PM Benjamin Netanyahu ngotot mengerahkan pasukan Israel ke Rafah, berkelindan dengan skenario depopulasi Gaza.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Israel berkeras akan menggempur Rafah, perbatasan Gaza-Mesir, dengan serangan darat. Ini indikasi kuat, Israel ingin mengosongkan Gaza dari orang-orang Palestina.
Komunitas internasional, termasuk negara-negara Barat, telah menyerukan kepada Israel agar mengurungkan keinginan menggempur Rafah lewat darat. Bisa dipastikan, serangan itu akan menimbulkan bencana kemanusiaan tak terperi. Kini, Rafah satu-satunya wilayah yang tersisa di Gaza sebagai tempat pengungsian sekitar 1,4 juta warga Palestina.
Namun, pertimbangan kemanusiaan sudah nihil di benak Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu. Bagi dia, Rafah area terakhir persembunyian tokoh-tokoh Hamas, termasuk si pemimpin, Yahya Sinwar. Hanya dengan menggempur Rafah, begitu kalkulasi Netanyahu, Israel memenangi perang.
Keinginan Netanyahu untuk menyerbu Rafah berkelindan dengan ambisi para politisi ekstrem kanan di Israel yang sejak awal perang Gaza mendorong depopulasi Gaza dari warga Palestina. Dalam skenario mereka, perang saat ini menjadi kesempatan untuk mengusir warga Palestina dari Gaza—Gurun Sinai di Mesir jadi incaran guna menampung warga Gaza—untuk kemudian diduduki lagi seperti sebelum tahun 2005.
Wajar, dari sejumlah negara yang menentang rencana serangan darat Israel, Mesir paling keras. Kementerian Luar Negeri Mesir menyebut serangan ke Rafah menggambarkan sikap Israel untuk menggusur warga Palestina dari Gaza. Kairo memperingatkan Israel untuk tidak mencoba tindakan sistematis mengusir warga Gaza ke Sinai. Bagi Mesir, ini garis merah yang tak bisa ditawar (Ahram Online, 11-12/2/2024).
Keinginan Netanyahu untuk menyerbu Rafah berkelindan dengan ambisi para politisi ekstrem kanan di Israel yang sejak awal perang Gaza mendorong depopulasi Gaza dari warga Palestina.
Bahkan, meski belakangan dibantah oleh Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry, dua pejabat Mesir dan diplomat Barat mengungkap ancaman Kairo untuk membekukan perjanjian damai Mesir-Israel 1979 jika Israel nekat menyerbu Rafah. Perjanjian diteken Presiden Mesir Anwar Sadat dan PM Israel Menachem Begin pada 1979 di Washington, AS, menyusul Kesepakatan Camp David 1978.
Televisi Al-Arabiya, mengutip sumber-sumber yang tidak disebutkan identitasnya, juga melaporkan, jika Netanyahu benar-benar memerintahkan militernya menggempur Rafah lewat serangan darat, Mesir akan meninjau kembali dan menurunkan level hubungan diplomatik dengan Israel. Mesir dilaporkan telah mengerahkan puluhan tank dan kendaraan tempur infanteri ke sekitar Sinai (Kompas.id, 13/2/2024).
Tak hanya garis merah bagi Mesir, terusirnya warga Palestina dari Gaza—jika Israel menyerbu Rafah—juga sensitif bagi negara-negara Arab lain. Ini akan menguak kembali memori kelam nakba tahun 1948 saat sekitar 700.000 warga Palestina terusir dari tanah kelahiran seiring berdirinya negara Israel.
Seperti diuraikan Aluf Benn, Pemimpin Redaksi Haaretz (Foreign Affairs, 7/2/2024), nakba kedua di Gaza menjadi bagian dari skenario kelompok ekstrem kanan yang saat ini memerintah Israel untuk menjadikan Gaza sebagai lahan baru permukiman Yahudi. Atas dasar semua, rencana Israel menyerbu Rafah harus ditentang keras dan dicegah.