Biaya pendidikan yang kian mahal menjadi keprihatinan masyarakat. Warga mencemaskan masa depan anak mereka.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Di level pendidikan tinggi, keluhan kian tak terjangkaunya uang kuliah terus disuarakan mahasiswa dan orangtua tiap tahun. Dukungan pemerintah yang mengecil karena keterbatasan kemampuan APBN membuat perguruan tinggi dituntut mandiri. Hal ini menuntun pada komersialisasi yang membuat biaya pendidikan kian melambung serta sulit dijangkau kelompok menengah ke bawah.
Kondisi ini memperlebar ketimpangan, membatasi mobilitas vertikal sosial-ekonomi masyarakat bawah. Dengan rasio penduduk berpendidikan S-2 dan S-3 terhadap populasi produktif 0,45 persen, sulit bagi kita bicara transformasi menuju Indonesia Emas. Upaya mengatasi ketertinggalan terus dilakukan, termasuk memperbanyak program beasiswa dan hibah, serta pengiriman mahasiswa belajar di dalam dan luar negeri. Namun, jumlahnya masih jauh dari mencukupi.
Tahun 2018, Presiden Jokowi mendorong perbankan lebih banyak lagi menyalurkan kredit pendidikan, termasuk menjajaki skema student loan, seperti diterapkan di AS. Namun, wacana student loan itu tak jelas perkembangannya. Yang muncul justru solusi pragmatis kerja sama perguruan tinggi dengan lembaga pinjaman daring, yang kemudian memicu polemik dan aksi protes mahasiswa karena memberatkan dan tak etis, atau berpotensi memunculkan problem baru.
Penyaluran pinjaman pendidikan sebenarnya sudah dilakukan segelintir bank besar, tetapi masih terbatas. Keengganan terhadap skema student loan, selain karena belum ada payung hukum, juga ada kekhawatiran apa yang berlangsung di AS akan terjadi di Indonesia. Hal itu ialah tingginya gagal bayar atau kredit macet yang bisa mengancam perekonomian. Pemerintah pun dipaksa melakukan penghapusan, penangguhan, atau keringanan utang pendidikan bermasalah ratusan miliar dollar AS.
Kita tak tahu student loan—dengan pembayaran kembali baru dilakukan setelah mahasiswa lulus dan bekerja—pilihan paling tepat. Jika iya, kita perlu memastikan payung hukum yang kuat dan bagaimana implementasi serta mitigasi risikonya agar pengalaman buruk AS tak terjadi di Indonesia.
Sebanyak 44 juta lebih warga AS terjebak dalam pinjaman pendidikan senilai total 1,74 triliun dollar AS per September 2023. Sekitar 70 persen mahasiswa bergantung pada student loan, yang baru bisa mereka lunasi dalam puluhan tahun.
Pinjaman pendidikan bisa dikatakan tak memberatkan jika skemanya sederhana, syaratnya mudah, bunga rendah, dan tenor panjang. Swedia, Jerman, Finlandia, Norwegia, Denmark, dan Perancis adalah contoh negara yang mengenakan bunga rendah, bahkan nol persen, untuk utang pendidikan.
Pendidikan adalah public goods dan bagian penting dari investasi pembangunan masa depan. Perlu komitmen kuat pemangku kepentingan untuk mewujudkan pemerataan pendidikan yang berkeadilan. Termasuk komitmen anggaran yang cukup dan keberpihakan. Jangan sampai komersialisasi pendidikan memakan lebih banyak lagi korban anak bangsa.