Multiplikasi Akses Pendidikan Tinggi Melalui Prauniversitas
Pemanfaatan teknologi digital dan penerapan skema prauniversitas berpotensi besar meningkatkan akses pendidikan tinggi.
Pendidikan tinggi di Indonesia hari ini relatif masih sulit diakses anak-anak Indonesia. Perlu cara-cara masif, kreatif, dan inovatif untuk memperluas akses pendidikan tinggi yang berkualitas dan inklusif bagi anak-anak Indonesia.
Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu tujuan pokok pendiri bangsa memproklamasikan negara Republik Indonesia. Dalam mencapai cita-cita itu, pendidikan tinggi memiliki peran signifikan sebagai aset kebudayaan dan pengetahuan yang memungkinkan pembangunan karakter dan kepribadian, serta transformasi ekonomi, sosial, budaya, dan teknologi.
Berbeda dengan jenjang pendidikan prauniversitas, pendidikan tinggi di Indonesia bukan hanya berfungsi selaku penyelenggara pengajaran, melainkan juga memiliki tanggung jawab ekstra yang tercakup dalam Tridharma, yaitu inovasi, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Oleh karena itu, pendidikan tinggi mempunyai dampak berganda (multiplier effect) yang sangat besar karena di dalamnya terdapat aktivitas knowledge transfer, knowledge creation, dan knowledge development yang akan berkontribusi positif pada pencapaian tujuan-tujuan lain berbangsa dan bernegara: melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Masalahnya, pendidikan tinggi di Indonesia hari ini relatif masih sulit diakses sebagian besar anak Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik, aksesibilitas masyarakat mengenyam pendidikan tinggi sebagaimana tecermin melalui angka partisipasi kasar perguruan tinggi (APK PT) 2023 baru berada di angka 31,45 persen. Ini berarti satu dari setiap tiga anak Indonesia yang memperoleh kesempatan duduk di bangku universitas.
Tanpa inklusi dan perluasan akses ke pendidikan tinggi berkualitas, bonus demografi yang saat ini melimpah di Indonesia hanya akan jadi bibit-bibit yang tak bisa dipanen di kemudian hari.
Di beberapa provinsi, angkanya jauh di bawah rata-rata APK PT nasional. Misalnya, Kepulauan Bangka Belitung (14 persen), Papua (20 persen), dan Lampung (21 persen). Partisipasi yang jauh lebih kecil juga tercatat dari para penyandang disabilitas, yakni hanya 2,8 persen yang mampu menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi.
Di satu sisi, pemerintah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 telah menetapkan target APK PT pada 2024 adalah 37,63 persen. Adanya kesenjangan (gap) hingga 6 persen antara target 2024 dan capaian hari ini menunjukkan perlu ada tambahan kuota 140.000 mahasiswa baru secara nasional untuk meraih target tepat waktu.
Di sisi lain, sulitnya meningkatkan partisipasi masyarakat untuk berkuliah tidak semata-mata karena keterbatasan ekonomi dan kemampuan akademik calon mahasiswa, tetapi juga karena daya tampung ruangan dan ketersediaan tenaga pendidik yang juga terbatas.
Dihadapkan pada situasi faktual seperti ini, perlu cara-cara masif, kreatif, dan inovatif untuk memperluas akses pendidikan tinggi yang berkualitas dan inklusif bagi anak-anak Indonesia.
Prauniversitas
Di tengah keterbatasan anggaran pendidikan, sulit rasanya membayangkan perluasan akses pendidikan tinggi secara signifikan dalam waktu singkat apabila hanya mengandalkan pada pembangunan dan perbaikan fasilitas fisik dan perekrutan massal tenaga pendidik.
Oleh sebab itu, di era kemajuan teknologi dan konektivitas internet seperti hari ini, solusi yang paling realistis tetapi efektif adalah mengoptimalkan pemanfaatan teknologi digital untuk menyerap sebanyak-banyaknya mahasiswa baru melalui perkuliahan daring dan skema prauniversitas.
Prauniversitas (pre-U) merupakan program yang dapat disediakan perguruan tinggi bagi siswa-siswi di jenjang SMA sederajat dan siswa gap year yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang sarjana dengan mengikuti perkuliahan secara mandiri melalui massive open online courses (MOOCs) dan mengumpulkan kredensial mikro.
Seluruh aktivitas mandiri siswa itu dipantau dan dibimbing dosen pengampu yang akan mengukur capaian tujuan dan luaran pembelajaran siswa. Pada akhir semester, dosen juga memberikan nilai bagi siswa-siswi yang mengikuti aktivitas mandiri sebagaimana perkuliahan biasanya. Dengan demikian, peserta program prauniversitas dapat mulai ”menabung” dan ”mencicil” beban mata kuliah, bahkan sebelum menjadi mahasiswa aktif di universitas tersebut.
Apabila di kemudian hari siswa itu bisa menembus tes masuk kampus dan dinyatakan diterima sebagai mahasiswa, skema prauniversitas memungkinkan adanya pengakuan kredensial mikro melalui sistem credit-earning (SKS).
Sebagai ilustrasi, rata-rata beban studi program sarjana di Indonesia selama delapan semester adalah 144 SKS, termasuk tugas akhir. Apabila ada siswa SMA yang mengikuti program prauniversitas serta lulus dan mengumpulkan 20 SKS, artinya ia hanya perlu menyelesaikan 114 sisa SKS studinya yang sekaligus berarti mempersingkat masa studi ekuivalen satu semester.
Perlu cara-cara masif, kreatif, dan inovatif untuk memperluas akses pendidikan tinggi yang berkualitas dan inklusif bagi anak-anak Indonesia.
Dengan skema prauniversitas, perguruan tinggi dapat memperluas dampak bagi masyarakat, merekrut lebih banyak mahasiswa, dan memperpendek masa studi sehingga keterbatasan ruangan dan laboratorium fisik bisa teratasi.
Upaya perluasan akses pendidikan tinggi melalui skema prauniversitas telah diterapkan di Universitas Indonesia (UI) sejak Agustus 2022. Di samping peningkatan kuota penerimaan mahasiswa baru sebanyak 10 persen per tahun, kami juga membuka program Pre-university (Pre-U) agar semakin banyak anak bangsa yang berkesempatan merasakan ekosistem pendidikan tinggi di kampus terbaik di Tanah Air.
Gayung bersambut, dalam dua tahun, terdapat 3.340 siswa-siswi SMA/MA/ SMK dari berbagai penjuru Indonesia yang tertarik mendaftar dan mengikuti perkuliahan mandiri secara daring lewat program Pre-U. Ini sekaligus menunjukkan tingginya kebutuhan, antusiasme, dan minat anak-anak Indonesia untuk terus belajar. Pemanfaatan teknologi digital dan penerapan skema prauniversitas punya potensi besar untuk meningkatkan akses pendidikan tinggi secara signifikan, apabila semakin banyak perguruan tinggi di Indonesia terlibat.
Berdasarkan data Kemendikbudristek, hingga 2023 terdapat 3.323 perguruan tinggi di Indonesia, yang terdiri dari 32 persen perguruan tinggi negeri dan 68 persen perguruan tinggi swasta.
Dengan penghitungan kasar, jika program prauniversitas secara serentak bisa dilakukan kampus-kampus di Indonesia, sangat mungkin target APK PT dalam RPJMN 2024 bisa dipenuhi secara tepat waktu.
Dari sisi infrastruktur digital, selain mengembangkan sumber daya pembelajaran di masing-masing kampus, pemerintah juga dapat mengoptimalkan program microcredential Kemendikbudristek bekerja sama dengan Indonesia Cyber Education (ICE) Institute. Dengan demikian, peningkatan akses pendidikan tinggi menjadi gerakan semesta kampus-kampus di Indonesia.
Menuju Indonesia Emas
Pendidikan tinggi memainkan peran krusial dalam membentuk sumber daya manusia (SDM) berkualitas, mendorong inovasi, dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Melalui pengalaman menuntut ilmu di pendidikan tinggi, anak-anak bangsa tumbuh menjadi insan yang kreatif, terampil, dan berdaya saing.
Pada 2023, berdasarkan The Global Talent Competitiveness Index, Indonesia menempati peringkat ke-80 dunia, berada di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Padahal, visi Indonesia Emas 2045 mensyaratkan tersedianya SDM unggul dan berdaya saing melimpah ruah.
Baca juga: Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi
Program prauniversitas menjadi jembatan emas untuk menggandakan kesempatan belajar dan daya tampung pendidikan tinggi sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dengan akses pendidikan tinggi berkualitas yang lebih luas, anak-anak Indonesia tumbuh menjadi pribadi berkarakter unggul, berketerampilan masa depan, dan berintelektualitas global. Tanpa inklusi dan perluasan akses ke pendidikan tinggi berkualitas, bonus demografi yang saat ini melimpah di Indonesia hanya akan jadi bibit-bibit yang tak bisa dipanen di kemudian hari.
Abdul Haris,Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Indonesia