SDM unggul, penguasaan iptek, dan inovasi berkelanjutan menjadi kebutuhan Indonesia di masa depan.
Oleh
OVA EMILIA
·3 menit baca
Pembangunan sumber daya manusia unggul, berdaya saing, serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bisa diwujudkan melalui pendidikan dan penelitian berkualitas. Investasi pembangunan masa depan ini memerlukan komitmen bersama untuk mewujudkan, termasuk melalui peran strategis institusi pendidikan tinggi.
Pemerintah telah menggiatkan program pendanaan pendidikan melalui beasiswa seperti Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) ataupun program lain. Namun, rasio peserta pendidikan tinggi terhadap populasi produktif dinilai masih sangat rendah.
Data statistik pendidikan tinggi 2020 menunjukkan, Indonesia memiliki 4.593 lembaga pendidikan tinggi yang mampu menampung sekitar 3,7 juta lulusan SMA/SMK per tahun. Namun, dari kuota itu, hanya 58 persen yang berhasil terisi (Kompas, 18/1/2024).
Presiden Joko Widodo dalam pembukaan Konvensi Kampus XXIX dan Temu Tahunan XXV Forum Rektor Indonesia, Senin (15/1/2024), di Surabaya, juga menyebutkan, rasio penduduk Indonesia berpendidikan S-2 dan S-3 terhadap populasi produktif masih sangat rendah, yakni 0,45 persen, dibandingkan Vietnam dan Malaysia 2,43 persen serta negara maju 9,8 persen.
Data 2022 bahkan menunjukkan, tingkat pendidikan pekerja di Indonesia masih didominasi oleh lulusan sekolah dasar (Kompas, 1/6/2023).
Pendidikan dan penelitian memegang peran penting untuk mendukung transformasi sosial menuju Indonesia Emas. Pembangunan untuk menyongsong Indonesia Emas ini memerlukan peningkatan jumlah SDM berkualitas yang unggul, berdaya saing, menguasai iptek, serta mampu meningkatkan kualitas inovasi.
Minimnya animo melanjutkan pendidikan pascasarjana tentu berdampak bagi pengembangan penelitian di Indonesia.
Untuk mewujudkannya, pemerintah meminta peran serta aktif pendidikan tinggi, termasuk semua pihak, agar mengoptimalkan penelitian dan pengembangan (R&D) di lingkungan kampus.
Di institusi pendidikan tinggi, penelitian menjadi domain utama program pembelajaran jenjang pascasarjana. Sayangnya, penyelenggaraan program pascasarjana belum menjadi prioritas bagi sebagian besar pendidikan tinggi, yang lebih cenderung mengutamakan program pendidikan jenjang sarjana.
Motivasi mahasiswa menempuh pendidikan pascasarjana pun beragam, mulai dari meningkatkan keterampilan (skills) dan kompetensi sebagai peneliti, mendapat keleluasaan peluang kerja, jenjang karier, hingga aspek kelas sosial.
Namun, ironinya, lulusan program pendidikan pascasarjana juga masih mengeluhkan minimnya peluang kerja dan keberlanjutan jenjang karier. Ditambah besaran beasiswa dan hibah penelitian yang dinilai belum mencukupi bagi mahasiswa, hal itu menjadi alasan lain rendahnya minat masyarakat melanjutkan pendidikan ke jenjang pascasarjana.
Pendidikan pascasarjana disebut sebagai salah satu penopang pengembangan penelitian di Indonesia. Minimnya animo melanjutkan pendidikan pascasarjana tentu berdampak bagi pengembangan penelitian di Indonesia. BRIN (2022) menyebutkan, rasio jumlah peneliti di Indonesia 199 per satu juta penduduk dan Malaysia 503 peneliti per satu juta penduduk.
Minimnya jumlah peneliti di Indonesia tersebut tentu berdampak bagi pengembangan inovasi dan ilmu pengetahuan hingga jumlah paten yang dihasilkan di Indonesia.
Pendidikan dalam konteks
Sudah menjadi kesepakatan bersama, SDM unggul, penguasaan iptek, dan inovasi berkelanjutan menjadi kebutuhan Indonesia di masa depan.
Jika melihat kesenjangan rasio pendidikan terhadap populasi penduduk usia produktif, negeri ini tentu masih memiliki pekerjaan besar untuk mewujudkannya.
Pekerjaan ini perlu pemikiran strategis dan sinergis, baik dari institusi pendidikan tinggi, pemerintah, industri, maupun masyarakat. Sudah saatnya institusi pendidikan tinggi diletakkan dalam ”konteks masalah” agar mampu memberikan solusi bagi problem kenegaraan.
Pertama, pemerintah bisa memperkuat fungsi institusi pendidikan tinggi sebagai pencetak SDM unggul dan penghasil riset inovatif yang berujung pada hilirisasi melalui program pascasarjana. Perubahan perspektif ini bisa menjadi bentuk keberpihakan pemerintah pada institusi pendidikan tinggi.
Kedua, pemerintah perlu meningkatkan anggaran R&D dengan menggandeng institusi pendidikan tinggi dan industri untuk hilirisasi.
Wacana pemerintah untuk meningkatkan beasiswa dan pembiayaan penelitian juga patut untuk diapresiasi. Pemerintah juga akan menggandeng BRIN sebagai orkestrator bagi perguruan tinggi untuk meningkatkan R&D. BRIN (2022) bahkan menargetkan adanya peningkatan SDM iptek berkualifikasi S-3 sebesar 20 persen pada tahun 2024.
Ketiga, pemerintah perlu memberikan program pemandatan bagi perguruan tinggi yang kapabel untuk mengelola pendidikan pascasarjana sehingga memiliki kualitas dan komposisi jumlah mahasiswa pascasarjana lebih besar.
Pendidikan dan penelitian memegang peran penting untuk mendukung transformasi sosial menuju Indonesia Emas.
Penjaringan animo mahasiswa bisa dimulai sejak mereka menempuh pendidikan sarjana sehingga skema pembiayaan terencana.
Pendidikan dan penelitian yang diarahkan untuk mewujudkan SDM unggul harus ditopang dengan kultur dan ekosistem penelitian berkualitas, inovasi, serta hilirisasi.
Proses ini tidak hanya menjadi mandat institusi pendidikan tinggi, tetapi memerlukan dukungan dari semua pihak, termasuk negara, industri, dan masyarakat, agar Indonesia mampu mengejar ”ketertinggalan” pendidikan untuk mencetak SDM unggul masa depan.