Ihwal Keserakahan: Celeng dan Manusia Kerdil
Perilaku celeng yang menakutkan dan merusak itu menjadikannya simbol ketamakan dan keserakahan.
”Dalam dunia modern yang cair, sering kali masalah politik terbesar adalah ketidakcukupan perangkat yang kita miliki untuk memerangi kekacauan.”
Zygmunt Bauman (1925 – 2017)
Di banyak negara, khususnya di mana sistem politiknya belum membudaya, menjelang akhir sebuah rezim yang berkuasa, warna pergolakan sering menjadi warna utama.
Bagi Zygmunt Bauman (1925-2017), sosiolog Polandia yang hidup dalam tiga masa peradaban dunia—Holocaust (1941-1945), postmodernisme (1990-an), dan masa kini—pergolakan-pergolakan tersebut merupakan kelanjutan, bukan ”menggantikan” karakter zaman-zaman sebelumnya.
Yang berbeda adalah kecepatannya. Bauman menyebut semua pergolakan itu sebagai liquid modernity (modernitas yang cair), di mana kehidupan menjadi seperti cairan, mudah dibentuk, tetapi secara bersamaan juga sulit untuk mempertahankan bentuk tersebut (Bauman, 2000).
Salah satu beban dari masyarakat yang mengalami liquid modernity adalah merosotnya gagasan demokrasi. Proses globalisasi (yang negatif) telah melemahkan hak-hak dan identitas kaum minoritas; kekuasaan tersebar ke seluruh penjuru, tidak lagi ”terlokalisasi” di satu tempat saja.
Solusi atas kondisi ketidakpastian, kesendirian, serta ketakutan akan masa depan masyarakat, tidak lagi diketemukan dalam lembaga. ”Masyarakat pun tidak lagi dilindungi oleh negara; sendirian, mereka dihadapkan pada keserakahan kekuatan, yang tidak dapat dikontrolnya” (Bauman, 2006).
Dalam dunia modern semacam itu, publik pun tidak memiliki perangkat yang cukup untuk memerangi kekacauan, yang dalam konteks tulisan ini adalah ”keserakahan” atau ”ketamakan”. Orang hanya dapat bereaksi belaka terhadap ”cairnya dunia” (baca: ”cairnya nilai-nilai”), tanpa mampu bertindak secara independen. Itulah yang membuat kemanusiaan menjadi tidak pasti.
Dalam penafsiran lintas sejarah, liquid modernity itu pun akan menghasilkan ”manusia-manusia kerdil” (lihat Moh Hatta, Demokrasi Kita, 1960).
Perilaku celeng yang menakutkan dan merusak itu menjadikannya simbol ketamakan dan keserakahan.
Fenomena keserakahan dan kemanusiaan yang makin kerdil inilah, yang mencuat menjelang Pemilu 2024. Masyarakat sudah menjadi seperti cairan, di mana warna ketidakpastian—bahkan ketidakpastian yang bisa melumpuhkan dan mengganggu perkembangan—justru semakin menguat.
Cèlèng-nya Djoko Pekik
Paul Ricoeur mengatakan, mengambil jarak atau distansiasi adalah syarat untuk mengetahui dan memahami lebih dalam (Ricœur, 1991). Ketika orang mengambil jarak dengan sesuatu, baik secara spasial maupun emosional, ia bisa melihat gambar yang lebih besar (the bigger picture).
Dengan jiwa senimannya, dalam kurun tiga tahun (1996-1999), Djoko Pekik (1939-2023), perupa dari Yogyakarta, membuat tiga lukisan dengan tema cèlèng atau babi hutan: Susu Raja Celeng (1996), Indonesia 1998: Berburu Celeng (1998), dan Tanpa bunga dan Telegram Duka: Tahun 2000 (1999).
Meski menurut Djoko Pekik ia hanya melukiskan kejadian orang berburu celeng di sekitar kampung halamannya, di Purwodadi, Jawa Tengah, bila ditilik dari tahun-tahun terciptanya karya seni itu, semua tahu siapa yang dimaksud dengan cèlèng dalam tiga lukisannya itu.
Lukisan Susu Raja Celeng (1996), dengan obyek utama celeng raksasa dengan perut sudah menggelembung dan gendut, serta enam susu yang sudah mentes-mentes disedot anak-anaknya, yang tampak belum merasa kenyang. Sementara di seberang ada ribuan manusia—simbol dari rakyat—berjubel.
Tampaknya, mereka hendak menangkap si celeng. Namun, ada jurang yang lebar di antaranya sehingga si celeng tidak dapat ditangkap.
Lukisan yang dibuat ketika terjadi gejolak politik 1996, dan kemudian disusul dengan peristiwa berdarah penyerangan kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia tanggal 27 Juli 1996 itu, ingin menggambarkan ”seorang penguasa yang serakah”, yang ingin mempertahankan kekuasaan sekuat-kuatnya tanpa rakyat bisa berbuat apa-apa (Sindhunata, 2000).
Pada lukisan kedua, Indonesia 1998: Berburu Celeng (1998), melalui konteks Indonesia tahun 1998, Djoko Pekik ”menamatkan“ riwayat si celeng rakus yang telah mengeruk kekayaan dengan cara korupsi dan praktik-praktik politik yang kotor. Ada dua hal yang menarik dari lukisan ini. Ia dilukis dalam format yang jauh lebih lebar daripada lukisan pertama: 300 x 500 sentimeter (cm) berbanding 180 x 150 cm.
Mungkin, ini merupakan gambaran psikologis Djoko Pekik, yang merasa marem (Jawa: puas), karena bisa mengekspresikan kemarahannya kepada rezim Orde Baru, yang tidak hanya telah berkuasa secara sewenang-wenang, tetapi juga telah menyengsarakan dirinya dan menstigma dirinya sebagai ”eks-tahanan politik” (Florida, 2008).
Kemudian, latar belakang lukisan ini pun gelap. Tampaknya Djoko Pekik masih merasakan ketidakpastian mengenai masa depan, bahkan cenderung lebih suram, pasca-”kematian” celeng itu. Tanpa niat meramal, celeng itu dijadikan sebuah ikon, yang bisa membantu kita membuka borok-borok kejahatan Orde Baru (korupsi, kolusi, nepotisme) dan turunannya yang ternyata membayangi masyarakat Indonesia sampai hari ini (Sindhunata, 2000).
Lukisan ketiga, Tanpa Bunga dan Telegram Duka: Tahun 2000 (1999), adalah bayangan bagaimana akhir hidup penguasa yang serakah. Celeng raksasa itu membusuk menjadi santapan gagak dan lalat. Bangkainya tergeletak di daerah terpencil dan bergunung-gunung, jauh dari orang-orang. Tak ada yang melayat dan menabur bunga serta ucapan dukacita. Akhir riwayat pemimpin yang kejam dan serakah mestinya seperti itu: dilupakan orang.
Melalui tiga lukisan tentang celeng itu, Djoko Pekik ingin menceritakan pengalaman kelamnya selama dasawarsa 1990-an. Ini semacam upaya ”eksorsisme”, ritual mengusir roh jahat dari tubuh manusia (Florida, 2008).
Perembetan kejahatan semacam keserakahan itu diungkapkan oleh tradisi Jawa sebagai kutukan: Lengji lengbeh, celeng siji celeng kabeh, artinya, ”yang satu menjadi ‘celeng’, semuanya menjadi celeng ”.
Celeng masih ada
”Celeng-celeng”-nya Djoko Pekik itu masih tetap ada. Di kalangan masyarakat petani, hewan pemakan segala, yang lebih sering menjadi perusak ladang dan sawah dan menjadi musuh besar petani itu, juga diyakini sebagai jelmaan kekuatan setan. Ada mitos mengenai ilmu babi ngepet, sejenis ilmu pesugihan, yaitu yang dapat membuat orang menjadi kaya dengan mengeruk harta orang lain tanpa ketahuan.
Konon, di desa kelahiran Djoko Pekik, celeng jadi-jadian—disebut celeng gontheng—suka mendatangi orang yang punya hajatan karena di sana ada banyak uang sumbangan dari para undangan. Si babi ngepet dapat menyedot semua uang dan barang sumbangan itu untuk memperkaya diri dan keluarganya.
Maka, mereka yang ingin menjadi kaya tanpa batas dan tanpa kerja keras mencoba memiliki ilmu pesugihan ini.
Syaratnya, ia harus bersekutu dengan setan, kekuatan jahat. Dengan ilmu babi ngepet, orang dapat mengubah dirinya menjadi celeng jadi-jadian (Sindhunata, 2000). Perilaku celeng yang menakutkan dan merusak itu menjadikannya simbol ketamakan dan keserakahan.
Roh keserakahan
Salah satu sisi menarik sejarah Indonesia adalah bahwa pernah ada satu masa sepanjang 32 tahun yang diperintah hanya oleh satu orang.
Namun, di periode selanjutnya, yang disebut sebagai ”masa transisi” sepanjang 25 tahun, terdapat lima orang dengan masa jabatan yang berbeda-beda. Salah satu hasil Reformasi adalah pembatasan masa jabatan presiden sebanyak dua periode. Hingga saat ini ada dua orang yang menjabat dua periode berturut-turut, yakni Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) dan Presiden Joko Widodo (2014-2024).
Yang menarik, hampir dalam setiap pergantian selalu muncul berbagai pergolakan, entah akibat dari bentuk upaya nepotisme, pengaturan undang-undang, penyelewengan anggaran negara, dan banyak ”keganjilan-keganjilan” lain, tersamar atau kasat mata, yang semuanya merupakan akibat dari keserakahan.
Kata pepatah Latin, Radix enim omnium malorum est cupiditas (Sebab, akar dari segala kejahatan adalah keserakahan)! Keserakahan merupakan hasrat untuk memiliki hal-hal material (harta) dan non-material (kekuasaan) lebih dan lebih banyak lagi.
Sesungguhnya keserakahan itu adalah kekuatan impersonal yang merusak tata kehidupan bersama manusia (Mahamboro, 2013). Dalam bahasa teologi, kekuatan ini disebut sebagai ”si jahat” (Inggris: evil), ”iblis” (Yunani: diabolos), atau ”setan” (Yunani: satanas), yang oleh orang kebanyakan dibayangkan sebagai makhluk yang bisa berkomunikasi dengan manusia, dan menggodanya untuk melakukan hal-hal yang buruk.
Namun, sebetulnya iblis atau setan yang dibayangkan seperti itu lebih merupakan personifikasi dari ”si jahat”, atau ”kekuatan-kekuatan jahat”.
Awalnya, keserakahan muncul dari tindakan individual. Namun, karena kodrat sosial manusia, keserakahan tersalurkan ke dalam aneka bentuk relasi antarmanusia sehingga akhirnya mewarnai struktur sosial. Corak seperti ini membuat keserakahan menjadi daya transpersonal, yang mendistorsi dunia sosial dan budaya masyarakat.
Ia berubah menjadi kejahatan sosial dan kultural. Penjajahan, kolonialisme, segala bentuk ketidakadilan, dan penyalahgunaan kekuasaan (antara lain dalam bentuk nepotisme) adalah hasil keserakahan sebagai kejahatan sosial dan kultural. Untuk apa orang ingin berkuasa, kalau tidak ingin memiliki lebih dan lebih lagi? Kekuasaan hanyalah sarana aktualisasi keserakahan.
Sesungguhnya keserakahan itu adalah kekuatan impersonal yang merusak tata kehidupan bersama manusia
Keserakahan itu pun merembet ke mana-mana, dari tingkat paling bawah sampai ke tingkat paling atas. Di ruang publik, misalnya, orang tidak lagi malu-malu memosterkan seluruh keluarganya sebagai anggota legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif.
Perembetan kejahatan semacam keserakahan itu diungkapkan oleh tradisi Jawa sebagai kutukan: ”lengji lengbeh, celeng siji celeng kabeh”, artinya, ‘yang satu menjadi ‘celeng’, semuanya menjadi celeng’. Itulah roh keserakahan. Orang bilang, keserakahan tak pandang bulu. Ia ternyata juga bisa merasuki orang yang semula tampak alim dan baik.
Dengan merujuk pada konsep Bauman mengenai liquid modernity, masyarakat yang tak lagi dilindungi oleh negara (terutama dalam bidang nilai-nilai dan hukum), secara sendirian harus menghadapi keserakahan sebagai kekuatan yang tidak dapat dikendalikannya. Itulah situasi masyarakat kita saat ini!
”Manusia kerdil”
Melalui trilogi lukisan celeng, Djoko Pekik mencoba membedah ’roh celeng’ yang menghinggapi penguasa. Tidak ada orang yang melayat dan menabur bunga, serta memberi ucapan duka cita pada akhir riwayat pemimpin yang kejam dan tamak itu. Ia dilupakan orang, tak pernah di-’slameti’, yang dalam tradisi Jawa, merupakan sebuah kutukan!
Mungkin kita mudah menemukan contoh-contoh ketamakan atau keserakahan pada orang-orang yang terkena kasus korupsi. Pada umumnya, mereka bukan orang yang tidak punya uang. Justru karena mereka sudah punya uang banyak, mereka ingin menumpuk kekayaan lebih banyak lagi.
Keinginan dan kehausan ini mendorong mereka melakukan tindakan kriminal, bahkan sampai berani melakukan kekerasan dan pembunuhan.
Keserakahan yang ditebarkan oleh roh celeng mungkin bisa dikatakan sebagai kefasikan publik (public vice). Ini bukan perkara satu dua orang yang punya sifat atau tabiat buruk serakah.
Penyebaran roh keserakahan ini pun ikut merusak generasi-generasi berikutnya. Di Indonesia, misalnya, ada laporan pada tahun 2020, bahwa makin banyak pelaku korupsi dilakukan oleh pihak swasta (artinya, bersama dengan pejabat publik), dan mereka yang masih berusia muda (artinya, ’belum lama bekerja’).
Antidot dari kefasikan publik adalah keutamaan publik (public virtue), yang sebetulnya menjadi spirit utama republik kita. Namun, kita telanjur menjadi saksi sejarah bahwa spirit Republik telah pudar dan hilang dalam kuasa manusia yang berjiwa kerdil, tulis Sukidi di harian Kompas (2/11/2023).
Ia mengutip kegelisahan Mohammad Hatta (1902-1980), pendiri dan proklamator Republik, yang menulis, ”Suatu masa yang besar telah dilahirkan oleh abad, tetapi masa besar itu menemui manusia kerdil” (Moh Hatta, 1960).
Hatta, yang mengutip kata-kata itu dari pujangga Jerman, Johann Christoph Friedrich von Schiller (1759-1805), merasakan kebenarannya, ketika di era tahun 1950-1955, di satu sisi, melihat perkembangan pembangunan Indonesia, dan di sisi lain juga melihat kemunculan politisi-politisi berpikiran praktis, yang suka melakukan politisasi (Belanda: verpolitiseering) di berbagai bidang kehidupan sosial (Feith, 2007).
Tidak ada orang yang melayat dan menabur bunga, serta memberi ucapan dukacita pada akhir riwayat pemimpin yang kejam dan tamak itu.
”Manusia kerdil” menunjuk pada orang-orang yang masuk ke sistem demokrasi negara republik, tetapi mereka tak tahu, apa itu hakikat ”republik”, yang berarti ‘kepentingan umum‘ (res publica), bukan kepentingan sekelompok orang atau golongan, apalagi keluarga.
Manusia kerdil tidak akan menjadi seorang pemimpin demokratis, kendati ia hidup di dalam negara republik yang demokratis. Meski lebih halus dari ungkapan ’celeng’, ’manusia kerdil’ yang muncul dari keserakahan itu, menunjuk pada fenomena yang sama: manusia yang ditaklukkan dan dikalahkan oleh ego dirinya sendiri; manusia yang tak kuasa memunculkan pijar-pijar keutamaan. Sampai hari ini, ternyata manusia-manusia kerdil masih memegang tampuk-tampuk kepemimpinan nasional.
Lawan dari manusia kerdil adalah manusia utama, manusia berjiwa besar, manusia mulia, manusia bermartabat.
Di manakah manusia-manusia mulia itu bisa kita temukan dalam rentang sejarah Indonesia? Apakah dalam Pemilu 2024 nanti, kita bisa mendapatkan kembali kemampuan kita untuk bertindak, untuk memilih secara rasional, dan tanpa rasa takut akan arah yang harus kita ambil, karena, seperti yang ditulis oleh penyair Spanyol, Antonio Machado (1875-1939), ”caminante no hay camino, camino se hace al andar” (Hai pejalan kaki, tidak ada jalan; jalan itu harus dibuat dengan berjalan.).
Baca juga : Amanat Ratu Adil
Baca juga : Runtuhnya Manusia Publik
D Bismoko Mahamboro,Dosen Teologi Moral Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta; S-3 Leopold-Franzen-Universität, Innsbruck, Austria