Banyak pekerja rentan yang belum menerima bantuan. Tak cukup dengan BSU, mereka butuh perlindungan yang lebih luas.
Oleh
RAZALI RITONGA
·3 menit baca
Di tengah maraknya penyaluran bantuan sosial kepada penduduk miskin oleh pemerintah belakangan ini, ada sekelompok pekerja rentan yang berharap mendapatkan bantuan, seperti bantuan subsidi upah (BSU) dan Kartu Prakerja. Mereka yang mengharapkan BSU itu ialah sebagian pekerja rentan (vulnerable workers) yang umumnya belum tercatat sebagai peserta jaminan sosial ketenagakerjaan (Kompas, 25/1/2024).
Pekerja rentan yang tidak tercatat sebagai peserta pekerja rentan itu umumnya bekerja di sektor informal dengan berusaha sendiri, menjadi pekerja keluarga yang tidak dibayar, pekerja bebas di pertanian, dan pekerja bebas nonpertanian. Pekerja rentan di Tanah Air cenderung meningkat dari 41,08 persen pada Agustus 2019 menjadi 44,96 persen pada Agustus 2023. Faktor Covid-19 diperkirakan berkontribusi besar terhadap peningkatan pekerja rentan di Tanah Air.
Ditengarai dari total pekerja rentan 44,96 persen itu, cukup banyak yang tidak menjadi peserta jaminan sosial sehingga tidak menerima BSU. Padahal, pendapatan pekerja rentan tidak memadai dan umumnya berada di bawah garis kemiskinan, khususnya buruh atau pekerja berpendidikan sekolah dasar (SD) ke bawah. Padahal, mayoritas pekerja rentan berpendidikan SD ke bawah.
Berdasarkan hasil Survei Buruh Agustus 2023, pendapatan per kapita per bulan buruh SD ke bawah sebesar Rp 2,03 juta. Sementara itu, garis kemiskinan per Maret 2023 Rp 550.468. Ini berarti buruh dan istri dengan dua anak hampir dapat dipastikan seluruh anggota rumah tangganya di bawah garis kemiskinan atau berstatus miskin.
Secara faktual, Indonesia kini dihadapkan kepada pekerja miskin (working poor) yang cukup besar, misalnya, dibandingkan dengan sejumlah negara di ASEAN. Tercatat, pekerja miskin di Tanah Air sebesar 27,16 persen, Vietnam 7,8 persen, dan Filipina 18,2 persen. Kriteria pekerja miskin itu didasarkan kepada ukuran paritas daya beli 3,10 dollar AS per hari (UNDP, 2018).
Pada tahap lanjut, terlewatkannya pekerja rentan dan miskin untuk mendapatkan bantuan akan menyebabkan dampak serius terhadap peningkatan kualitas hidup penduduk secara keseluruhan. Akibatnya, pembangunan manusia menjadi kurang optimal yang pada gilirannya akan berpengaruh buruk kepada produktivitas bangsa dan pembangunan ekonomi.
Urgensi perlindungan sosial
Sepatutnya memang, pekerja rentan perlu dilindungi agar tidak terjerat kesejahteraan rendah. Untuk itu, pekerja rentan sejatinya tidak cukup hanya dengan BSU yang itu pun belum terpenuhi. Mereka juga membutuhkan perlindungan sosial yang lebih luas, yang mencakup asuransi sosial (social insurance), bantuan sosial (social transfer), dan minimum standar kerja (minimum labor standards).
Lebih jauh, perlindungan sosial akan menginisiasi rumah tangga pekerja rentan berinvestasi pada kegiatan produktif dan modal manusia yang pada tahap lanjut akan meningkatkan produktivitas dan pendapatan nasional dan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi. Ini berarti akan terjadi relasi yang saling menguatkan (mutually reinforcing) antara perlindungan sosial dan pertumbuhan ekonomi.
Pekerja rentan sejatinya tidak cukup hanya dengan BSU yang itu pun belum terpenuhi. Mereka juga membutuhkan perlindungan sosial yang lebih luas.
Sebaliknya, akan terjadi relasi yang saling melemahkan (mutually stifling) akibat perlindungan sosial rendah berakibat ekonomi rendah. Beban sosial, seperti kemiskinan dan gangguan kesehatan justru akan menjadi tinggi akibat perlindungan sosial rendah dan menurunkan kemampuan menggerakkan pembangunan ekonomi.
Secara faktual, perlindungan sosial juga merupakan investasi dengan pengembalian (return on investment) yang cukup besar terhadap penurunan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi. Namun, sayangnya, faktor positif dari pelindungan sosial itu belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Pada tataran global, Organisasi Buruh Internasional (ILO, 2014) memperkirakan hanya 27 persen pekerja rentan di sektor informal yang memiliki akses terhadap perlindungan sosial.
Harapan perbaikan nasib
Harapan perbaikan nasib pekerja rentan di Tanah Air kini berada di pundak para capres-cawapres yang berkontestasi pada Pilpres 2024. Namun, jika dicermati dari visi-misi para capres-cawapres tentang ketenagakerjaan, harapan perbaikan nasib pekerja rentan tampaknya belum optimal akan dilakukan.
Secara faktual, hal itu diketahui dari pencermatan terhadap visi-misi ketiga pasangan capres-cawapres, yang bersamaan tidak menyebutkan secara spesifik program jaminan sosial bagi pekerja. Adapun yang paling banyak disebutkan ialah penciptaan lapangan kerja, pelindungan pekerja, peningkatan upah dan kesejahteraan pekerja, dan peningkatan kualitas pekerja.
Padahal, dalam periode lima tahun ke depan yang paling dibutuhkan bukan hanya meningkatkan pelindungan sosial bagi pekerja (rentan) berupa program jaminan sosial bagi pekerja. Namun, yang diperlukan adalah mewujudkan pekerjaan layak (decent work). Hal ini sejalan dengan Tujuan 8 Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pada 2030. Ini berarti diperlukan upaya secara signifikan mengurangi pekerja rentan dan mempromosikan pekerjaan layak.
Menurut ILO, pekerjaan layak itu mencakup sejumlah aspek, yaitu kesempatan kerja produktif dengan upah layak, prospek pengembangan diri, kondisi aman bekerja, kebebasan beraspirasi, dan turut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan bagi kehidupan pekerja.
Lebih jauh, pekerjaan layak merupakan instrumen penting dalam meluruskan peta jalan menuju Indonesia Emas 2045. Diimpikan bahwa pada 2045 pendapatan per kapita mencapai Rp 320 juta atau Rp 27 juta per bulan. Amat diharapkan, presiden dan wakil presiden yang terpilih nanti dapat memberikan kontribusi besar dalam meluruskan peta jalan Indonesia menjadi negara maju.
Razali Ritonga, Pemerhati Fenomena Sosial-Kependudukan; Alumnus Georgetown University, AS, dan Lemhannas RI