Untuk menjadikan kelompok menengah menjadi golongan mapan diperlukan redistribusi kekayaan melalui reforma kapital.
Oleh
ARIF BUDIMANTA
·4 menit baca
Kenaikan harga tiket kereta bawah tanah di Chile pada Oktober 2019 menuai protes yang masif dari warga, yang berunjung kepada referendum perubahan konstitusi yang terindikasi telah membiarkan ketidakadilan ekonomi tumbuh subur dan menyebabkan rakyat miskin. Hingga kini perubahan konstitusi tersebut belum terwujud akibat pertikaian politik yang berlarut.
Dalam literatur kebijakan politik pembangunan, Chile menjadi contoh menarik karena pernah menempuh orde sosialisme maupun neoliberalisme. Orde sosialisme berakhir dengan jatuhnya Presiden Salvador Allende dalam pemberontakan awal 1970-an. Orde neoliberalisme yang ditandai oleh kebijakan privatisasi pelayanan publik pada akhirnya menuai protes walaupun pada awalnya ditandai dengan tumbuhnya perekonomian dan kelas menengah baru dengan pesat.
Ekonom Muhammad Chatib Basri, dalam opininya di harian Kompas (27/12/2023), menyatakan fenomena ”The Chilean Paradox”—bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi dan penurunan kemiskinan tidak menghalangi ketidakpuasan kelas menengah—dinilai mirip dengan Indonesia.
Masalahnya, benarkah kemelut politik di Chile disebabkan kemarahan kelas menengah yang kecewa karena harga tiket kereta api naik? Jose Miguel Ahumada (2022) menyatakan, Chile adalah negara paling timpang di Amerika Selatan. Indeks Gini selama 2010-2021 tercatat 0,45 ini terkategori tinggi. Sebanyak 1 persen populasi mengendalikan 26,5 persen kekayaan dan 50 persen rumah tangga hanya mengakses 2,1 persen PDB mereka.
Kelas menengah yang disebut sebagai pemicu kerusuhan di Chile bukanlah benar-benar kelas menengah. Statistik mencatatkan mereka dalam kelompok itu, tetapi faktanya mereka adalah warga miskin. Apalagi, banyak dari mereka bekerja di sektor informal. Paula Garda dan Jens Arnjold (2022) mencatat, 30 pekerja pekerja berstatus informal.
Kirsten Sehnbruch dan Sofia Donoso (2020) menilai, pendorong demonstrasi masif 2019 di Chile adalah ketimpangan ekonomi yang merontokkan kepercayan kepada institusi publik. Ini sejalan dengan Agnello dkk (2017) yang menyatakan bahwa ketimpangan akan meningkatkan risiko instabilitas politik.
Redistribusi kekayaan
Dalam artikel selanjutnya, Chatib Basri menyatakan bahwa untuk menghindari fenomena chilean paradox dalam konteks Indonesia diusulkan perluasan perlindungan sosial yang juga ditujukan untuk kelompok menengah.
Perlindungan sosial perlu, tetapi belum tentu cukup untuk menjadikan kelompok menengah menjadi golongan yang mapan sebagai penyangga kehidupan perekonomian nasional. Saad Filho (2010) menegaskan, perlindungan sosial hanya bersifat instrumental. Perlindungan sosial paradoksnya, tidak bertujuan untuk melakukan distribusi kekayaan untuk mengikis ketimpangan.
Untuk itu yang paling fundamental dilakukan adalah redistribusi kekayaan melalui reforma kapital yang terdiri atas reforma akses berupa pendidikan, peningkatan kapabilitas, pelayanan dasar yang prima, upah yang layak, perumahan dan reforma aset baik aset tanah maupun aset finansial.
Perlindungan sosial perlu, tetapi belum tentu cukup untuk menjadikan kelompok menengah menjadi golongan yang mapan sebagai penyangga kehidupan perekonomian nasional.
Kelas menengah Indonesia juga banyak bekerja di sektor informal. Kajian SigmaPhi (2023), berdasarkan Susenas 2022, menyatakan ada 56,2 persen kelas menengah kita yang bergelut di sektor informal golongan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Mereka sangat rentan akan guncangan. Bisa otomatis jatuh miskin. Bahkan, sebenarnya, mereka juga sudah banyak yang terkategori miskin.
UMKM yang mencapai 64 juta unit, menyerap 97 persen lapangan kerja, dan menyumbang 61 persen PDB tidak banyak menikmati kredit perbankan. Porsi kredit UMKM di Indonesia hanya 21 persen. Ini berbeda dengan di negara-negara seperti Jepang dan China. Di sana, proporsi kredit perbankan untuk UMKM-nya sudah lebih dari 65 persen.
Redistribusi aset adalah memastikan akses setiap orang terhadap aset ekonomi, termasuk tanah. Sejak 2019, Indonesia melakukan redistribusi tanah melalui pelepasan kawasan hutan. Targetnya 4,1 juta hektar, laporan Kompas pada 15 Januari 2024 menyatakan baru terealisasi 9,2 persen.
Faktor lainnya adalah penentuan upah. Saad Filho (2001) menyatakan, proporsi upah terhadap PDB di banyak negara kapitalis cenderung terus menurun. Ini menunjukkan ketimpangan kian membesar. Di Indonesia, rata-rata upah pekerja informal pada 2022 hanya Rp 1,86 juta per bulan.
Untuk pekerja formal, rata-rata upah minimum provinsi (UMP) 2024 tercatat Rp 3,05 juta per bulan. Angka itu bahkan di bawah garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-atas. Itu sebabnya, perlu mendorong negosiasi upah yang adil di antara buruh dan pengusaha—serta memformalkan usaha informal.
Upaya lainnya adalah pajak progresif. Piketty (2014) menegaskan, peningkatan pendapatan kelompok satu persen teratas disumbang oleh pendapatan finansial—dan itu penyebab utama ketimpangan. Atkinson dkk (2011) menyatakan, Inggris dan Amerika yang lemah dalam pajak progresif cenderung semakin timpang. Sebaliknya, Jerman dan Perancis mampu menahan ketimpangan di level rendah dengan pajak yang sangat progresif.
Pajak progresif mestinya juga berlaku bagi warisan. Piketty (2013) menilai, warisan yang besar turut mendorong ketimpangan karena orang yang bekerja akan sulit mencapai level setara ahli waris para triliuner. Simons (1980) menyatakan, pemerintah bisa menggunakan instrumen pajak untuk memastikan harta warisan tak memperlebar ketimpangan.
Hal penting lainnya terletak di ranah keuangan. Agnello dkk (2022) menuturkan, pasar keuangan bisa mengurangi ketimpangan jika dilakukan reformasi dalam urusan kemudahan kredit usaha mikro-kecil dan persyaratan agunan yang masuk akal. Kling dkk (2022) menegaskan, inklusi keuangan bisa memperbaiki ketimpangan.
Semakin serius menjalankan kebijakan redistribusi, ketimpangan bisa ditekan. Sebaliknya, Kim Hyoung Jong Kim dan Dong-Eun Rhee (2022) menyatakan, kebijakan redistribusi yang lemah bakal mendongkrak harga aset dan memperburuk ketimpangan. Apakah ini sulit dijalankan? Tidak, karena kita sudah memulainya, hanya level energi keberpihakan ditingkatkan. Maka kita terhindar dari ”The Chillean Paradox”.
Arif Budimanta, Ketua Majelis Ekonomi PP Muhammadiyah