Memahami Suara dan Kuasa Tuhan
Suara rakyat, suara Tuhan. Suara rakyat dikeramatkan karena dianggap manunggal dengan suara Tuhan.
Peran kaum intelektual dan terpelajar selama ini tak terlihat secara kasat mata. Kontribusi mereka secara ekonomi mungkin tak terlihat secara nyata. Tetapi, kebijaksanaan, pemikiran, ide, gagasan, ”pena”, serta suara mereka adalah sumber dan inspirasi bagi kemajuan, peradaban, kesejahteraan, inovasi, teknologi, dan tentu pertumbuhan ekonomi bangsa.
Apa yang akhir-akhir ini nyaring disuarakan oleh para profesor dan akademisi dari Universitas Gadjah Mada (Petisi Bulaksumur), Universitas Indonesia (Deklarasi Kebangsaan), Universitas Hasanuddin, Universitas Andalas, Universitas Lambung Mangkurat, dan pernyataan sikap kampus-kampus yang lain secara substansial adalah hal lumrah.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Sebaliknya, jika ada yang kontra dengan pandangan dan atau sikap tersebut, juga merupakan hal yang biasa. Dalam perspektif etis dan ilmiah, semua itu baik dan patut untuk didengar serta diapresiasi.
Hanya saja, sayangnya, karena sedang hiruk-pikuk pesta demokrasi, oleh akademisi yang ”masuk angin” dan memiliki kepentingan (politik) tertentu, itu dikapitalisasi dengan dibumbui, dikemas, diamplifikasi, dan dibelokkan ke arah yang sesuai dengan kepentingannya.
Hal ini kemudian oleh pihak lain dipandang sebagai hal yang merugikan, mendiskreditkan, menyerang, dan tendensius secara politik. Jadilah aspirasi akademisi dan intelektual yang asalnya suara emas dan merdu jadi suara sumbang. Bukan oleh ”penyanyi”-nya, tapi oleh ”penumpang gelap” (free riders).
Sudah menjadi hukum alam demokrasi bahwa pemenang kontestasi adalah yang menerima suara terbanyak dari rakyat pemilih.
Suara rakyat, suara Tuhan
Pesta demokrasi sepertinya selesai lebih cepat dari perkiraan. Tidak seperti pesta lainnya, pesta demokrasi ternyata menyebabkan suhu politik menghangat, bahkan mungkin di beberapa kelompok memanas. Bukan karena melelehnya es di kutub utara atau perubahan iklim, tetapi karena kontestasi berebut suara dan kuasa Tuhan yang konon menyatu dengan suara rakyat.
Vox populi, vox dei. Suara rakyat suara Tuhan. Suara rakyat dikeramatkan karena dianggap manunggal dengan suara Tuhan. Suara rakyat dinilai jadi penentu nasib dan takdir seseorang, kelompok, partai, golongan, dan bangsa, di masa depan.
Dengan berpegang pada prinsip ”Tuhan tidak akan mengubah (nasib) suatu kaum tanpa kaum tersebut mengubahnya”, nasib harus diperjuangkan dengan merebut suara rakyat. Takdir harus dijemput. Bahkan direbut.
Dengan segala cara. Dengan segala daya. Dengan segala upaya. At all cost.
Para kontestan pemilu tak ragu sedikit pun untuk mengeluarkan dana besar. Jor-joran. Ugal-ugalan. Menurut catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk ikut berkontestasi menjadi bupati atau wali kota, seseorang butuh biaya Rp 20 miliar-Rp 30 miliar.
Sementara untuk menjadi (calon) gubernur diperlukan Rp 20 miliar-Rp 100 miliar. Itu pun belum termasuk biaya ”lain-lain” yang dikeluarkan pihak lain atau sumber lain yang patut diduga dimaksudkan untuk memengaruhi dan mengambil hati (suara) rakyat, khususnya oleh calon-calon petahana.
Untuk menjadi (calon) presiden? Allahu-a’lam!.
Untuk menjadi (calon) anggota legislatif beda lagi ceritanya. Untuk dapat terpilih menjadi anggota DPR RI dari daerah prestisius dan persaingan ketat diperlukan dana hingga Rp 40 miliar. Konon, sebagaimana banyak dipublikasikan, ada yang ”hanya” mengeluarkan Rp 25 miliar dan tak terpilih. Sebaliknya, ada juga yang hanya bermodal kecil, di bawah Rp 1 miliar, tetapi tetap terpilih.
Rata-rata, untuk ”aman” dan terpilih menjadi anggota DPR dibutuhkan dana (resmi dan dilaporkan) sekitar Rp 10 miliar.
Apalagi, pada Pemilu 2024 ini dimungkinkan untuk memberikan alat peraga kampanye (APK) maksimal senilai Rp 100.000. Untuk memengaruhi dan mendapatkan 100.000 suara/pemilih agar ”aman” menjadi anggota DPR RI perlu disiapkan APK sebesar 100.000 x Rp 100.000 atau Rp 10 miliar. Itu pun belum jaminan.
Sebaliknya, yang hanya mengeluarkan biaya dan atau APK sekadarnya juga tetap mungkin terpilih karena, konon, popularitas seseorang juga sangat menentukan meskipun tetap saja untuk menjadi orang populer perlu modal.
Di tengah gelontoran APK senilai miliaran rupiah, baik yang secara langsung maupun tak langsung diterima oleh rakyat (pemilih), pasti tidak sedikit rakyat yang tergoda. Bahkan tak sedikit pemilih yang memilih menjual (diri) suaranya.
Suara rakyat yang asal mulanya bersumber dari lubuk hati paling dalam dan kejujuran (karenanya disebut sebagai suara Tuhan), akibat godaan yang sangat kuat dan terus-menerus serta terstruktur, masif, dan sistematis (TMS) oleh syahwat berkuasa dan atas nama demokrasi, harus bergeser menjadi suara yang bersumber dari hati paling luar atau bahkan dari bawah hati.
Peran kaum intelektual dan terpelajar selama ini tidak terlihat secara kasat mata.
Mereka menjadi sangat pragmatis. Visi, misi, ide, gagasan dan program-program kontestan tidak ada gunanya. Janji-janji kampanye pun tidak menjadi pertimbangan. Semua masih kemungkinan. Belum tentu. Hanya harapan. Boleh jadi hanya pepesan kosong. Pasti tidak pasti. Pemilih, mungkin, hanya ingin yang pasti-pasti saja. Daripada tak mendapatkan apa-apa di kemudian hari, lebih baik mendapatkan sesuatu (termasuk APK) pada saat ini dan kemarin-kemarin.
Istilahnya, mereka menjual masa depan dengan harga sekarang. Dengan harga obral lagi. Mungkinkah suara Tuhan manunggal dengan suara rakyat yang demikian? Allahua’lam.
Pasti tak semua rakyat dan pemilih seperti itu. Masih cukup banyak rakyat yang mempertahankan idealismenya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Mereka punya daya tahan yang cukup tinggi terhadap berbagai godaan. Iman kuat, imun dahsyat. Mereka memilih karena dorongan hati nurani.
Mereka tidak memilih hanya untuk kepentingan pribadi hari ini dengan menukar suara dengan harga murah, tetapi untuk kepentingan pribadi dan bangsa pada masa depan.
Mereka tidak hanya memikirkan nasib mereka pada hari ini dan mungkin tahun ini, tetapi lebih dari itu juga nasib anak cucu dan cicit mereka 25, 50, bahkan 100 tahun mendatang. Apakah masih bisa hidup aman, damai, sentosa, sejahtera, dan bahagia di bumi pertiwi Indonesia, dan juga masih tetap gemah ripah loh jinawi?
”Sustainable voters”
Dalam bahasa kekinian, mereka adalah rakyat atau pemilih berkelanjutan. Sustainable voters. Pemilih atau rakyat yang membeli masa depan dengan harga sekarang. Bukan hanya masa depan di dunia dan di hadapan manusia, akan tetapi juga di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sustainable voters umumnya berasal dari kalangan (kaum) terdidik dan terpelajar serta intelektual. Mereka adalah mahasiswa, santri, sarjana, guru, ustaz, dosen, akademisi, kiai, profesor, dan para alim ulama.
Mereka dikenal dan dicirikan sebagai orang-orang yang konsisten dan istikamah di jalan ilmu dan pengetahuan serta teguh dalam memegang prinsip dan nilai-nilai kebenaran (ilmiah), kebaikan, kebangsaan, kejujuran, kemanusiaan, keadilan, persatuan, kemaslahatan, serta berpikir sistematis dan komprehensif, baik secara naqliah maupun aqliah.
Karena kesibukannya memikirkan (persoalan) alam semesta serta mengembangkan ide dan gagasan untuk mewujudkan peradaban dunia yang mulia; mereka tidak sempat untuk menghujat dan menyalahkan orang lain, apalagi sampai mencari kambing hitam.
Mereka ”layak” disebut pewaris dan pelanjut peran dan fungsi kenabian. Mereka tidak berpikir, berucap, dan bertindak, serta memilih karena dorongan hawa nafsu, tetapi karena bimbingan hati nurani yang bersih dan suci. Wama yanthiqu ‘anil hawa. Suara mereka adalah suara Langit(an).
Dalam catatan sejarah, kaum terpelajar dan intelektual terbukti menjadi mesin penggerak utama perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia dan berkontribusi signifikan dalam perumusan konstitusi negara.
Mereka juga mengorbankan jiwa dan raganya, dengan gagah berani terjun ke medan laga mempertahankan kemerdekaan, berperan penting dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, serta aktif dalam pemberdayaan masyarakat dan pengembangan komunitas.
Suara rakyat dikeramatkan karena dianggap manunggal dengan suara Tuhan.
Jadi, jangan pernah mempertanyakan apa yang sudah mereka kontribusikan bagi bangsa dan negara. Memang, kontribusi secara ekonomi tidak terlihat secara nyata. Juga, saat ini, tidak pernah ikut berperang mengangkat senjata. Tetapi, tanpa mereka, Indonesia boleh jadi tidak semaju dan sehebat saat ini.
Peran kaum intelektual dan terpelajar selama ini tidak terlihat secara kasat mata. Mereka banyak bekerja dalam hening dan sunyi di laboratorium, studio, ruang kerja, sekolah, pesantren, kampus, dan bahkan di kamar uzlah di keheningan malam. Mereka menghindari keramaian yang berpotensi mengganggu kejernihan pikiran dan kebersihan hati nurani.
Mereka cenderung menjaga jarak dari kekuasaan yang berpotensi untuk mengooptasi dan mereduksi daya kritis serta menggerus nalar dan akal sehat karena kehabisan waktu untuk berzikir, berpikir dan mengasah kepekaan. Tetapi, jika krisis terjadi dan ”panggilan jihad” dikumandangkan, mereka siap terjun ke medan laga dan mengorbankan jiwa dan raga.
Seperti arek-arek dan kaum terpelajar Suroboyo yang tidak gentar menghadapi tentara Sekutu yang ingin menjajah kembali Indonesia, kaum terpelajar dan intelektual saat ini juga siap untuk membebaskan bangsa ini dari penjajahan dan ketergantungan dari bangsa lain.
Meskipun kalangan terpelajar dan intelektual ini sangat kuat dalam memegang prinsip dan idealisme, tetapi karena godaan dan kencangnya angin berembus, ada juga yang ”masuk angin”. Tidak banyak, tapi cukup berpengaruh. Mereka sangat lihai memanfaatkan momentum dan peluang. Apalagi, di kampus yang terdapat banyak aliran pemikiran dan perbedaan, ini jadi hal lumrah.
Baca juga : Pemilih Bermartabat
Ada tesis, ada antitesis. Ada penemuan (search) ada penemuan kembali (research). Bahkan, ada banyak pilihan untuk mengembangkan sebuah hipotesis. Tergantung teori dan hasil riset terdahulu mana yang dipakai dan diyakini.
Sudah menjadi hukum alam demokrasi bahwa pemenang kontestasi adalah yang menerima suara terbanyak dari rakyat pemilih. Suara rakyat itulah yang mengantarkan seseorang menjemput takdir menerima mandat dari rakyat. Dalam konteks demokrasi, suara rakyat manunggal dengan kuasa Tuhan. Siapa yang terpilih di bumi, terpilih (juga) di langit.
Pertanyaannya, suara rakyat yang manakah yang mengantarkan kontestan merebut hati dan kuasa Tuhan? Semoga suara rakyat yang suara Tuhan. Sebab, bila tidak, demokrasi hanya sebatas jual beli mandat rakyat. Naudzubillah.
Mohammad Nasih,Guru Besar FEB dan Rektor Universitas Airlangga