logo Kompas.id
Opini”Nyebar Udhik-udhik”
Iklan

”Nyebar Udhik-udhik”

Orang-orang saling sikut dan berebut (”salang tunjang”) hingga menyebabkan sang dermawan ikut terjerembap ke tanah.

Oleh
HERI PRIYATMOKO
· 4 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/j_k-QoYaiTI0pb_7QpWk-AJq3Fo=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F02%2F06%2Fc6e61bc4-46e8-4ae6-9b66-26528b6d2b40_jpg.jpg

Hari-hari ini, yang kian membuat terbelalak kaum cerdik pandai ialah pembagian bantuan sosial atau bansos oleh Presiden Joko Widodo. Jelang pencoblosan pemilu 14 Februari 2024, bansos bak banjir bandang, sampai mengalahkan saat Covid-19 menerjang negeri ini beberapa tahun lalu.

Bansos membanjiri masyarakat bawah, tanpa lupa dibumbui apologi bahwa kucuran beras tersebut guna menanggulangi kemiskinan yang melilit. Dari catatan Kompas (23/1/2024), untuk tahun 2024 sudah dianggarkan hampir Rp 496,8 triliun dana bansos dalam berbagai sektor.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Mantan Wali Kota Solo itu bahkan telah merencanakan pengucuran bansos hingga pemilu putaran kedua demi menjaga kondisi ekonomi masyarakat.

Pekat kepentingan

Tak pelak, mencuat penafsiran atas realitas sosial yang dinilai pekat dengan kepentingan terselubung tersebut.

Interpretasi ini terbangun atas dua fakta keras bahwa buah hati Presiden Jokowi turut tampil di gelanggang pemilu tahun ini. Juga pernyataan teranyar mantan juragan mebel itu bahwa dirinya boleh turut berkampanye. Dan, karena tidak netral, berarti jelas-jelas dia memihak kepada salah satu pasangan calon (paslon) yang maju pada pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2024.

Kenyataan bagi-bagi bansos yang dilakukan Presiden Jokowi ini langsung membawa ingatan kita pada fenomena historis nyebar udhik-udhik yang lazim dilakoni oleh raja Jawa di masa silam.

Penduduk yang tinggal di kampung halaman Presiden Jokowi menyimpan memori kolektif mengenai kegiatan menyebar uang yang acap dinantikan kalangan akar rumput di era kerajaan.

Saking fenomenalnya aksi ini kala itu, tidak kurang indolog Gericke en Roorda menaruh terminologi udhik-udhik dalam kamus Javaansch-Nederduitsch Woordenboek (1847). Lema ini artinya: ’(uang) ada baiknya dibuang dan diperebutkan’.

Kenyataan bagi-bagi bansos yang dilakukan Presiden Jokowi ini langsung membawa ingatan kita pada fenomena historis nyebar udhik-udhik yang lazim dilakoni oleh raja Jawa di masa silam.

Dari secuil penjelasan ini tergambar bahwa pemberian tersebut tidak dibagikan secara rapi dan tertib, tetapi disebarkan begitu saja dan menjadi ajang rebutan oleh barisan kawula.

Hampir seabad kemudian, Poerwadarminta melalui pustaka Bausastra Jawa (1939) mendokumentasikan semangat udhik-udhik untuk misi berderma (nyebar dhuwit minangka sedhekah).

”Kaisar Jawa”, julukan yang dialamatkan kepada raja Paku Buwana X (1893- 1939), memiliki kegemaran menyebar uang untuk rakyat semasa hidupnya. Naskah Sekar Wijaya Kusuma menyurat kebiasaan penguasa Keraton Kasunanan Surakarta itu saban malam Jumat, sekitar pukul 23.00, untuk turun lapangan.

Raja yang kaya raya lantaran pasokan pajak rakyat dan menyewakan tanah untuk perkebunan asing itu keluar istana ditemani permaisuri beserta segenap keluarga, mengelilingi kutharaja.

Dikawal oleh empat tentara Eropa berkuda dan sejumlah abdi dalem, tubuh Sinuwun mengitari kota diusung oleh kereta kerajaan yang ditarik jaran teji (kuda besar). Di hadapan raja, duduk dengan tenang Nyai Menggung (bupati perempuan) yang membawa bokor dipenuhi duit receh berupa uang sen.

Dijumpai panorama di pinggir jalan yang disesaki warga yang duduk berjongkok. Mereka rela menyemut demi melihat sosok junjungannya tersebut dari dekat, sekaligus menantikan aksi menyebarkan duit dari genggaman abdi dalem wanita itu.

Presiden Joko Widodo sedang membagikan amplop kepada buruh gendong dan warga pasar lainnya di Pasar Legi, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Kamis (20/4/2023). Selain amplop yang berisikan uang senilai Rp 250.000, bantuan yang diberikan juga berupa sembako.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO

Presiden Joko Widodo sedang membagikan amplop kepada buruh gendong dan warga pasar lainnya di Pasar Legi, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Kamis (20/4/2023). Selain amplop yang berisikan uang senilai Rp 250.000, bantuan yang diberikan juga berupa sembako.

Iklan

Pemberian berpamrih

Seumpama tuan dan puan penasaran bagaimana potret perjuangan wong cilik memperebutkan pemberian dari pihak istana, bisa melongok gelaran garebek sekaten di muka Masjid Agung Surakarta. Ritual warisan Kerajaan Demak ini juga diwarnai dengan rebutan gunungan.

Yang unik dan sungguh irasional, raja dipandang sebagai manusia ampuh dan membawa berkah sehingga uang yang berhasil diperebutkan itu tidak dipakai untuk jajan, tetapi disimpan sebagai azimat. Mereka yang kurang beruntung adalah yang jalan di dekat kampungnya tak dilewati kereta sang raja malam itu.

Kerumunan tersebut kemudian buyar, lantas warga kembali ke rumah masing-masing pukul 00.00.

Makin dicitrakan dermawan dan membangun kultus personal, penguasa tersebut juga membagikan uang kepada petugas kerajaan yang memikul amanah memukul gamelan di perhelatan Sekaten. ”Udhik-udhik lajeng sami karebat dhateng abdi dalem niyaga,” tulis Kartaasmara dalam Raja Meda (1922).

Di samping menimbulkan kebahagiaan, pemberian ”Ratu Jawa” juga berpamrih mengikat pelayan istana untuk meningkatkan kesetiaan, alih-alih menciptakan pemberontakan.

Disorot dari kacamata politik kolonial, Paku Buwana X saat itu dalam posisi terjepit. Intervensi Pemerintah Belanda sukar dibendung, terus menggerogoti kekuasaan kerajaan tradisional dari waktu ke waktu. Bahkan, rombongan safari politik (incognito) raja saat berkeliling Jawa dipangkas jumlahnya oleh Belanda, dengan dalih upaya penghematan. Dengan kenyataan pahit itu, nakhoda istana Kasunanan perlu getol menjaga kewibawaan di mata rakyat.

Dari kilas balik di atas, publik disadarkan bahwa pemberian dari tokoh istana (tercatat dalam karya pujangga) tempo doeloe acap diwarnai kepentingan sekalipun. tersamarkan.

Selain raja, udhik-udhik dipraktikkan pula oleh aristokrat berkantong tebal meski jarang dijumpai. Serat Centhini (1814-1823) mengisahkan Mas Cebolang menyebarkan uang dalam sebuah acara keramaian. Orang-orang saling sikut dan berebut (salang tunjang) hingga menyebabkan sang dermawan ikut terjerembap ke tanah.

Awal abad XX, di lingkungan kerajaan muncul aforisme ambedhah.

Diceritakan bahwa tokoh yang mencari atau menjaga nama baik dengan menyebar udhik-udhik atau dedana untuk warga miskin harus membedah gedhong atau ruang penyimpanan. Uang yang dibedah itu dinilai relatif tidak baik, tetapi bagi penerima dianggap bagus (Babasan lan Saloka, 1908).

Siasat politik

Sejarah menyediakan diri untuk menjadi cermin. Dari kilas balik di atas, publik disadarkan bahwa pemberian dari tokoh istana (tercatat dalam karya pujangga) tempo doeloe acap diwarnai kepentingan sekalipun tersamarkan.

Bahkan, ”pemberian cuma-cuma” sejatinya membawa konsekuensi bagi si penerima. Ia akan hormat, membalas pemberian itu dengan setimpal, atau sekadar mengingat kebaikannya.

Sebab itulah, bansos kian gencar dibagikan mendekati pencoblosan pemilu, tidak keliru sepenuhnya ”dibaca” oleh kalangan intelektual sebagai siasat politik penguasa yang kadung menyatakan diri tidak netral.

Baca juga: Bansos, dari Rakyat untuk Rakyat

Baca juga: Bansos, dari Bantuan Negara hingga Politisasi

Heri Priyatmoko,Dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma; Pendiri Solo Societeit

Heri Priyatmoko
ARSIP PRIBADI

Heri Priyatmoko

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000