Masa Depan Intelektual Publik
Apakah kita mengalami defisit para intelektual publik setelah kepergian Ignas Kleden? Jawabannya bisa ya, bisa tidak.
Ilustrasi
Raksasa pemikir itu telah pergi meninggalkan kita. Ignas Kleden, doktor sosiologi dan esais yang khidmat itu, telah pergi meninggalkan kita selama-lamanya sebulan lalu, tepatnya pada 22 Januari 2024, pada usia 76 tahun. Sungguh suatu kehilangan yang amat luar biasa. Ignas adalah seorang penulis esai yang luar biasa. Tulisannya panjang, dalam, dan terperinci. Seolah tak ditemukan celah untuk menggugat tulisan yang mewakili pikirannya itu.
Tulisan terakhirnya di Kompas muncul pada 2020. Ketika pada masa pandemi itu, ia menulis tulisan berjudul ”Hak Pilih dan Hak Hidup” menanggapi dilema apakah pemilihan kepala daerah akan tetap dilangsungkan atau tidak semasa pandemi Covid-19 menjangkiti Indonesia dan dunia. Ada banyak tulisannya yang membekas pada ingatan, ada banyak kawan bisa menyebut dengan tepat judul tulisan Ignas yang mengesankannya. Ignas menulis banyak kata pengantar buku, menulis artikel di jurnal Prisma, dan juga menulis di harian Kompas, serta berbagai artikel seminar.
Dengan bagus sekali Charles Beraf (Kompas, 23/1/24) menggambarkan sosok intelektual macam Ignas ini. ”Pengetahuan yang luas dan dalam itu sama sekali tidak membuat Ignas dengan gampang digoda untuk sekadar mencari popularitas karbitan, seperti banyak terjadi di ruang media sosial atau pada kesempatan talkshow di TV.” Ya, kita tak akan pernah melihat Ignas meladeni sirkus pembicaraan dengan kalangan politikus atau pesohor mana pun di televisi.
Baca juga: ”In Memoriam” Ignas Kleden: dari ”Ars Inveniendi” ke ”Ars Tradendi”
Dengan latar belakang filsafat yang kuat, menurut penulis, Ignas sangat merendah ketika ia lebih suka menyebut dirinya sebagai ”sosiolog”, karena menurut penulis sangat pantas jika Ignas disebut sebagai ”filsuf”, tetapi ia menolaknya. Dugaan penulis, Ignas lebih tertarik menggumuli pertarungan dengan manusia beserta seluruh problematikanya, ketimbang pertarungan ide-ide filosofis, yang justru kemudian ditarik refleksinya hingga sedemikian dalam.
Ia mendagingkan dunia konsep, dunia ide, dengan kemanusiaan yang ia saksikan. Filsafat ia tarik ke bumi agar bisa memancarkan daya refleksinya yang luas serta dalam. Dengan ketajaman analisisnya yang multidisiplin itu, ia membuat pembacanya setuju dengan isi tulisannya sekaligus berdecak kagum.
Kita yang pernah membaca karya-karya Ignas tentu selalu menunggu apa analisis Ignas terhadap suatu fenomena tertentu, dan ketika menulis kata pengantar bagi sejumlah karya ia selalu menemukan angle tulisan tertentu yang tak terbayangkan dari seorang sosok ataupun satu fenomena tertentu yang ia telaah. Beberapa sosok yang pernah ia tulis dengan kata pengantar yang panjang, misalnya Soedjatmoko dan juga Jakob Oetama.
Di luar itu semua, kepergian Ignas juga memunculkan pertanyaan, apakah akan ada sosok intelektual publik yang memiliki kedalaman dan ketajaman tulisan seperti Ignas?
Dalam bahasa yang lain, ketika Ignas tidak melekatkan diri pada suatu institusi pendidikan tertentu, justru hal ini menjadi kekuatannya ketika ia bisa dengan bebas menulis dan menganalisis tentang apa pun, tanpa pusing harus mengurus aneka urusan administrasi yang dilakukan para pengajar cum peneliti yang ada di lembaga-lembaga pendidikan resmi.
Defisit intelektual?
Apakah kita mengalami defisit para intelektual publik setelah kepergian Ignas? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Jika kita setuju bahwa salah satu syarat menjadi intelektual publik itu harus pandai, berwawasan luas, rasanya Indonesia tak kekurangan orang yang semacam ini. Banyak sekali sarjana yang mengenyam pendidikan tinggi, baik di dalam dan luar negeri, dengan ilmu-ilmu terbaru, canggih, dan datang dari kampus-kampus besar di dunia. Namun begitu, intelektual publik tak harus diartikan memiliki gelar akademis tertentu.
Banyak doktor-doktor muda yang baru menyelesaikan studi di Amerika Serikat, Eropa Barat, Australia, dan negara-negara Asia lainnya. Syukurlah pemerintah memberikan perhatian dan menyisihkan dana untuk membiayai para cerdik cendikia ini untuk studi lanjut di berbagai universitas. Peluang mendapatkan pendidikan lanjut saat Indonesia memasuki abad ke-21 menjadi lebih mudah akibat pemerintah Indonesia dan lembaga-lembaga lain menawarkan banyak macam beasiswa kepada anak muda Indonesia.
Namun, apakah sekadar pintar itu memenuhi syarat menjadi intelektual publik? Dalam arti yang luas (tidak merujuk pada suatu definisi tertentu oleh tokoh tertentu) intelektual publik dimengerti sebagai mereka yang memiliki keprihatinan, kepekaan, atas peristiwa-peristiwa di sekitar mereka, dan mereka merespons dalam bentuk protes, analisis yang tajam, sehingga membicarakan itu dalam forum-forum publik (mulai dari media, forum diskusi ataupun diskusi via media sosial). Mereka dipercaya karena mereka mengedepankan kepentingan publik di atas kepentingan dirinya sendiri atas masalah-masalah tersebut.
Ia mendagingkan dunia konsep, dunia ide, dengan kemanusiaan yang ia saksikan. Filsafat ia tarik ke bumi agar bisa memancarkan daya refleksinya yang luas serta dalam.
Jadi dalam arti ini, menurut penulis, mereka yang pintar saja tak cukup untuk menjadi seorang intelektual publik. Ia harus memiliki kepedulian dan konsistensi terhadap permasalahan di sekitarnya. Ia harus mampu mengartikulasi serta merefleksikan persoalan itu dengan pisau analisis ilmu yang ia kuasai dan menyampaikannya kepada orang banyak via media massa atau media sosial.
Ada kelemahan dari banyak sarjana pintar-pintar itu karena banyak yang kemudian terkotak-kotak dalam rumpun ilmu di mana ia belajar, tetapi kurang berdialog dengan ilmu lain, atau berani menyeberang dan meminjam alat analisis dari tempat lain serta menyampaikannya dalam bentuk esai yang enak dibaca mengalir lancar.
Ada banyak orang-orang pintar yang lalu berkarya di kampus-kampus menghabiskan diri dengan rapat, membuat laporan, membuat aneka macam kegiatan. Tentu ini menjadi tantangan tersendiri kepada kaum cerdik cendikia di Indonesia, yang jika boleh penulis rumuskan: masih adakah mereka yang terdidik dan memiliki daya teropong yang tajam atas masalah di sekitar kita, dan ia mau membagikan pemikirannya lewat media-media populer di sekitar kita atas permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat?
Ketekunan adalah kunci
Bacalah tulisan-tulisan Ignas Kleden ketika mengulas soal sastra, kita akan mudah mengidentifikasi banyak sekali rumpun ilmu yang ia jelajahi: sejarah, sastra, sosiologi, filsafat, dan pemikiran para tokoh pemikir hingga abad ke-20-21. Ignas bisa memadukan itu semua karena ia adalah pembaca yang baik atas karya-karya tersebut. Hasil dari bacaan itu semua adalah tulisan yang trengginas, dalam refleksinya, enak dibaca dan selesai membaca tulisan itu, para pembaca pun mendapatkan pencerahan tertentu.
Ignas adalah hasil dari suatu ketekunan membaca, keranjingan akan buku, kerakusan akan pengetahuan. Untung belum ada media sosial yang mungkin akan mengganggu segala aktivitasnya. Kalaupun pertengahan abad ke-20 sudah ditemukan media sosial, penulis menduga, Ignas akan membuangnya jauh-jauh karena itu mengganggu proses ia menikmati bacaan-bacaan tadi. Masih akan adakah Ignas-Ignas lain yang muncul nanti?
Ignatius Haryanto, Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia; Pengajar Jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong