Visi Kesehatan Indonesia
Anggaran kesehatan kita masih sangat rendah. Belanja untuk kesehatan selama ini hanya 3,2 persen dari PDB.
Kesehatan merupakan salah satu aspek penting bagi kehidupan manusia. Meskipun sehat bukan segalanya bagi seseorang, tanpa kesehatan yang baik, segala sesuatu tak ada artinya.
Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan, setiap warga negara berhak mendapat pelayanan kesehatan sebaik-baiknya, tanpa memandang status sosial dan ekonomi.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Hal ini penting karena hidup sehat merupakan bagian dari hak asasi manusia dan kesehatan bagi warga negara merupakan investasi masa depan yang penting untuk kelangsungan dan kejayaan suatu bangsa.
Masalah kesehatan saat ini
Dewasa ini, Indonesia dihadapkan pada berbagai masalah kesehatan serius yang harus ditangani sebaik-baiknya. Mulai dari masalah penyakit menular, seperti tuberkulosis (TBC), demam berdarah, malaria; hingga penyakit tidak menular, seperti penyakit jantung, diabetes, dan stroke; masalah kurang gizi kronis, seperti tengkes (stunting); serta tidak meratanya pelayanan kesehatan.
Indonesia urutan kedua terbanyak jumlah penderita TBC di dunia setelah India; kemudian diikuti China, Filipina, Pakistan, Nigeria, Bangladesh, dan Republik Kongo. Berbagai upaya dan program yang ditempuh pemerintah belum mampu menekan angka kasusnya.
Data Status Gizi Indonesia juga mengungkapkan, prevalensi tengkes mencapai 21,6 persen pada anak usia di bawah lima tahun (balita). Ini menunjukkan bahwa hampir satu dari setiap empat anak balita di negeri ini mengalami tengkes.
Indonesia juga menempati peringkat kelima kasus diabetes terbanyak di dunia, mencapai 0,7 juta kasus pada 2019, dan 19,5 juta kasus pada 2021.
Saat ini, penyakit jantung koroner dan stroke menempati urutan pertama penyebab kematian di Indonesia, disusul dengan penyakit infeksi dan metabolik.
Hasil riset juga menunjukkan, prevalensi perokok aktif di Indonesia meningkat dari 18,8 persen (GYTS, 2019) menjadi 22,04 persen (BPS, 2022). Ini menempatkan Indonesia di peringkat ketiga jumlah perokok aktif terbesar di dunia, setelah China dan India.
Jika kita cermati, visi dan misi para capres dan cawapres yang maju pada Pilpres 2024 masih terlalu umum dan sangat teknis.
Indikator kesehatan
Salah satu indikator kesehatan suatu negara berdasarkan Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia/IPM) adalah life expectancy (angka harapan hidup/AHH).
AHH sejak dilahirkan mencerminkan kondisi kesehatan penduduk, rata-rata umur penduduk, dan kualitas pelayanan kesehatan. Saat ini, AHH penduduk Indonesia masih tergolong rendah di antara negara-negara ASEAN, yakni 72 tahun. Sebagai perbandingan, Singapura 84,13 tahun, Thailand 79,68 tahun, dan Malaysia 78,26 tahun. Pemerintah menargetkan AHH Indonesia 80 tahun pada 2045 saat tercapainya Indonesia Emas.
Ini target yang perlu diapresiasi. Namun, perlu kerja keras untuk mewujudkannya. Tidak hanya dari sektor kesehatan, tetapi juga dari sektor lain, seperti ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Indikator kesehatan lainnya adalah angka kematian ibu (AKI), angka kematian bayi (AKB), dan kemudahan akses mencapai pelayanan kesehatan. AKB Indonesia saat ini cukup tinggi, yakni 16,9 per 1.000 kelahiran hidup. Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Singapura, yakni 1,8 per 1.000 kelahiran hidup. Untuk AKI, Indonesia ada di urutan ketiga tertinggi dunia, yakni 207 per 1.000 kelahiran, di atas Myanmar dan Laos.
Visi capres
Jika kita cermati, visi dan misi para capres dan cawapres yang maju pada Pilpres 2024 masih terlalu umum dan sangat teknis. Ketiga pasangan telah menyusun berbagai program untuk perbaikan tingkat kesehatan masyarakat, tetapi tidak secara rinci mengemukakan target terukur yang akan dicapai pada masa lima tahun pemerintahannya.
Program dimaksud mulai dari peningkatan cakupan pelayanan kesehatan yang selama ini belum merata melalui penguatan dan revitalisasi puskesmas di tingkat layanan primer, upaya perbaikan gizi, kesehatan ibu dan anak, penanggulangan tengkes, pemenuhan dan pemerataan tenaga kesehatan (nakes), pembiayaan kesehatan melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), dan kemudahan akses layanan kesehatan untuk pemerataan pelayanan kesehatan.
Penguatan peran dan fungsi puskesmas sebagai garda terdepan dalam pelayanan kesehatan merupakan program yang sangat strategis. Ini karena paradigma pelayanan kesehatan harus mengutamakan fungsi promotif dan preventif, bukan kuratif (pengobatan), sehingga akan dapat memperbaiki derajat kesehatan secara umum dengan mengutamakan pencegahan penyakit.
Puskesmas yang telah dibangun sejak puluhan tahun lalu belum menjalankan peran dan fungsinya secara optimal. Penguatan peran puskesmas harus meliputi SDM, program-program sanitasi lingkungan, dan pembiayaan.
Wacana setiap desa memiliki minimal satu fasilitas kesehatan (faskes) dan satu nakes disampaikan pasangan nomor urut 3. Ini berarti diperlukan program penataan SDM kesehatan, termasuk proses pendidikan nakes serta distribusinya ke seluruh Tanah Air. Tersedianya fasilitas yang lengkap tidak banyak artinya tanpa disertai penyediaan nakes yang cukup dan kompeten dalam pelayanan kesehatan.
Pencegahan tengkes
Pasangan nomor urut 1 dan 3 menargetkan penurunan tengkes pada anak, dari 21,6 persen menjadi 11-12,5 persen dan dari 21,6 persen menjadi 9 persen. Target yang cukup optimistis, yang pencapaiannya harus melibatkan banyak sektor, termasuk pemerintah daerah tingkat provinsi, kabupaten/kota, hingga kecamatan dan desa.
Namun, untuk janji pendampingan ibu hamil sampai 1.000 hari kehidupan bayi/anak, dipertanyakan. Sebab, siapa yang akan mendampingi ibu hamil yang jumlahnya 4,5 juta per tahun? Tak mungkin dilakukan hanya oleh nakes di puskesmas. Akan diperlukan pekerja sosial (social worker) dan sukarelawan kesehatan yang jumlahnya sangat banyak serta tentu perlu biaya yang tak sedikit.
Strategi yang tepat untuk menjangkau daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan, seperti program ”dokter terbang” masih luput dari ketiga pasangan.
Persoalannya, anggaran kesehatan kita masih sangat rendah. Belanja untuk kesehatan (healthexpenditure) kita selama ini hanya 3,2 persen dari PDB, jauh lebih rendah daripada Vietnam (6 persen dari PDB). Negara maju, seperti AS dan Jerman, angkanya 15-20 persen.
Belum lagi ditambah dengan hilangnya ketentuan terkait pembiayaan wajib untuk kesehatan (mandatory health spending) di UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang belum lama ini disahkan DPR. Padahal, sebelumnya biaya kesehatan dialokasikan 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD.
Pasangan nomor urut 2 menjanjikan membagikan susu dan makanan siang gratis bagi anak sekolah SD, SMP, SMA, dan pesantren. Program ini sebenarnya tak akan otomatis memperbaiki status gizi karena status gizi anak dipengaruhi banyak faktor, seperti pendidikan dalam keluarga, ekonomi, dan lingkungan.
Perlu diingat, pencegahan dan mengatasi tengkes harus dilakukan pada anak usia balita dan lebih efektif dimulai pada 1.000 hari kehidupan sejak janin dalam kandungan. Oleh karena itu, menangani tengkes dengan pemberian susu dan makan siang gratis kepada anak sekolah tak akan efektif.
Masalah penting lain yang kita hadapi adalah mengatasi kekurangan dokter di Indonesia. Gagasan membangun 300 fakultas kedokteran baru dan mengirim 10.000 lulusan SMA untuk sekolah dokter di luar negeri adalah gagasan yang kurang realistis dan sulit dilaksanakan.
Program layanan konsul keliling yang diajukan pasangan nomor urut 3 menarik untuk dicermati karena memerlukan penjelasan lebih rinci apa yang dimaksud program itu untuk penduduk Indonesia yang berjumlah 275 juta jiwa dan secara geografis tersebar di ribuan pulau dan daerah terpencil.
Apakah yang dimaksud adalah adanya unit pelayanan berjalan (mobile) seperti puskesmas keliling yang memberikan pelayanan kesehatan bergiliran di daerah tertentu? Atau, semacam puskesmas terapung yang menjangkau masyarakat daerah kepulauan dan terpencil?
Kesehatan mental dan kesehatan jiwa juga tak luput dari perhatian para capres-cawapres. Mungkin disadari, di era globalisasi dengan masalah kehidupan yang semakin kompleks, ke depan akan banyak rakyat di negeri ini mengalami masalah kejiwaan dan mental.
Strategi yang tepat untuk menjangkau daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan, seperti program ”dokter terbang” masih luput dari ketiga pasangan. Tes kesehatan gratis yang diprogramkan pasangan nomor urut 2 juga tak terlalu jelas dan bersifat terlalu umum. Juga belum ada gagasan yang jelas terkait kebijakan terhadap tembakau/rokok dari ketiga pasangan capres-cawapres.
Secara umum, visi-misi dan program para capres-cawapres tampaknya tak terlepas dari visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045 di bidang kesehatan yang menargetkan pada 2045 Indonesia harus menguasai teknologi kesehatan, memahami perilaku hidup sehat, mencapai cakupan kesehatan semesta (universal health coverage), dan mengeliminasi malaria.
Namun, sayangnya, aspek kemajuan teknologi informasi di bidang kesehatan tak dibahas secara khusus. Padahal, sistem pelayanan kedokteran/kesehatan jarak jauh, telemedicine/telehealth, sangat diperlukan untuk Indonesia yang penduduknya tersebar di ribuan pulau dan secara geografis sulit mencapai pusat pelayanan kesehatan, seperti puskesmas dan rumah sakit.
Baca juga: Keadilan Layanan Kesehatan Masih Jadi Pekerjaan Rumah
Sukman Tulus PutraGuru Besar FKUI, Ketua Perhimpunan Kardiologi Anak Indonesia Anggota Dewan Pertimbangan PB IDI.