Pangan dalam Debat
Kegagalan seluruh proyek ”food estate” selama ini karena konsep yang salah dan melanggar kaidah-kaidah akademik.
Debat calon wakil presiden yang kedua berlangsung pada 21 Januari 2024 menyisakan kekecewaan bagi banyak orang karena tidak menyentuh aspek substantif. Isu pangan sebagai salah satu isu terpenting terpinggirkan.
Debat kemudian berlanjut di media-media arus utama dalam berbagai format. Menteri dan para wakil pemerintah membela berbagai program pertanian dan pangan yang ada saat ini. Demikian pula calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang seirama.
Data dan informasi dari berbagai lembaga bisa digunakan untuk melihat persoalan pertanian dan pangan secara lebih jernih dan bisa menjadi dasar untuk menyusun target dan tujuan pembangunan pertanian Indonesia ke depan.
Sepuluh tahun pertanian
Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengeluarkan hasil Sensus Pertanian 2023 (ST2023) yang memotret kondisi pertanian Indonesia selama sepuluh tahun terakhir.
Jumlah rumah tangga usaha pertanian (RUTP) menurun sebanyak 5,1 juta pada periode 2003-2013, tetapi pada periode 2013-2023 justru meningkat dari 26,14 juta menjadi 28,42 juta rumah tangga. Ini merupakan anomali untuk negara yang sedang mengalami transisi struktur ekonomi dari ekonomi berbasis sumber daya alam dan pertanian menjadi negara maju berbasis industri manufaktur dan jasa.
Sebaliknya, jumlah usaha pertanian perseorangan (UTP) turun dari 31,71 juta unit menjadi 29,34 juta unit (7,47 persen). UTP mendominasi usaha pertanian, yakni 99,94 persen. Semua RUTP subsektor juga menurun. Tanaman pangan turun 12,28 persen, hortikultura turun 10,44 persen, dan perkebunan turun 14,82 persen. Subsektor lainnya turun antara 6,19 persen (perikanan) dan 66,28 persen (jasa pertanian).
Hal ini menyebabkan rasio UTP terhadap RUTP menurun dari 1,21 menjadi 1,03 atau diversifikasi usaha petani semakin kecil. Secara sederhana, jika sebelumnya petani padi memiliki ternak, kini hanya padi, sehingga pendapatan dan kesejahteraannya menurun.
Kegagalan seluruh proyek food estate selama ini karena konsep yang salah dan melanggar kaidah-kaidah akademik.
Kesejahteraan petani
Hasil sensus RUTP pengguna lahan lebih mencemaskan karena terjadi peningkatan rumah tangga petani kecil dengan luas lahan yang dikelola kurang dari 0,5 hektar.
Jumlahnya meningkat signifikan dari 14,12 juta menjadi 16,89 juta. Demikian juga persentasenya, naik dari 55,3 persen (2013) menjadi 62,05 persen (2023), sedangkan di Jawa di kisaran 81,36 persen (Jawa Barat) dan 89,64 persen (Daerah Istimewa Yogyakarta).
Kondisi petani kita juga kian menua. Ini bertolak belakang dengan klaim bahwa semakin banyak anak muda yang tertarik dunia pertanian. Petani berumur lebih dari 45 tahun meningkat dari 61,86 persen (2013) menjadi 66,4 persen (2023).
Kesejahteraan petani dapat didekati dari nilai tukar petani (NTP). Jika NTP di atas 100, berarti harga produk yang dihasilkan petani naik lebih besar dibandingkan dengan kenaikan harga barang/jasa konsumsi dan biaya produksi. NTP pada tahun 2013 sebesar 104,70, dan selanjutnya 102,03 (2014), 101,61 (2015), 101,65 (2016), 101,27 (2017), 102,46 (2018), 103,21 (2019), 101,65 (2020), 104,63 (2021), 107,34 (2022), dan 112,44 (2023).
Terjadi peningkatan signifikan pada periode 2021-2023. Pada 2021 dan 2022, kenaikan NTP disumbang oleh peningkatan tajam NTP perkebunan karena kenaikan harga minyak nabati dunia. Pada 2023, kenaikan NTP disumbang oleh NTP hortikultura dan perkebunan.
Tanaman pangan merupakan sektor yang memiliki NTP terendah selama 10 tahun terakhir. NTP tanaman pangan pada 2013 sebesar 105,47, kemudian 98,88 (2014), 100,35 (2015), 99,48 (2016), 98,48 (2017), 102,96 (2018), 105,78 (2019), 101,43 (2020), 98,21 (2021), 98,82 (2022), dan 107,61 (2023). Lima kali NTP tanaman pangan di bawah 100. Artinya, selama lima tahun petani mengalami kerugian dalam berusaha tani.
Rata-rata NTP tanaman pangan sepanjang 10 tahun terakhir (2014-2023) juga hanya 101,20. Teramat rendah untuk jadi pengungkit kesejahteraan petani. Kenaikan NTP tanaman pangan di 2019 dan 2023 disebabkan oleh El Nino yang menekan produksi dan stok beras sehingga harga meningkat.
Pengabaian terhadap kesejahteraan petani tanaman pangan berdampak besar karena kemiskinan petani jadi pemicu konversi kepemilikan lahan pertanian dari petani ke pemodal.
Ini menyebabkan petani kehilangan modal dasarnya dan meninggalkan dunia pertanian. Hal ini terbukti dari hasil Sensus Pertanian 2023 yang menunjukkan jumlah RUTP subsektor tanaman pangan turun dari 17,73 juta (2013) menjadi 15,55 juta (2023).
Neraca perdagangan pangan juga menjadi isu besar selama 10 tahun terakhir ini. Ekspor komoditas pertanian membaik, dari 30,67 miliar dollar AS (2013) menjadi 44,27 miliar dollar AS (2022) sehingga meningkatkan surplus neraca perdagangan dari 17,94 miliar dollar AS menjadi 18,45 miliar dollar AS. Ekspor didominasi subsektor perkebunan (94,56 persen), terutama sawit.
Sebaliknya, impor komoditas pangan melonjak dari 10,07 miliar dollar AS (2013) menjadi 18,65 miliar dollar AS (2022), dan menambah defisit neraca perdagangan dari 8,90 miliar dollar AS (2013) menjadi 16,24 miliar dollar AS (2022) atau hampir dua kali lipat (setara dengan Rp 256 triliun).
Impor beberapa komoditas pangan penting juga melonjak selama 2013-2023. Gandum dari 7,05 juta ton menjadi 10,67 juta ton, kedelai 5,34 juta ton menjadi 8,03 juta ton, bawang putih dari 0,443 juta ton menjadi 0,494 juta ton, daging sapi dari 0,047 juta ton menjadi 0,231 juta ton, dan gula tebu dari 3,44 juta ton jadi 4,90 juta ton (angka sementara, 2023).
Kecenderungan peningkatan impor beras pada pemerintahan saat ini (2014-2023) terjadi akibat dari penurunan produksi padi rata-rata 1 persen tiap tahun.
Impor beras sangat fluktuatif. Pada 2013, Indonesia mengimpor 0,47 juta ton beras. Impor beras dengan volume di atas 1 juta ton terjadi di 2016 (1,28 juta ton), 2018 (2,25 juta ton), dan pada tahun 2023 (3,06 juta ton) (Pusdatin Kementan dan BPS). Impor 2023 merupakan impor terbesar selama 25 tahun terakhir. Kecenderungan peningkatan impor beras pada pemerintahan saat ini (2014-2023) terjadi akibat dari penurunan produksi padi rata-rata 1 persen tiap tahun.
”Food estate”
Food estate juga menjadi topik hangat pada debat cawapres dan jadi viral setelah debat. Pembangunan lahan pertanian pangan skala besar dimulai saat pemerintahan Soeharto pada 1996 lewat Proyek Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektar.
Pada 1998 dikirim 13.500 kepala keluarga untuk menggarap lahan seluas 31.000 hektar di blok A. Karena dipandang tak layak dan bermasalah, pada 1999 proyek dihentikan dan direhabilitasi dengan mengeluarkan dana Rp 3 triliun. Rehabilitasi gagal dan wilayah tersebut menjadi pusat kebakaran hutan/lahan terbesar di Indonesia di 2015.
Konsep food estate pertama kali muncul di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Definisi food estate adalah pengelolaan lahan pangan skala besar oleh perorangan, keluarga, atau badan usaha. Food estate sangat berbeda dengan pola transmigrasi yang selama ini diterapkan.
Konsep itu kemudian diterapkan di Merauke pada 2008 di lahan seluas 1,23 juta hektar, yang kemudian ditawarkan kepada investor melalui program The Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Terdapat 36 investor dan hanya satu yang menggarap lahan untuk pangan. Dalam perkembangannya, tidak ada satu pun yang sukses.
Pada 2013 dikembangkan dua proyek food estate di Ketapang, Kalimantan Timur, seluas 100.000 hektar dan di Bulungan, Kalimantan Barat, dengan rencana awal 298.221 hektar. Kedua proyek ini dikerjakan oleh BUMN dan berakhir dengan kegagalan. Di Ketapang, yang terealisasi dan ditanami hanya 100 hektar, di Bulungan yang berhasil ditanami sesuai data primer sekitar 5 hektar (Laksmi dkk, FIB-UGM, 2015).
Presiden Joko Widodo mengawali program food estate dengan membuat rice estate di Merauke seluas 1,2 juta hektar pada 2015, dan juga berakhir dengan kegagalan. Pada 2020 dimulai lagi proyek food estate walaupun beberapa di antaranya merupakan program intensifikasi lahan dan/atau optimalisasi lahan, tetapi diberi label food estate.
Beberapa pihak berkilah bahwa food estate perlu waktu supaya mendulang hasil. Kenyataan yang terjadi, beberapa proyek itu sudah berjalan sejak 25 tahun (PLG 1 juta hektar), 15 tahun (MIFEE), 10 tahun (Ketapang dan Bulungan), dan 8 tahun (Rice Estate Merauke). Berapa lagi dana rakyat yang harus dihabiskan untuk proyek yang kemudian gagal?
Kegagalan seluruh proyek food estate selama ini karena konsep yang salah dan melanggar kaidah-kaidah akademik. Dari pengalaman selama ini, konsep food estate tak cocok untuk pembangunan pertanian di Indonesia karena tidak ada investor yang mau berinvestasi, tetapi berakhir dengan kegagalan.
Terkait kaidah akademik, terdapat empat pilar pengembangan pertanian lahan skala besar, yaitu (1) kesesuaian tanah dan agroklimat; (2) ketersediaan infrastruktur, baik irigasi maupun jalan; (3) usaha tani, budi daya dan teknologi; serta (4) sosial ekonomi. Satu saja pilar dilanggar atau tak dikerjakan dengan sempurna, jawabannya pasti gagal.
Lalu apakah proyek food estate harus dihentikan? Pertama, konsep dasar harus diubah, lebih baik menggunakan pola lama, yaitu program transmigrasi. Berikan hak pakai lahan seluas 5-10 hektar per petani dengan 50 persen lahan untuk tanaman perkebunan dan 50 persen untuk tanaman pangan.
Dari pengalaman selama ini, konsep food estate tak cocok untuk pembangunan pertanian di Indonesia karena tidak ada investor yang mau berinvestasi, tetapi berakhir dengan kegagalan.
Kedua, perlu ada kesepakatan nasional untuk menetapkan satu wilayah mana saja yang akan dikembangkan oleh siapa pun presidennya. Penulis mengusulkan bekas PLG 1 hektar karena sudah telanjur rusak parah dan menjadi bencana lingkungan sangat besar. Pilih lokasi dengan luasan-luasan kecil yang memenuhi empat pilar tersebut.
Konsentrasikan seluruh dana dan upaya yang ada ke wilayah-wilayah tersebut sehingga menjadi pusat ekonomi baru yang perlahan-lahan akan meluas di sekitarnya.
Kita menghadapi persoalan besar terkait pangan kita. Persoalan ini diperburuk dengan jargon pangan murah yang didengungkan oleh sebagian partai dan birokrat saat petani bertatih-tatih berupaya mengatasi kesengsaraan mereka akibat harga produk pertanian di bawah biaya produksi.
Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pertanian dan pangan harus betul-betul dilakukan secara profesional oleh orang-orang yang benar-benar paham akan isu tersebut, tidak sekadar kontrak politik, bagi-bagi kekuasaan dan proyek. Pangan adalah ”soal hidup atau matinya bangsa kita”, demikian yang disampaikan Proklamator kita.
Baca juga : Mahalnya Beras di Lumbung Pangan Nasional
Dwi Andreas Santosa, Kepala Biotech Center IPB University; Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) dan Research Associate CORE Indonesia