Layanan Perpustakaan dan Kecerdasan Buatan Generatif
Dengan kehadiran kecerdasan buatan generatif, perpustakaan harus siap menyambut kehadiran jenis karya baru.
Perpustakaan sampai saat ini terlihat mampu bertahan di tengah derasnya arus disrupsi yang diakibatkan oleh perkembangan internet. Bagaimana tidak, di tengah komunikasi dan pencarian informasi dapat dilakukan pada peralatan pribadi, kapan saja dan di mana saja, perpustakaan tetap menjadi pilihan masyarakat.
Perpustakaan hanya bertransformasi, tidak hilang sebagaimana kejadian terhadap layanan komunikasi dan informasi lainnya seperti warung internet yang dahulu menjamur di Indonesia. Namun, ancaman disrupsi terhadap perpustakaan akan terus berlangsung seiring dengan akan munculnya teknologi baru lain.
Kehadiran kecerdasan buatan generatif yang mampu menghasilkan model pengetahuan baru berdasarkan pembelajaran yang dilakukan terhadap pengetahuan yang dikumpulkannya akan memengaruhi peran dan fungsi layanan perpustakaan di masa depan. Peran dan fungsi perpustakaan dalam tatanan kehidupan bangsa dan negara Indonesia sejauh ini sangat penting.
Baca juga: Mengawal Transformasi Perpustakaan
Kuatnya peran dan fungsi terlihat dengan adanya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2017 tentang Perpustakaan. Kedudukan lebih kuat lagi terlihat pada UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 12 Ayat (2) butir q yang menyatakan bahwa perpustakaan termasuk ke dalam urusan wajib pemerintahan non-pelayanan dasar.
Dengan regulasi ini diharapkan pemerintah berperan dalam mengendalikan perubahan yang akan dihadapi perpustakaan akibat perkembangan kecerdasan buatan. Dari sisi kepentingan bangsa dan negara Indonesia, perpustakaan mengelola sumber informasi, ilmu pengetahuan, dan khazanah bangsa yang diistilahkan sebagai karya cetak dan karya rekam.
Penciptaan karya dengan kecerdasan buatan generatif memiliki perbedaan. Hasil dari prompt dan query yang diberikan oleh seorang pemustaka terhadap sistem kecerdasan buatan generatif dapat dipertanggungjawabkan sebagai bentuk dari layanan perpustakaan.
Fenomena ini adalah sebuah pertanda bahwa perpustakaan akan menghadapi era perubahan dalam layanan terhadap karya ilmu pengetahuan. Perpustakaan tentu saja harus dapat menjaga relevansi dengan perkembangan teknologi termasuk perubahan pada penciptaan sebuah karya.
Terlihat sekarang bahwa kita tinggal menunggu waktu saja akan derasnya masuk pengaruh kecerdasan buatan ke layanan perpustakaan. Persiapan yang harus dilakukan sekarang adalah bagaimana kebijakan yang perlu dibuat sehingga adopsi tersebut berjalan optimal, yaitu berupa dukungan dari pengguna dan pustakawan sehingga memperbaiki kinerja layanan perpustakaan.
Dengan kehadiran kecerdasan buatan generatif ini perpustakaan harus bersiap-siap menyambut kehadiran jenis karya baru yang akan menjadi pengetahuan baru dan konten koleksi baru yang dihasilkan dari kecerdasan buatan generatif. Kehadiran karya konten baru tersebut tentu harus didukung oleh kebijakan tentang karya kecerdasan buatan generatif.
Perpustakaan tentu saja harus dapat menjaga relevansi dengan perkembangan teknologi termasuk perubahan pada penciptaan sebuah karya.
Aspek kebijakan baru dapat meliputi hak cipta yang diatur dalam UU No 24/2014 tentang Hak Cipta, atau yang berkenaan langsung dengan koleksi perpustakaan berbentuk karya tulis, cetak dan rekam sebagaimana telah diatur dalam UU No 43 Tahun 2007 tersebut di atas. Terbuka sekali kemungkinan ke semua undang-undang tersebut akan mengalami perubahan mengakomodasi lahir karya cipta baru dari kecerdasan buatan generatif.
Dalam lingkungan strategis global, kita dapat melihat bahwa sampai saat ini perkembangan aplikasi kecerdasan buatan di belahan dunia belum diikuti dengan kehadiran perangkat hukum pemerintah di masing-masing negara. Tate Ryan-Mosley dan kawan-kawan (2023) dalam kolom Policy di MIT Technology Review (5/2/2024) berpendapatan bahwa jika pada 2023 dan sebelumnya beberapa lembaga dan negara lebih banyak memberikan rekomendasi dan penyamaan visi terhadap produk kecerdasan buatan, selanjutnya pada 2024 ini mereka memprediksikan banyak negara akan berkonsentrasi pada penyesuaian regulasi dan produk hukum untuk penggunaan karya kecerdasan buatan.
Masih perdebatan
Pemerintah Indonesia sejauh ini sudah mengeluarkan kebijakan, tetapi masih berupa Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial. Surat tersebut dikeluarkan untuk memastikan bahwa teknologi kecerdasan buatan ini digunakan dengan mempertimbangkan prinsip etis, kehati-hatian, keselamatan, dan berorientasi kepada dampak positif.
Sementara itu, di Indonesia terlihat dalam tataran implementasi bahwa penggunaan teknologi ini masih dalam perdebatan antara boleh atau tidak. Kita mengharapkan pemerintah dapat mengembangkan surat edaran tersebut menjadi regulasi yang lebih kuat lagi dalam pemanfaatan produk kecerdasan buatan ini.
Dengan perkembangan teknologi yang tidak mungkin terbendung saat ini, yang diperlukan sekarang adalah transparansi dan kepastian pengakuan secara hukum.
Presiden Amerika Serikat bertindak lebih tegas dengan mengeluarkan perintah atau Executive Order on the Safe, Secure, and Trustworthy Development and Use of Artificial Intelligence (30/10/2023) yang lebih teknis. Perpustakaan mendapat manfaat dari perintah presiden tersebut, yaitu supaya setiap karya dari kecerdasan buatan perlu diberikan tanda (watermarking).
Maksud pemberian tanda ini adalah untuk transparansi dan menghindari berita bohong, fake, atau disinformasi yang dapat membangkitkan keresahan masyarakat. Namun, sejauh ini Pemerintah Amerika Serikat belum mengeluarkan akta hukum untuk penggunaan produk kecerdasan buatan ini.
Kita melihat kenyataan di belahan dunia selama ini terkesan penggunaan kecerdasan buatan terutama dalam dunia akademik, seni, dan budaya yang memiliki hubungan erat dengan perpustakaan terkesan dilakukan secara diam-diam dan tersembunyi. Tanggapan pihak berkepentingan juga masih bervariasi antara boleh dan tidak boleh.
Dengan perkembangan teknologi yang tidak mungkin terbendung saat ini, yang diperlukan sekarang adalah transparansi dan kepastian pengakuan secara hukum. Dengan adanya ketegasan seperti ini, kreativitas dan inovasi dari kecerdasan buatan generatif tidak akan bertindak ragu-ragu dan akan terdorong dalam koridor positif, dan perpustakaan akan dapat memanfaatkan secara optimal sebagai bagian layanan baru.
Penulis berpendapat banyak kegiatan inovasi dan kreativitas baru di perpustakaan yang mendorong masyarakat untuk penciptaan karya dengan kecerdasan buatan generatif. Beberapa di antaranya adalah lokakarya dan lomba karya lukis, foto, tulis dengan memanfaatkan kecerdasan buatan generatif.
Baca juga: Perpustakaan Publik dalam Sebidang ”QR Code”
Perpustakaan dapat menjadi sponsor kegiatan penelitian atau pembuatan karya tulis ilmiah yang mensyaratkan bahwa data yang dipergunakan harus berasal dari sistem big data dengan analisis kecerdasan buatan. Kegiatan-kegiatan ini akan melahirkan para pencipta karya atau inventor di era baru, yaitu era kecerdasan buatan. Namun, kegiatan perpustakaan tersebut akan berdampak optimal jika isu pemegang hak cipta dalam penciptaan karya di atas sudah diatur dalam UU Hak Cipta.
Tantangan yang akan dihadapi oleh perpustakaan ke depan mengingatkan kita bahwa libraries are not made, they grow (Augustine Birrell). Dengan demikian, perpustakaan akan tumbuh menyesuaikan dengan perubahan lingkungan. Dengan penyesuaian kebijakan dan regulasi pemerintah di atas, perpustakaan siap menerima era baru kecerdasan buatan generatif.
Taufiq A Gani, Kepala Pusat Data dan Informasi Perpustakaan Nasional RI
Facebook: taufiq.abdulgani