Demokrasi dan Pilpres 2024: Di Mana Peran ”Ideologi”?
”Ideologi” menang-kalah terus mengakar dalam politik Indonesia dan punya peran besar dalam menentukan arah demokrasi.
Ilustrasi
Rakyat Indonesia baru saja memeriahkan ”pesta demokrasi” yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali sejak 2004 untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung. Dalam opini ini, saya ingin bertanya, di mana peran ”ideologi”?
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Opini saya bukan ditujukan untuk membahas ideologi politik pasangan capres dan cawapres yang berkontestasi di Pilpres 2024 dan implikasinya terhadap demokrasi di Indonesia. Bukan itu yang saya ingin bahas. Bukan karena ideologi sudah tidak lagi berperan dalam menentukan preferensi voters di Pilpres 2024 ini, layaknya Pilpres 2019.
Lokus ideologi yang saya maksud bukan di domain partai politik yang berkontestasi dalam Pilpres 2024, tetapi ”ideologi” yang tertanam dalam pilpres sebagai institusi demokrasi Indonesia hari ini.
Baca juga: Demokrasi Buruk Rupa
Layaknya Pilpres 2014, Pilpres 2024 juga akan menentukan kepala negara dan pemerintahan Indonesia yang baru karena secara konstitusional presiden hanya bisa menduduki jabatannya selama dua periode. Namun, ada yang berbeda. Jika pada Pilpres 2014 presiden petahana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kala itu tidak ”campur tangan” dalam pilpres, presiden petahana saat ini, Joko Widodo, justru sebaliknya. Lalu apa masalahnya?
Saya ingin runut ini jauh ke belakang, ke reformasi 1998. Semangat utama reformasi adalah penurunan Soeharto dari kekuasaannya sebagai presiden selama 32 tahun. Demokratisasi adalah jalan yang diambil saat itu melalui Sidang Istimewa (SI) MPR pada 10-13 November 1998, yang penyelenggaraan dan hasil sidangnya pun mendapatkan penolakan dari banyak kelompok serta memakan korban jiwa.
Namun, itu fakta sejarah politik reformasi Indonesia. Bahwa selain reformasi itu berdiri di atas banyak korban pahlawan reformasi, institusi demokrasi di Indonesia hari ini berdiri atas konsensus dalam menerima hasil SI MPR 1998 tersebut.
Sidang Istimewa MPR 1998 itu menetapkan pemilu umum legislatif (pileg) dipercepat untuk dilaksanakan di tahun berikutnya. Yang berbeda dengan Pileg 1999 ini dengan pileg sebelumnya adalah ”ideologi”-nya.
Pemilu 1999 bukan lagi sebatas ”pesta demokrasi” yang Soeharto wacanakan, yang ”kemeriahan” penyelenggaraannya dirasakan oleh publik, tetapi hasilnya ”dirayakan” oleh segelintir pemangku kekuasaan. ”Ideologi” di balik Pemilu 1999 adalah demokratisasi kekuasaan. Buktinya, 48 partai politik dengan ideologi partainya masing-masing ikut berpartisipasi, bukan hanya tiga partai yang difusikan di bawah rezim Orde Baru.
Presiden dan wakil presiden di tahun 1999 masih dipilih melalui Sidang Umum MPR, empat bulan setelah pemilu selesai. Pilpres 1999 ini juga untuk demokratisasi kekuasaan. Namun, ”koalisi partai” juga sudah ada sejak Pilpres 1999, salah satunya adalah dibentuknya ”poros tengah” yang merupakan koalisi partai-partai Islam.
Di sini logika elektoral menang-kalah dalam agenda reformasi Indonesia mulai terintis. Terpilihnya ”poros tengah” dengan kandidatnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden tentu tidak semata-mata menggugurkan ”ideologi” reformasi untuk demokratisasi kekuasaan. Hal ini karena melalui amendemen UUD 1945 yang berlangsung sejak 1999 hingga 2002, pembatasan kekuasaan secara horizontal (trias politica) mulai dilembagakan.
Tren mundurnya demokrasi di Indonesia sudah menjadi konsensus banyak pengamat politik Indonesia.
Agenda pilpres untuk dipilih langsung oleh rakyat baru terwujud di tahun 2004. Itu pun dalam proses persiapannya bukan tanpa kompromi politik. Suksesnya penyelenggaraan Pilpres 2004 mendapat pujian dari banyak media nasional dan mancanegara. Indonesia dikenal sebagai negara demokratis yang baru dengan penyelenggaraan pemilunya yang sangat kompleks itu.
Indeks demokrasi Indonesia pun tercatat secara konsisten membaik hingga 2015 menurut perhitungan dari Freedom House dan Economist Intelligence Unit. Indeks ini tentu banyak indikatornya. Penyelenggaraan dan hasil pilpres menjadi penentu positif dalam indeks demokrasi tersebut, seperti ketika terpilihnya SBY pada 2004 dan Jokowi pada 2014.
Ironisnya, indeks demokrasi Indonesia menurun sejak 2016, di bawah Presiden Jokowi yang sejak terpilih pada 2014 menjadi harapan bagi gerakan masyarakat sipil yang prodemokrasi dan HAM. Tren mundurnya demokrasi di Indonesia sudah menjadi konsensus banyak pengamat politik Indonesia.
Jika Pilpres 2014 menjadi sebuah penantian untuk Indonesia yang lebih demokratis di tangan presiden yang baru, Pilpres 2024 membawa kekhawatiran bagi masyarakat sipil prodemokrasi dan HAM. Kembali pada poin pertanyaan yang saya sampaikan di awal, apa masalahnya?
”Ideologi” menang-kalah, itu jawabannya. ”Ideologi” menang-kalah dalam pilpres mulai terlembaga menjadi aturan main dan tersemat dalam presidential threshold untuk pencalonan capres dan cawapres sejak 2004. Pembahasan pembentukan koalisi-koalisi menjadi topik hangat yang selalu diperbincangkan tidak hanya oleh partai politik sendiri, tetapi juga media, akademisi, hingga ojek online yang sedang menunggu customer. Pembahasannya tidak satu-dua bulan sebelum pilpres, tetapi satu hingga dua tahun sebelumnya.
Baca juga: Pemilu 2024 dan Pendewasaan Demokrasi
Tentu, aturan main presidential threshold dan konsekuensi pembentukan koalisi-koalisi itu bukanlah sebuah kegagalan reformasi sebagai upaya demokratisasi kekuasaan, jika aturan main itu dilakukan secara fair. Sebagai pemain dalam kontestasi politik, kemenangan adalah hal yang ingin dituju.
Betul sekiranya jika koalisi yang besar diharapkan akan mendatangkan banyak suara pula. Karena rakyat sebagai pemilih yang memiliki loyalitas atau rasa simpatik pada partai tertentu—meskipun tidak semua melek politik—akan memilih pasangan capres-cawapres dari koalisi partai yang mereka dukung. Sehingga pembentukan koalisi-koalisi sah-sah saja untuk mendapatkan suara terbanyak dalam kerangka ”ideologi” menang-kalah.
”Ideologi” menang-kalah tidak hanya kemudian mengatur mekanisme pilpres, tetapi justru menjadi justifikasi cara-cara pemain untuk menang dan menghindari kekalahan. Mencapai kemenangan menjadi sebuah keharusan, apalagi jika ingin bermain saja sudah banyak yang harus dikorbankan, mulai dari modal waktu dan finansial, idealisme partai politik, hingga harapan rakyat. Tidak bisa dimungkiri juga bahwa kecurangan dalam pemilu bukan hal yang aneh.
Di situ letak permasalahannya. ”Ideologi” baru menang-kalah terus mengakar dalam politik Indonesia. Ideologi ini punya peran besar dalam menentukan arah demokrasi Indonesia ke depan. Pilpres (dan pemilu secara umum) yang di awal era Reformasi adalah sebuah mekanisme politik dengan ”ideologi” untuk demokratisasi kekuasaan telah menjadi alat untuk menyerang prinsip-prinsip demokrasi yang dicita-citakan itu.
’Ideologi’ menang-kalah tidak hanya kemudian mengatur mekanisme pilpres, tetapi justru menjadi justifikasi cara-cara pemain untuk menang dan menghindari kekalahan.
Apakah pilpres kali ini sebuah ”pesta demokrasi”?
Pembentukan koalisi-koalisi itu tidak cukup untuk menang dalam pilpres kali ini, mengingat petahana juga ”campur tangan”. Toh, si pemenang sudah ditentukan sebelum permainan dimulai.
Solusinya bukan sekadar rakyat harus pintar-pintar memilih ataupun menggugat aturan main (presidential threshold) dengan ”ideologi” menang-kalah itu. Faktanya, sudah banyak inisiatif yang dilakukan untuk mencerdaskan rakyat tentang politik dan ada pula yang bahkan sudah menggugat aturan main itu.
Sekarang, sudah saatnya pemain-pemain yang kalah dalam pilpres ini mendorong perubahan aturan main yang lama untuk mengembalikan roh reformasi demokratisasi kekuasaan. Masalahnya, apakah si pemenang mau?
Muhammad Ammar Hidayahtulloh, Kandidat Doktor Ilmu Politik University of Queensland
Twitter: muhammadammarh_