Proyek ”Impossible” MLFF
Sistem bayar tol tanpa henti (MLFF) belum sesuai diterapkan di Indonesia karena kualitas layanan internet masih rendah.
Maunya ingin canggih, modern, tetapi sejatinya belum diperlukan. Inilah yang terjadi dengan proyek prestisius multi lane free flow (MLFF) atau bayar tol tanpa henti. Hasil pengujian di ruas tol Bali-Mandara, sistem kacau dan beberapa kali mobil menabrak gate saat dilintasi.
Ini mungkin yang menyebabkan mengapa proyek ini tidak selesai. Sejak Januari 2021 sudah ditentukan pemenang dengan penetapan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor PB.02.01-Mn/132 tanggal 27 Januari 2021. Pekerjaan ini ditargetkan selesai pada pertengahan 2022, tetapi tidak kelihatan perkembangannya sampai saat ini.
Proyek ini sudah diberi nama platform Cantas sejak akhir 2022 dengan tujuan untuk mengurai kemacetan dan mengurangi kepadatan di gardu tol, membuat database dan registrasi, serta penegakan hukum apabila terjadi pelanggaran. Tujuan lainnya untuk meningkatkan kecepatan rata-rata pengguna tol, mengurangi polusi karena emisi kendaraan tidak ada di gate, mempercepat pembayaran elektronik, menciptakan lapangan kerja pusat layanan pelanggan, dan membangun pusat big data untuk pengumpulan, penggunaan data, analisis, dan perkiraan lalu lintas.
Baca juga: Pembayaran Nontunai Nirsentuh Diterapkan 2024
Pelaksana proyek prestisius ini kerja sama Indonesia-Hongaria dengan biaya Rp 4,5 triliun dan dimenangi Roatex Ltd Zrt. Sebagai pemrakarsa proyek, Roatex Ltd Zrt bekerja sama dengan National Toll Payment Service Plc dan MFB Hungarian Dev Bank. Roatex kemudian membentuk PT Roatex Indonesia Toll System (RITS) sebagai mitra di Indonesia.
Direncanakan sebanyak 40 ruas tol akan memakai sistem nirsentuh MLFF berbasis teknologi global navigation satellite system (GNSS) dari Roatex Ltd Hongaria. Ruas tol itu adalah Tangerang-Merak, Jakarta-Tangerang, Kebun Jeruk-Penjaringan, Pondok Aren-Serpong, Tanjung Priok-Cawang-Tomang-Pluit, Ciawi-Sukabumi, Jakarta-Bogor-Ciawi-Sukabumi.
Berikutnya ruas tol Jakarta-Bogor-Ciawi, Jakarta-Cikampek, Semarang-Batang, Pemalang-Batang. Termasuk ruas tol Solo-Ngawi, Kertosono-Mojokerto, Surabaya-Mojokerto, Surabaya-Gresik, dan Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa. Total panjang tol yang akan mengimplementasikan teknologi ini mencapai 1.713 kilometer.
Terpikat promosi
Indonesia terpikat dengan teknologi ini karena Hongaria berhasil mengimplementasikan GNSS dan terintegrasi dengan beberapa negara Eropa lainnya. GNSS adalah teknologi satellite-based yang terhubung dengan internet, pengendara tinggal mengunduh dalam aplikasi ponsel agar bisa melewati gerbang tol secara otomatis tanpa berhenti meskipun dengan kecepatan tinggi.
Awalnya, Indonesia akan menggunakan teknologi radio frequency identification (RFID) karena lebih murah dengan biaya Rp 2,92 triliun untuk 1.713 km. Jepang, Malaysia, sebagian Eropa, dan Amerika Serikat juga menggunakan RFID.
Pada perkembangannya, Roatex mengusulkan menggunakan teknologi GNSS karena tidak diperlukan alat pembaca dan lebih cepat. Kenyataannya masih pula diperlukan alat yang dipasang di mobil, yakni on board unit (OBU) dengan biaya mencapai 350 dollar AS atau Rp 5 juta (kurs Rp 14.500 per dollar AS).
Sistem yang dibangun RITS ternyata belum andal. Jika ini dipaksakan dipakai, akan sangat membahayakan pengguna tol.
Pemrakarsa tampaknya lupa bahwa Indonesia berbeda jauh kendalanya dibandingkan dengan Hongaria. Kendala laten Indonesia adalah jaringan internet tidak stabil bahkan sering putus sehingga sangat membahayakan mobil dan penumpang di dalamnya. Pada uji coba di ruas tol Bali-Mandara, sistem tampak gagal mengidentifikasi mobil kedua dan akhirnya portal menutup sehingga mobil menabrak lengan portal.
Sebabnya tentu saja beberapa alasan: kecepatan sensor kalah cepat dengan mobil, kecepatan internet rendah, tidak stabil atau putus sesaat, dan bisa juga karena motor penggerak tuas tidak untuk peruntukan kecepatan seketika. Sistem yang dibangun RITS ternyata belum andal. Jika ini dipaksakan dipakai, akan sangat membahayakan pengguna tol bahkan berpotensi akan membuat korban jiwa. Tidak akan terbayang nanti klaim dan gugatan pengguna jalan tol kepada Jasa Marga.
Belum diperlukan
Jika melihat tingkat kesulitannya, proyek MLFF atau nirsentuh ini sama sekali tidak ada urgensinya karena masih banyak pekerjaan di tol yang perlu disempurnakan. Pengguna sebetulnya belum ada keluhan di gate tol berhubungan dengan akses kartu tol kendati lama karena volume tidak menjadi soal.
Pelanggan mengeluh jika dalam ruas tol setelah portal justru macet dan tidak bergerak. Sebabnya tentu saja karena penampang jalan tol tidak sesuai dengan waktu puncak kendaraan, dan ini karena tidak terintegrasinya perencanaan tol.
Persoalan lainnya adalah hilir tol, yaitu exit-nya yang mengalami penyumbatan dan menyebabkan kendaraan tidak bisa keluar tol, dampaknya kendaraan memenuhi seluruh ruas tol dan menyebabkan kemacetan. Ketidakimbangan hulu dan hilir ruas tol ini pun menunjukkan kelemahan sisi perencanaan dan hasilnya malah mengecewakan pengguna. Namun, pengguna sama sekali tidak bisa berbuat apa pun karena tol sudah dibangun dan terpaksa sekali menggunakannya karena tidak ada opsi lain.
Kelemahan mendasar ketidaksiapan Indonesia menggunakan MLFF adalah kualitas layanan internet. Speedtest Global Index (2021) melaporkan bahwa layanan internet Indonesia menjadi yang paling rendah di Asia Tenggara. Rata-rata kecepatan unduh internet bergerak Indonesia hanya 15,44 Mbps, sedangkan kecepatan unggah sebesar 9,16 Mbps dan latensi 28 ms. Kinerja internet Indonesia ini kalah jauh dari Kamboja dan Laos karena mereka memiliki kecepatan unduh sebesar 16,37 Mbps dan unggah 24,29 Mbps.
Baca juga: Teknologi Jalan Tol
Mengapa kecepatan internet Indonesia rendah, karena wilayah geografis Indonesia yang sangat luas dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara. Selain itu, faktor lainnya adalah bertambahnya pengguna internet di Indonesia yang cukup pesat sehingga memengaruhi kapasitas infrastruktur yang tersedia. Inilah yang menyebabkan pembangunan proyek infrastruktur telekomunikasi sangat diperlukan.
Jadi, sebetulnya kebutuhan MLFF itu belum saatnya dan belum diperlukan oleh pengguna tol Indonesia. Rakyat belum memiliki falsafah waktu adalah uang, tecermin dengan kebiasaan tidak tepat waktu di berbagai kesempatan.
Lihat saja jika ada undangan rapat di sekolah atau kampus negeri, pemerintah desa, sampai pemerintah pusat, undangan di kementerian, dan masih banyak instansi pemerintah lainnya, bersiapkan kecewa. Diundang pukul 13.30, mungkin kepala kantor, kepala daerah, pejabat lainnya baru akan tiba dan memulai rapat pukul 16.00 WIB.
Jika preferensi waktu sudah demikian buruk, lalu untuk apa MLFF. Maunya cepat malah celaka karena menabrak portal dan berpotensi mencelakakan lebih mengerikan lagi. Untuk apa?
Effnu Subiyanto, Dosen dan Peneliti Universitas Katolik Widya Mandala (UKWM) Surabaya