitatif berubah menjadi suatu science.”
Dengan mengikuti buku terjemahan garapan Richard Dawkins, Stephen Hawking, Jim al-Khalili, hingga Carl Sagan, itulah sebabnya kalangan pembaca mudah menyebutnya dengan ”sains populer”. Agaknya, dalam perkembangan bahasa di publik, sains diperkuat KBBI dimaknai hanya mencakup ilmu-ilmu kealaman.
Saya teringat esai Andi Hakim Nasoetion (1932-2002), ”Beberapa Catatan: Ilmu dan Science Serta Eksakta dan Non Eksakta” (Mahasiswa Indonesia, 4/2/1968). Ia memberi penegasan: ”Science bukan hanya mencakup ’ilmu pengetahuan alam’. Setiap pengetahuan yang memasuki taraf kuantitatif berubah menjadi suatu science.”
Baiknya kita mengusulkan penjelasan ulang terhadap KBBI pada dua hal. Pertama, membedakan antara ilmu (science) dengan pengetahuan (knowledge). Kedua, arti sains tidak dimaknai sempit pada ilmu alam—dengan pengadaan sublema: sains alam dan sains sosial.