Elastisitas Permintaan Minyak
Pasar minyak internasional adalah contoh yang menarik dari fenomena elastisitas permintaan.
Satu topik menarik dari kuliah ekonomi dasar adalah elastisitas permintaan terhadap harga. Kenaikan harga barang tidak selalu membawa kenaikan penerimaan bagi produsen atau penjualnya. Sisi permintaan akan bereaksi dengan mengurangi pembelian, beralih ke produk pengganti atau bahkan mengurungkan pembelian jika harganya terlalu tinggi (Hutchinson [2017]).
Ini membuat pasar komoditas tetap contestable sehingga harga pasar relatif stabil, bahkan seandainya bentuk pasarnya monopolistis, oligopolistis (Schwartz [1986]). Monopolis harus mempertimbangkan kemungkinan inovasi dari pihak lain yang secara langsung maupun tidak langsung akan menghasilkan produk substitusi.
Oligopolis seperti OPEC harus memperhatikan peluang masuknya produk saingan jika harga yang ditetapkannya terlalu tinggi.
Oligopolis seperti OPEC harus memperhatikan peluang masuknya produk saingan jika harga yang ditetapkannya terlalu tinggi. Oleh sebab itu, kekompakan dalam kartel dalam koordinasi harga dan atau produksi merupakan syarat perlu.
Pasar minyak internasional adalah contoh yang menarik dari fenomena elastisitas permintaan. Harga minyak Brent turun dari 86 dollar AS per barel pada awal November 2023 menjadi 77 dollar AS per barel pada awal Februari 2024.
Namun, fluktuasi per minggu atau bahkan harian tetap tajam akibat berbagai faktor seperti konflik di Timur Tengah, naik-turunnya persediaan minyak di AS, pertumbuhan China, resesi di zona euro, dan lain-lain.
Pasar global
Prediksi Goldman-Sachs pada September 2023 bahwa harga Brent akan mencapai 100 dollar dalam 12 bulan tidak terwujud sampai akhir Januari 2024. Faktor pertama yang menghambat harga minyak Brent untuk mendekati 100 dollar AS per barel adalah ketidakkompakan OPEC.
Ini terlihat dari penundaan pertemuan OPEC dari 26 November ke 30 November 2023 karena ketidaksepakatan atas struktur biaya produksi. Keluarnya Angola dari OPEC adalah refleksi dari sulitnya mencapai kompromi dalam suatu kartel yang anggotanya mempunyai kepentingan berbeda-beda.
Faktor kedua adalah harga minyak yang terlalu tinggi membuat para pesaing yang mempunyai struktur biaya produksi lebih kompetitif dapat ikut masuk pasar. Harga Brent turun tajam, dari 83 dollar AS per barel di pekan kedua April 2023 menjadi 73 dollar AS per barel di Juli 2023.
Harga minyak yang terlalu tinggi membuat para pesaing yang mempunyai struktur biaya produksi lebih kompetitif dapat ikut masuk pasar.
Arab Saudi sebagai pemimpin de facto OPEC meresponsnya dengan mengurangi produksi untuk mendongkrak harga. Ini dilakukan sejak Juni 2023 dan dilanjutkan sampai akhir 2023. Akibatnya, harga Brent bergerak naik sehingga pada pekan kedua September 2023 sempat mencapai 93 dollar AS per barel.
Harga yang tinggi ini membuat produsen-produsen yang selama ini mati suri kembali masuk pasar. Satu ilustrasi, harga Brent yang berada pada kisaran 85 dollar AS sampai 93 dollar AS per barel selama September-Oktober 2023 membuat produsen minyak serpih (shale oil) AS dapat ikut menambah pasokan pasar.
Saat ini, AS memproduksi 13 juta barel per hari yang melebihi produksi setiap negara OPEC sehingga menjadi penyeimbang OPEC. Harga minyak pun berangsur turun ke keseimbangan sekarang ini. Sebagai faktor deterens, setiap usaha OPEC atau Arab Saudi mengurangi produksi untuk menaikkan harga minyak akan berisiko pada penyusutan pangsa pasarnya.
Semua ini mendorong Arab Saudi pada awal Januari 2024 menurunkan harga minyaknya sebesar 1,5-2 dollar AS per barel untuk pasar Asia. Selain pertimbangan situasi pasar, kontraksi perekonomian Arab Saudi tahun lalu juga masuk dalam pertimbangan.
Setiap usaha OPEC atau Arab Saudi mengurangi produksi untuk menaikkan harga minyak akan berisiko pada penyusutan pangsa pasarnya.
Sebelumnya usaha Arab Saudi untuk mengurangi produksi minyak demi mendongkrak harga dengan harapan dapat memperkuat anggaran belanjanya, tidak membawa hasil yang diharapkan. Strategi ini mengasumsikan OPEC solid dan permintaan minyak inelastis terhadap harga.
Alhasil, di dua triwulan terakhir pada 2023 pertumbuhannya mengalami kontraksi masing-masing minus 4,4 persen dan minus 3,7 persen. Permintaan minyak sekarang cenderung elastis. Artinya, sekarang pelanggan akan cepat beralih ke produsen lain jika harga naik.
Agenda ekonomi hijau
Faktor ketiga adalah agenda ekonomi hijau yang memicu inovasi energi terbarukan. Permintaan minyak akan menjadi semakin elastis terhadap perubahan harga jika berbagai alternatif energi hijau nonfosil semakin tersedia. Transisi ke ekonomi hijau sangat tergantung pada mineral langka (rare earth materials).
Namun, penyebaran mineral langka ini tidak merata di seluruh dunia. Ini mendorong sejumlah negara untuk melakukan inovasi efisiensi, reduksi, daur ulang, dan substitusi ke mineral yang lebih berlimpah. Hal yang menarik, penerimaan dari minyak juga digunakan oleh negara-negara produsen untuk berinvestasi serta mengembangkan penelitian dan pengembangan di energi hijau (Gamal El-Din dan El Wardany [Bloomberg, Oktober, 2023] dan Bakx [CBC, September 2023].
Harga minyak dunia yang terjangkau merupakan faktor penting mengapa ramalan resesi di AS dan dunia pada 2023 tidak terwujud.
Harga minyak dunia yang terjangkau merupakan faktor penting mengapa ramalan resesi di AS dan dunia pada 2023 tidak terwujud. Untuk AS, setelah tumbuh dengan laju alamiahnya pada triwulan I dan II-2023 masing-masing 2,2 persen dan 2,1 persen, terjadi akselerasi ke 4,9 persen dan 3,3 persen di triwulan III dan IV. Ini terutama didukung oleh sektor jasa berbasis mobilitas.
Dari sisi produksi, Purchasing Manager Index (PMI) sektor manufaktur mencatatkan angka 50,3 atau zona ekspansi pada Januari 2023. Bulan sebelumnya, angkanya terpuruk pada zona kontraksi 47,9.
Zona euro stagnan
Zona euro tidak mempunyai banyak alternatif untuk pasokan energi. Akibatnya, perekonomian zona euro mengalami stagnasi. Setelah tumbuh 0,1 persen pada dua triwulan pertama pada 2023, pertumbuhan kembali terpuruk ke nol dan minus 0,1 persen di triwulan III dan IV-2023.
Kelemahan utama adalah di sektor manufaktur di mana PMI-nya selalu di zona kontraksi (di bawah 50) sepanjang 2023. Relatif stabilnya harga minyak akhir-akhir ini membantu indeks PMI untuk bergerak ke 46,6, yang tertinggi dalam sepuluh bulan terakhir. Namun, tetap saja angka ini berada di zona kontraksi.
Sementara itu, di belahan bumi lain, walaupun China masih berkutat dengan kelesuan sektor propertinya, pertumbuhan triwulan IV-2023 naik ke 5,2 persen dari 4,9 persen pada triwulan III-2023. Ini juga tecermin oleh PMI manufaktur negara itu yang dapat bertahan di zona ekspansi, sedikit di atas 50 selama tiga bulan. Angka terakhir untuk Januari 2024 adalah 50,8.
Zona euro tidak mempunyai banyak alternatif untuk pasokan energi. Akibatnya, perekonomian zona euro mengalami stagnasi.
Dampaknya bagi Indonesia adalah turunnya ekspektasi inflasi sehingga inflasi aktual juga cenderung turun. Data BPS mencatat, inflasi per Januari 2024 sebesar 2,57 persen, turun dibandingkan November dan Desember 2023, masing-masing sebesar 2,86 persen dan 2,61 persen.
Sejalan dengan itu, Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang dipublikasikan Bank Indonesia tetap optimistis di atas 130 sejak September 2023 sekalipun perekonomian global masih diliputi ketidakpastian. Dari sisi produksi, PMI sektor manufaktur tetap ekspansif di atas 50.
Bahkan, pada Januari 2024, angkanya mencapai 52,2, naik dari 51,7 di bulan sebelumnya. Momentum ini menjadi modal awal untuk mengarungi 2024 yang masih diliputi ketidakpastian global.