Menyingkap tabir ekonomi remang-remang dapat menambah penerimaan negara.
Oleh
EDITORIAL
·2 menit baca
Langkah ini bisa dipilih ketimbang menaikkan pendapatan tidak kena pajak.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang tangguh dan berdaya tahan berperan strategis dalam menghadapi berbagai situasi, seperti pandemi dan guncangan perekonomian global. Tak terkecuali APBN 2024, yang meliputi pendapatan negara Rp 2.802,3 triliun dan belanja negara Rp 3.325,1 triliun.
Salah satu isu yang kerap mencuat ke permukaan adalah penerimaan perpajakan sebagai bagian dari pendapatan negara. Tahun ini, penerimaan perpajakan, yang terdiri dari penerimaan pajak serta kepabeanan dan cukai, ditargetkan Rp 2.309,9 triliun. Jumlah itu diproyeksikan tumbuh 9 persen dibandingkan dengan 2023. Adapun rasionya terhadap produk domestik bruto (PDB) 10,12 persen.
Meski demikian, tak bisa dimungkiri, ada kegiatan ekonomi ”di bawah tanah” yang belum tercatat sebagai penyumbang pajak. Kegiatan yang disebut shadow economy atau ekonomi remang-remang itu sesungguhnya ada, tetapi tidak terdata dalam perekonomian dan tidak dikenai pajak.
Publikasi Dana Moneter Internasional (IMF) pada 2002 menyebutkan, ekonomi remang-remang meliputi aktivitas ilegal serta pendapatan tak dilaporkan dari produksi barang dan jasa legal dari transaksi moneter dan barter. IMF menekankan, aktivitas yang juga disebut sebagai ekonomi paralel tersebut dapat memberi gambaran statistik yang keliru, misalnya dari sisi pendapatan, konsumsi, dan angkatan kerja. Akibatnya, kebijakan yang disusun pun menjadi tidak tepat.
Dalam laporan yang dipublikasikan IMF pada 2010 disebutkan, dari 162 negara di dunia, persentase ekonomi remang-remang terhadap PDB pada 2007 sebesar 31 persen. Kendati lebih rendah dari 1999 yang sebesar 34 persen, besarannya tetap signifikan.
dari 162 negara di dunia, persentase ekonomi remang-remang terhadap PDB pada 2007 sebesar 31 persen
Kesadaran perihal aktivitas ini juga diungkapkan dalam Nota Keuangan Rencana APBN 2024. Disebutkan, peningkatan ekonomi remang-remang merupakan konsekuensi perubahan struktur perekonomian yang mengarah pada digitalisasi dan sektor informal. Proses bisnis yang semakin mudah dan sederhana, yang tidak dibarengi kesiapan sistem perpajakan dalam menangkap aktivitas ekonomi digital, akan meningkatkan potensi menghindari kewajiban perpajakan. Akibatnya, penerimaan perpajakan tak optimal.
Padahal, potensi sektor informal dan ekonomi digital di Indonesia cukup besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada Agustus 2023, sekitar 59,11 persen penduduk bekerja di Indonesia bekerja di sektor informal. Sementara E-conomy SEA yang dirilis Google, Temasek, dan Bain & Company menunjukkan, gross merchandise value (GMV) terus meningkat. GMV, yang menunjukkan nilai transaksi barang, diprediksi mencapai 109 miliar dollar AS pada 2025 atau tumbuh 15 persen dibandingkan dengan 2023.